Konstruksi Seksualitas
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia seksualitas diartikan sebagai ciri, sifat atau
peranan seks, dorongan seks maupun kehidupan seksnya, berbeda dengan seksual
yang lebih diartikan berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau perkara
persetubuhan laki-laki dan perempuan. Sehingga cakupan bahasannya lebih komplek
seksualitas daripada seksual. Jelasnya seksualitas merupakan konstruksi sosial
atas konsep tentang nilai, orientasi, dan perilaku yang yang berkaitan dengan
seks. Selain merujuk pada kondisi fisik dan biologis, seksualitas juga merujuk
pada identitas pribadi dan sosial manusia. Karena dikonstruksikan secara
sosial, maka dalam kelompok masyarakat dan konteks yang berbeda, dapat memiliki
makna yang berbeda pula. Konstruksi sosial ini dapat berubah sesuai perubahan
ideologi dan dinamika yang terjadi di suatu lingkungan masyarakat (ruang, waktu
dan fluktuasi masyarakat).
Seksualitas
memang menjadi alat analisa penting jika kita ingin mengurai masalah kekerasan,
seperti halnya kita menggunakan gender sebagai alat analisa terhadap tindak
diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan. Atribut seksualitas yang
dikenakan jauh ketika seseorang sudah berada dalam kandungan sang ibundanya.
Ketika alat analisa kedokteran menaksir jenis kelamin si cabang bayi, maka
otomatis kedua orang tuanya akan mempersiapkan perlengkapan bayi sesuai hasil
taksiran dokter, begitu pula dengan nama anak yang dipersiapkan oleh orang tua
sebelum dia lahir. Dalam nama tersebut terdapat doa kedua orang tua yang sudah
dialurkan dalam konstruksi seksualitas misal untuk nama cowok lebih disandarkan
pada perkasa, pemimpin, kuat, gagah dan sebagainya. Begitu pula untuk cewek
misal nama-nama yang bermakna suci, lembut, cantik, bunga dan sebagainya.
Tidak
sampai disitu saja, ketika si bayi tadi lahir dan tumbuh menjadi balita atau
masa kanak-kanak segala ragam permainan dan diidentikkan pembiasaan sikap yang
sengaja dialurkan sesuai pembedaan seksualitasnya. Anak perempuan mainannya
boneka, peralatan masak memasak, mainan dandan-mendandani dll. Sedangkan mainan
cowok yang lebih pada permainan keras, menantang dan terkesan pemberani, misal pistol,
mobil-mobilan, truk, kejar-kejaran, robot-robotan dan sebagainya. Jika dari
keduanya sedikit melakukan kelalaian dalam proses pengaluran seksualitas
tersebut maka dianggap diluar kewajaran (abnormal). Termasuk di dalamnya
kebebasan yang diberikan masyarakat terhadap laki-laki dalam mengekspresikan
dorongan seksualnya, sementara si perempuan tidak diberi peluang sama sekali
karena jika itu terjadi akan mengurangi makna kesucian dan nilai-nilai
keperempuanan. Sehingga dari segi mana lagi seksualitas alpha dari konstruksi
sosial dan budaya masyarakat setempat.
Karena dorongan seksual seseorang pun diberi bentuk oleh fakktor-faktor
budaya, maka kebutuhan untuk memuaskan dorongan seksual merupakan perpaduan
khas antara dorongan seksual dan pengaruh sosial yang diajarkan maupun
dipelajari. Akibatnya seksualitas seseorang dipengaruhi oleh faktor psikologis
yang tidak sedikit menjadikan anomali dalam masyarakat. Jika itu dapat diterima
dengan kerelaan oleh seseorang maka tergolong aman balutan budaya tersebut.
Namun hal itu terasa lain jika konstruksi seksualitas berbalut budaya itu
tertolak oleh pribadi seseorang, maka tindakan tersebut sudah termasuk dalam
lingkaran kekerasan, yang tentu saja melanggar HAM dan kaidah beragama.
Kekerasan yang dilegalkan
Kekerasan
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang
berposisi kuat terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih
lemah. Dengan sarana kekuatannya baik secara fisik maupun non-fisik, dengan
kesengajaan untuk menimbulkan derita di pihak yang tengah menjadi objek
kekerasan tersebut. Kekerasan menimbulkan penderitaan sebagai bagian dari
manifestasi pemaksaan kehendak oleh pelaku kepada si korban, namun tidak jarang
kekerasan dilakukan untuk melampiaskan rasa marah yang sudah tak tertahankan
lagi. Apapun sifat dan motifnya, dengan tindak kekerasan tersebut menjadikan
mereka yang berstatus sosial subordinat akan selalu gampang dijadikan sasaran
oleh mereka yang kuat.
Di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang berkonfigurasi patriarkhi, dimana
peran-peran sosial tertata dan terorganisasi berdasarkan askripsi-askripsi yang
menempatkan laki-laki pada posisi supraordinat dan perempuan subordinat, patut
diduga perempuan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menjadi sasaran
tindak kekerasan para laki-laki. Tindak kekerasan laki-laki terhadap perempuan
dalam kehidupan lokal yang berkonfigurasi patriarki ini memang tidak selamanya
bermasalah yang dipandang serius dalam kehidupan masyarakat tradisional, namun
hal tersebut menjadi masalah ketika komunitas-komunitas tua itu mulai
bertransformasi ke kehidupan industri
yang lebih terbuka dan penuh mobilitas.
Sedalam
apapun anggukan kita terhadap datangnya tawaran emansipasi wanita, namun dalam
masyarakat industri keduanya (laki-laki dan perempuan) tidak mempunyai hak
mengontrol satu sama lain termasuk melindungi. Kekerasan yang acapkali bersifat
anonim dan anomi, oleh laki-laki lain yang asing dan tidak merasa mempunyai
tanggungjawab sebagai patron terhadap perempuan yang akan dijadikan korbannya.
Pengaturan aktivitas seksual dan penataan kehidupan seksual dalam masyarakat
pada dasarnya bermaksud dan bermakna untuk di satu pihak mengekang atau
mengontrol agresivitas laki-laki yang cenderung hendak ‘menyerang’ perempuan
dengan berbagai ragam tindak kekerasan, di sisi lain juga melindungi atau
memperkukuh ‘pertahanan’ moral perempuan tersebut.
Dalam
perjalanan konstruksi budaya kekerasan berbasis seksualitas, sebanding dengan proses
pelegalan yang secara tidak sengaja dimafhumi dan diamini masyarakat luas
sebagai suatu kewajaran, celakanya lagi jika hal tersebut sudah dimasukkan
dalam legal dafting peraturan hukum tertulis suatu wilayah tertentu. Dalam hal
ini kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual bahkan trafficking perempuan yang
beberapa tahun terakhir marak seolah debu yang diterpa angin. Penanganan yang
kurang optimal, belum lagi stereotype yang ditujukan kepada korban (red :
perempuan), bukan keadilan yang didapat malah terkadang di-judge kalo si korban sebagai penyebab kejadian dan sangsi sosial
(diasingkan) sering dialamatkan pada si korban. Istilahnya sudah terjatuh
terimpa tangga pula, berupa stereotipe dan double burden.
Dalam
kasus tersebut di atas maka secara tidak langsung negara sebagai aparatur
kesatuan birokrasi warga negara menjadi tersangka dalam membiarkan proses
penanganan hukum kasus-kasus perkosaan, kekerasan dan pelecehan terhadap
perempuan berlarut-larut dan terkesan sedikit diabaikan. Fakta-fakta adanya
perkosaan, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan baik di ranah
domestik maupun publik, perempuan berbagai lapisan sosial secara massal dan
brutal memunculkan negara sebagai bagian dari pelaku kejahatan dalam hal ini
kekerasan yang selalu dialamatkan pada perempuan.
Keberanian
Moral : Distorsi dan Dekonstruksi
Fenomena
makro yang menjadikan perempuan sebagai korban di atas bukan sekedar menjadi
bahan selayang warta berita, melainkan benar-benar nyata terjadi di sekeliling
kita yang tanpa disadari kekerasan tersebut datang dari orang-orang yang dekat
dengan kita. Sebagai generasi bangsa dan kaum intelek, sudah sepatutnya
berkeringat lebih untuk berpikir dan bergerak dalam mencari solusi atas
kompleksitas permasalahan tersebut. Memasifkan wacana, kajian, penelitiaan
(observasi, advokasi) terjun langsung bersama para korban.
Melihat
kekerasan dalam sudut pandang segala tabir yang mengelilingi kita, sudut
budaya, agama, psikologis dan sebagainya. Dalam Islam (sebagai agama
mayoritas), cukup banyak ayat alqur’an yang memberikan tuntunan moral dan
sekali lagi bukan tuntunan yuridis-formal bagi relasi suami istri (surat
At-Thalaq ayat 65). Dan mendedikasikan dukungan terhadap konsep perkawinan
dalam Islam yang menempatkan para pihak (suami istri) secara otonom
sebagai syarat sah perkawinan.
Pengertian otonom dalam konteks ini adalah masing-masing pihak mengerti isi
dari aqad (akad/ perjanjian) itu sendiri. Selanjutnya posisi otonom merupakan
proses peleburan satu sama lain, yang mana masing-masing dari keduanya memiliki
hak dan kewajiban yang seimbang baik lahir maupun batin. Dr. Ashgar Ali
engineer, seringkali argumen-argumen tafsir atas ayat-ayat sosiologis yang
bersifat kontekstual dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang absolut,
akibatnya kita seperti tidak diberi ruang untuk melakukan interpretasi. Lebih
dari itu, ayat-ayat yang semula dimaksudkan untuk menegakkan keadilan menjadi
kehilangan maknanya sama sekali.
Sayangnya,
para pemikir Islam paling modern sekalipun, untuk tidak mengatakan liberal,
seringkali mengesampingkan urusan seksualitas dalam memberikan sentuhan
modernitas terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya mereka sepakat bahwa anak
laki-laki dan perempuan diberi pendidikan yang sama, mereka juga setuju bahwa
istri dapat menjadi mitra sejajar dengan suaminya. Namun ketika mereka sampai
pada masalah apakah seksualitas merupakan hak suami dan kewajiban istri ataukah
suatu timbal balik yang seimbang? Pada saat suami membutuhkan maka menjadi
kewajiban istri untuk memenuhi dan sebaliknya menjadi kewajiban suami pada saat
istri membutuhkan. Di atas segalanya, kedua belah pihak juga harus menenggang
rasa apabila pada suatu saat pasangannya sedang tidak siap, baik secara fisik
maupun mental.
Bagi
kalangan yang menganggap bahwa ajaran agama adalah serangkaian tuntutan yuridis
yang formalis seperti yang tergambar
dalam kitab-kitab fikih yang sarat dengan aspek-aspek kultural tertentu, misalnya
marital rape (perkosaan dalam
perkawinan) menjadi sesuatu yang mustahil. Akan tetapi bagi mereka yang melihat
agama sebagai tuntunan moralitas yang mengarahkan manusia untuk mengoptimalkan
kemanusiaannya, maka marital rape
adalah keniscayaan. Perlu diasosialisasikan nilai-nilai keagamaan yang
berorientasi pada pengembangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, proses
sosialisasi tersebut perlu dirancang dalam suatu gerakan transformasi sosial.
Pendekatan yang bersifat persuasif, dialogis, empati, damai, dan lembut yang
intinya bercorak kultural dapat menjadi salah satu pilihan dalam gerakan
transformasi sosial yang bersifat profetik dan praksis.
Menarik
apa yang dikatakan oleh Munir Mulkhan (1995) bahwa pada saat agama dipahami
hanya sebatas rumusan yang sempit dan formalistis tanpa menjanjikan banyak
pilihan, pada saat itulah agama hampir-hampir menutup kemungkinan pembentangan
jalan seluas dimensi ketakterhinggaan manusia yang memberi paluang untuk
berbuat kebaikan. Lebih lanjut ditegaskannya bahwa pada saat hukum
dikategorisasikan secara definitif dan eksak, maka hukum bergeser perannya,
yang semula sebagai jati diri antara manusia satu dengan yang lainnya, menjadi
alat paling efektif bagi kepemihakan dan legitimasi kekuasaan tertentu.
Dasarnya
adalah bahwa hubungan suami istri memiliki dimensi ibadah, namun titik tekannya
ibadah harus dilakukan secara ikhlas tanpa keterpaksaan. Karena hubungan
seksual bukan sekadar hubungan yang bersifat fisik, maka nilai ibadahnya juga
harus ditentukan oleh keikhlasan yang bersifat psikologis. Proses sosialisasi
marital rape selalu terbentur oleh ideologi kultural yang melandasi perumusan
hukum tersebut. Atas nama harmoni, hak-hak seksual perempuan dan hak-hak
reproduksinya dirampas akibat adanya pemahaman agama yang keliru tentang
seksualitas. Seks yang seharusnya dianggap sakral, sebagaimana tersurat dalam
ayat wa asyiruhunna bil ma;ruf
menjadi ternoda karena menimbulkan penderitaan bagi perempuan.
Menurut
Abdul Munir Mulkhan ada tiga persoalan yang perlu dicermati untuk memahami
masalah ketidakadilan dan kekerasan seksual yang dialami perempuan. Pertama,
tradisi Islam dan Fikih yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan kebutuhan
seksual pria’ dan ‘pembangkit birahi seksual’. Kedua, kecenderungan
konsumerisme tubuh perempuan dalam peradaban industri modern. Ketiga, tradisi
lokal khususnya Jawa yang menempatkan perempuan sebagai ‘penumpang kamukten’
(kemuliaaan) pria.
Hal
yang tidak kalah penting adalah mengadakan rekonstruksi budaya dalam upaya
mengadakan reinterpretasi agama yang pada gilirannya dapat menempatkan
seksualitas sebagai hak dan sekaligus kewajiban yang bersifat otonom dalam
relasi laki-laki dan perempuan. Hak dalam arti seseorang dapat mengekspresikan
hasrat seksualnya dan dapat pula tidak. Dalam waktu yang bersamaan, dia
berkewajiban merespons hanya bila menghendakinya dan dia berhak menolak secara
rasional bila tidak siap secara fisik dan mental. Sebaliknya, pihak lain
berkewajiban untuk menenggang rasa atas ketidaksiapan tersebut bukan atas dasar
apapun rasa kemanusiaan dan rasa kasih sayang terhadap pasangannya seperti yang
dianjurkan agama.
Bagai
dua mata uang, selaing perbaikan dan reinterpretasi ajaran agama, untuk
menghadapi stereotype perempuan tersebut perlu revolusi dan pencerahan
kesadaran fungsi dan peran perempuan itu sendiri. Tidak cukup hanya penyususnan
tafsir baru dan tradisi baru serta pendidikan baru. Kaum perempuan seharusnya
memperjuangkan hak-hak publik, biologis dan seksualnya. Meskipun demikian,
perlu disadari bahwa terdapat faktor biologis yang membuat berbagai fungsi
biologis dan sosial perempuan berbeda dari pria. Tafsir baru dari Alqur’a dan
As Sunnah harus menempatkan pesan metafisiknya bukan terfokus hanya pada narasi
dan data empirik, sehingga revolusi terus dapat dihidupkan kembali dan menuju
pembebasan dari penindasan fikih dan kalam. Hanya jika pemikiran Islam mampu
menyusun kembali fikih yang selama ini laki-laki sentris, maka keadilan seksual
bagi perempuan dapat ditegakkan. Serta mengkritisi peradaban modern dengan
teknologi informasi dengan segala kemampuannya yang menembus segala lapis
kehidupan dan menyebabkan tubuh perempuan sebagai komoditi ekonomi. Dan satu
hal yang tidak boleh terlupakan, ketika memperjuangkan dengan penafsiran makna
agama yang berkaitan dengan perubahan sosial dan pengambilan keputusan politik
yang menyangkut perempuan, maka harus menyertakan pula perempuan di dalamnya.
Yang celakanya hari ini suara dan jiwa perempuan Indonesia maih terkungkung
dalam budaya patriarkhi dan paternalistik. Dibutuhkan keberanian moral dari
segala lapisan yang membutuhkan kerjasama baik subjek (laki-laki dan perempuan)
maupun secara sistem dan aturan yang mengaturnya.
*Arin Setiyowati
*Mahasiswa sPs UGM
Referensi
:
1. Allah,
Liberty and Love, Irshad Mandji
2. Bias
Jender : dalam pemahaman Islam, Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A dkk
3. Islam
dan Konstruksi Seksualitas, Irwan Abdullah dkk
Komentar
Posting Komentar