Dalam lawatan menuntaskan tugas ke negeri Formosa, saya yang masih sangat awam dengan minim Bahasa mandarin tentu menjadi kegelisahan tersendiri. Saat mendekati tanggal keberangkatan, selain berburu tiket pesawat yang available, info terkait kedatangan di sana hingga hal-hal apa saja yang harus saya persiapkan dan bawa dari Indonesia tentu menjadi highlight dalam list saya. Namun, berbekal beberapa kontak teman dan rekan yang tinggal di Taiwan, saya mencoba mengurainya satu persatu.
Info terkait aturan ijin masuk ke Taiwan di masa pandemic, dan beberapa dokumen yang harus saya siapkan diantaranya surat PCR negative, hasil medical check up dan surat pernyataan terkait keamanan keberangkatan saya. Hal teknis lain yang harus saya siapkan supaya bisa terbang adalah surat resmi terkait tempat karantina saya, sehingga saat mendarat di taoyoan tracker pemerintah Taiwan atas pendaatang baru bisa terlacak dengan mudah setelah pengisian serangkaian data hingga regristrasi simcard Taiwan baru untuk cek kondisi setiap harinya selama 14 hari dalam karantina.
Mengingat riewuhnya luar biasa, hampir membuatku untuk menyerah. Tapi bismillah, dengan berbagai pertimbangan, semuanya harus dilewati dan insyaAllah dimudahkan. Dengan menjalin komunikasi dengan beberapa rekan yang direkomkan teman untuk info apartemen hingga tempat karantina, alhamdulillah mereka well communicate dan infonya berguna sekali, hingga membawa saya pada sebuah kontak bernama ‘verlita’ terkait info karantina. Dalam rekomendasi salah satu teman, dia adalah mahasiswa magister di kampus yang menjadi host campus dalam program fellowship saya juga, yakni Asia University yang berada di Taichung city.
Tanpa berpikir Panjang, lalu kujapri kontak yang bernama verlita tersebut dengan kebiasaanku bersalam ria sebelum mengungkapkan maksud diri. Dengan cepat juga si kontak itu membalas pesan sambal melemparkan beberapa pertanyaan untuk mendiagnosa dan memberikan saran hingga rekom sesuai kebutuhan saya. Dia memberi info terkait tempat karantina yang dia tempati saat itu (posisinya masih dalam karantina), hingga pada titik memberikan info terkait new comer harus melalui satu pintu International College (IC) kampus untuk dibookingkan tempat karantina dan terkait penjemputan.
Baiklah, setelah saya kontak pihak kampus, ternyata mereka pun masih belum memberi berita baik untuk keperluan saya, hingga saya meminta professor yang saya dapuk menjadi supervisor saya dalam program fellowship ini untuk menghubungkan dengan pihak IC. Akhirnya berbalas juga dan fix untuk tempat karantina saya dicarikan oleh assisten beliau (red Alice) yang bernama Haokong Hotel di Taichung dengan biaya per malamnya sekitar 600an NTD. Apakah selesai dramanya? Belum, karena ada tragedy surat PCR saya yang miss tanggalnya, sehingga tidak bisa dipakai untuk booking tiket tgl 13, akhirnya saya harus tes pcr lagi, dan meminta reschedule juga untuk bukti booking hotel karantinanya mundur sehari yakni tanggal 14 Oktober. Meskipun harus dengan loby yang sedikit a lot, akhirnya hotel karantina pun beres.
Beberapa dokumen sudah beres, saya pun melenggang untuk menyiapkan hal-hal apa saja yang ahrus saya siapkan. Lagi, si kontak verlita pun akhirnya menanyakan posisi kesiapan keberangkatanku lagi di moment yang tepat. Setelah saya jawab dan jelaskan posisi persiapan saya, lalu dilanjutkan dengan tanya jawab. Saya pun menanyakan terkait bagaimana karantina dan hal apa saja yang harus saya siapkan, hingga menggali info terkait tahapan apa saja yang akan saya alami saat mendarat di Taoyoan airport. Dengan sangat Panjang kali lebar dan duetail terkait Langkah-langkah teknis saya saat di airport lengkap dengan foto yang memudahkan saya membayangkan kondisi di sana. Selain itu, dia pun menambahkan terkait kondisi makanan saat di karantina, sehingga merekomendasikan saya untuk membawa makanan-makanan yang kering juga untuk tetap menjaga nafsu makan selama karantina. Yang dia rekomkan Seperti membawa mie instan, camilan, sambal sachet hingga diwanti-wantinya saya untuk jangan lupa membawa jaket tebal untuk persiapan musim winter di sana. Alhamdulillah, Laa Haula Walaa Quata Ilabillah…
Tidak hanya selesai di situ saja, si mbk verlita ini yang setiap saat kujapri untuk menanyakan hal apapun, termasuk saat masih dalam karantina. Kurang lebih hampir 1 minggu dalam kamar isolasi, kebutuhan seperti potong kuku dan camilan pun membuncah, di luar kerinduan makan pecel, sambel penyet dan sesayuran Indonesia. Dengan kebaikan hatinya si ‘verlita’ ini lah dia sambaing ke hotel karantina, walau tidak ketemu muka, dia membawakan barang-barang tersebut ke hotel karantina melalui resepsionis. Ah..sesampaikan barang-barang tersebut di kamar, langsung kulahap dengan dengan nikmat.
Sambil merenung dalam kamar bahkan saat ngobrol dengan suami, saya sering memuji dan tak henti mengucap syukur dengan adanya verlita yang dengan mudah membantu bahkan merespon pertanyaan-pertanyaan receh dari saya yang bahkan bertatap mata pun belum, kenal pun tidak, “Semoga Allah membalas dengan balasan terbaik”, rapalan doaku untuknya. Dan hal unik lainnya adalah, betapa lambannya saya menyadari terkait agama yang dianut oleh si verlita ini, beberapa kali sempat muncul kecurigaan saat pesan pembuka dari ku selalu kuawali salam yang tak dijawabnya. Karena sudah kebiasa dan aneh aja jika tanpa diawali salam, maka masih saja kuulangi salamnya. Hingga di hari-hari akhir masa karantinaku, aku mengetahui pasti tentang keberbedaan agama kami. Maka akupun menghentikan awalan salam saat menyapanya dalam pesan line maupun whatsapp. Apapun agamanya, tapi atas kebaikan, melalui dia-lah Allah menitipkan pesan kebaikan dan pertolongan untukku saat berjibaku di negeri Formosa.
Tak berhenti di situ saja, selain masih awam dan terbiasa kemana-mana ditemani atau diantar suami maupun adek, selepas masa karantina habis, untuk menuju ke lokasi kontrakan dan kampus dari hotel ternyata masih butuh waktu tempuh sekitar 1 jam-an dengan naik angkutan umum yakni bis. Waduh, bingung dong pastinya, apalagi aya yang belum punya senjata apapun untuk bisa menikmati kendaraan umum. Kusampaikan lah kegundahanku pada si verlita, dan dengan mudahnya dia menyanggupi untuk menjemput dan mengantarkanku ke kontrakan plus kampus. Oia, setelah berbagai pertimbangan kenyamanan dan ongkos kontrak, beberapa info kontrakan yang sudah saya terima ternyata tawaran dari verlita juga yang saya ambil, karena saya sudah percaya dengan rekomnya. Dan alhamdulillah, benar, kontrakannya sangat nyaman, terlebih semua penghuninya orang Indo, berasa angin syurgaa gitu.
Perjalanan dari hotel karantina via bis umum sangat wow, karena sambil nentang bebarangan yang cukup berat, walau kata verlita barang-barangku tidak se-heboh teman-teman lain yang dia temui. Tapi, yang namanya naik kendaraan umum, pasti ndak nyaman kalua bawa tentengan berat, yak an?. Alhamdulillah, si doi senantiasa sigap mengawal dan membatu tentengan berat saya. Tak hentinya kuucapkan terimakasih ke dia.
Karena first time keluar dari kendang karantina, betapa segarnya melihat pemandangan sekitar dengan sibuknya lalu Lalang kendaraan yang langsung dihadapkan dengan perbedaan yg drastis dengan di Indonesia. Lajur jalan kendaraan yang berbalik dengan Indonesia, hal ini kaitannya dengan posisi sopir pada mobil, kalua di Indonesia posisi sopir di sisi kanan sedangkan di Taiwan di sisi kiri, sehingga mempengaruhi lajur pejalan kaki dan sisi transitnya. Selanjutnya tipologi kendaraan yang minim bunyi dan polusi, karena selain kendaraan listrik juga minim macet, hal ini dikarenakan difasilitasi dengan kendaraan umum yang available menjawab kebutuhan masyarakat sehingga minim kendaraan pribadi. Ulasan khusus tentang kendaraan umum akan saya bahas khusus dalam tulisan lainnya.
Tidak berhenti di situ saja, urusan masa habis simcard Taiwan pun saya masih ngerepoti si verlita, berbekal cantolan wifi kampus, hingga saat masa kartu habis bak dunia terasa suram, belum banyak yang dikenal dan ditaui, mau menghubungi anak dan suami pun tidak bisa,haha. Setelah menghubungi teman sana dan sini, hingga malam akhirnya melalui anda dan dania, mahasiswa magister yang membantu saya melakukan pengisian ulang untuk kartu AS Taiwan sisa punya anda, karena si Anda yang jualan simcard stok kartunya pas habis, nunggu selasa baru ada. Akhirnya, tawaran menggunakan kartunya anda pun kuterima meskipun harga mengisi pulsa dengan membeli simcard baru dua kali lipat yang harus dibayar. Alhamdulillah. Selanjutnya saya diperkenalkan dengan salah satu mahasiswi PhD Aisa University juga yang berasal dari Unair, Bu Viki, dengan sangat ramah dan ceria menyapaku di kamar saat malam hari. Lalu dia mengagendakan mengantarkanku ke beberapa pusat perbenlanjaan dan toko langganan warga AU untuk berbeanja kebutuhan kamar dan bulanan. Maka, nikmat manalagi yang kau dustakan.
Saat ada keperluan untuk lapor diri ke National Central Library (NCL) yang berlokasi di Taipei, atau sekitar 3 jam kalau ditempuh dengan naik bis tentu jadi pikiran dong buatku. Setelah tanya kesana kemari, saya dan suami sepakat untuk meminta tolong verlita untuk mengantar kesana, alhamdulillah si doi pas kosong dan mau ngantar. Si doi pun belum hafal kalau ke Taipei akhirnya kami meminta tolong juga ke mbk vita, mahasiswi pHd Kesehatan AU. Tetapi kesediannya menemaniku seharian full untuk lapor diri ke NCL itu yang tambah bikin terharu. Walaupun sebelumnya dia sudah sempat memberikan berbagai informasi terkait ragam transportasi untuk ke sana, missal untuk kendaraan kereta berapa tarifnya, jadwal dan langkah2nya, lalu bis kota hingga HSR (High Speed Railway) dengan tarif dan tawaran ngambil diskon harga mahasiswa selain info lainnya saya peroleh dari mbk vita. Baiknya lagi, si doi hingga menghubungkanku dengan temannya unttuk dimintai tolong memberikan arah atau petunjuk saat di Taipei, saking besar dan ruwetnya arus all transportasi dalam satu stasiun yakni Taipei Main Station (TMS).
Lalu info-infonya yang sangat luengkap terkait makanan-makanan di sekitar kampus kami, Asia University (AU) termasuk makanan yang halal hingga muslim friendly. Info terkait tempat-tempat belanja kebutuhan bulanan lain yang sekiranya saya butuhkan selama bermukim di AU. Bahkan info kontrakan yang akhirnya saya ambilpun juga dari dia, dengan justifikasi darinya adalah tempat kontrakan yang lebih bersih dan nyaman dari kontrakan lain yang dihuni oleh mahasiswa muslim Indonesia di sekitar AU. Dan terbukti, sayapun merasakan hal yang sama, lingkungan yang aman,nyaman dan pastinya all penghuni adalah orang indo dan Muslim semua.
Kebaikan dan pertolongan-pertolongan lainnya dari duo krucil putri dari rekan yang Qodarullah kamar kami berhadapan. Saat kerinduan saya membuncah untuk my Philanthro, kakak ara dan nafiya hadir meramaikan kontrakan dan kamar dengan tingkah polah lucu mereka. Telaganya seorang ibu saat bisa memeluk anak dan bermain dengan anak bisa kami rasakan dengan kehadiran mereka. Alhamdulillah, merekapun nyaman bermain dan singgah ke kamar.
Masih cerita dalam kontrakan, bu Susi namanya, akrabnya saat di akhir-akhir masa singgah saya di kontrakan. Namun baiknya beliau berasa ketemu ibu sekaligus teman yang rame dan hangat. Dia ibu satu anak, anaknya pun sudah mahasiswa di Taiwan juga. Beliau rela memasakkan makanan, mengantarkan kesana kemari untuk berburu makanan, jajanan serta oleh-oleh untuk keluarga. Selain itu mengantarkan ke RS untuk tes PCR hingga mengantarkan ke tempat menunggu travel yang ngantar ke airport. Ya Allah, begitu besar kasih sayangMu, saat diri jauh dari ibu, anak suami dan keluarga, mereka hadir dengan beragam wajah dan kebaikan serta pertolongan yang begitu berarti.
Teman untuk mbolang dan sekedar nyari makan pun Allah kirim melalui mbk Hania. Dia hadir di saat aku mulai menjalani rutinitasku di kampus dengan berbekal informasi yang lumayan. Jadi ceritanya, info-info yang kudapat dari verlita maupun yang lain, Allah minta untuk segera disebarkan dan diamalkan. Ya, melalui mbk hania itu, pesan-pesan kebaikan dan pertolongan Allah dibagi luaskan. Mengajak ke tempat-tempat makanan Indonesia yang halal maupun makanan non-Indonesia yang Muslim Friendly. Ngajakin jalan-jalan yang sekedar buat gabut dan berfoto ria, karena sedikit banyak kami ada kemiripan, selain inclusive buyer, kami juga lumayan sefrekuensi dalam makanan dan jajanan. Jadi, alhamdulillah banget punya partner kesana dan kemari. Saat mau pulang, sebenernya ada rasa nggak tega sama mbk hania, tapi insyaAllah sekarang sudah lega, karena si doi sudah ditemani suami tercintanya.
Bersyukur sekali, saya merasa ada invisible hand, tangan-tangan tak terlihatNya yang disampaikan melalui ‘verlita’. Verlita selain nama seseorang, juga identitas yang saya sematkan bagi siapa saja dengan latar dan arah manapun yang dikirimNya untuk mempermudah dan memperlancar segala urusan saya selama dalam perantauan di negeri Formosa. Alhamdulillah.
Berikut dokumentasi dengan si pembawa pesan kebaikan “verlita” dalam balutan keluarga rantauan :
Komentar
Posting Komentar