Langsung ke konten utama

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan



Arin Setiyowati*

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka.[1]
"Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor," kata Ketua Persatuan Umat Islam (PUI) Nurhasan Zaidi di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (25/11/2014), setelah bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla. Menurut Wapres, lanjut Nurhasan, beberapa negara maju sudah mulai mengurangi jam kerja perempuan, misalnya di Jepang. Ia juga mengatakan bahwa gagasan mengurangi jam kerja perempuan ini bukan bermaksud untuk membatasi peranan perempuan di dunia kerja.[2]
"Itu tanya Wapres deh, aku nggak mau ikut campur deh," kata Ahok saat ditanya tanggapannya di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (26/11/2014). Ahok mengatakan, belum tentu semua perempuan suka dengan usulan tersebut. "Kamu jangan salah, jangan anggap remeh perempuan," ucapnya. [3]
PENDAHULUAN
Menyoal terkait perempuan memang merupakan pekerjaan yang tidak pernah habis isunya. Berangkat dari tiga kutipan di atas, maka penulis di sini bermaksud membahas terkait isu kebijakan pengurangan jam kerja perempuan. Hal ini sebagai upaya analitis yang dilakukan oleh penulis dalam menelaah kebijakan yang bakal digulirkan dalam rapat dewan rakyat di Senayan, karena ketika dicandra lebih dalam dari isu tersebut akan sangat berimplikasi besar di segala lini kehidupan baik si perempuan sendiri atas nama tenaga kerja dengan keluarga, institusi atau perusahaan tempat perempuan bekerja hingga jalannya roda perekonomian Indonesia. Terlebih diri pribadi perempuan itu sendiri yang dilingkupi segala aturan dan stereotipe yang dialamatkan oleh masyarakat sebagai konsekuensi logis atas keterlibatannya di ranah publik dengan segala tanggungjawab di ranah domestiknya.
Berangkkat dari latar sosio kultural Indonesia yang sebagian besar menganut budaya patriakhi[4]. Terlepas pengaruh dan peran yang dilakoni oleh perempuan di dunia kerja maupun di dunia publik, hal tersebut tidak mengubah posisi serta peran tanggungjawab yang dibebankan oleh konstruksi sosial di dunia domestiknya (dalam hal ini pekerjaan rumah tangga). Misalnya tanggungjawab memasak, membersihkan rumah terlebih tugas menjaga dan merawat anak serta melayani suami. Dari sini penulis menganggap bahwa ada yang timpang dalam pemahaman masyarakat atas emansipasi[5] maupun adil gender.
Terkait emansipasi perempuan, yang mana penyetaraan posisi perempuan di ranah publik melalui kesempata kerja di segala bidang dengan posisi jabatan yang beragam di segala level menjadi bukti terbukanya kran kesempatan berkarir dan berkiprahnya perempuan di pasar tenaga kerja. Terlebih pasca upaya affirmative action dalam perpolitikan Indonesia, perempuan-perempuan Indonesia dapat melenggang ke kursi DPR dan menjadi tonggak perempuan ikut andil dalam perumusan dan pengambilan keputusan atas segala kebijakan di negeri ini. Terlepas ukuran optimalisasi dari peran dan hasil yang ditampakkan dari serangkaan upaya emansipasi tersebut, namun secara garis besar perempuan hari ini mampu mengepakkan sayapnya dengan mudah dariipada tahun-tahun sebelumnnya.
Namun, tidak berhenti disitu saja, yang mana dengan serangkaian prestasi dan perempuan di ranah publik ternyata di balik semarak tersebut masih mengundang kemirisan atas pemahaman masyarakat dalam mengaplikasikan secara penuh adil gender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Merujuk pada beberapa kebijakan maupun fenomena yang terjadi di masyarakat dalam memperlakukan perempuan yang telah aktif di ranah publik. Terbukti dengan masih maju mundurnya kebijakan pemerintah yang menurut sebanding belum sejalan dengan komitmen awal atas pengarusutamaan gender. Artinya segala kebijakan yang dibuat harus sensitif gender hingga termasuk gender budgetting. Namun penulis menemui beberapa kebijakan yang masih bias gender, misalnya adanya tes keperawanan bagi calon polisi wanita (Polwan); adanya kebijakan bus (transportasi khusus perempuan), dan beberapa efek dan otonomi daerah khusus NAD (Nangro Aceh Darussalam) yang memberlakukan perda syariah dengan aturan diantaranya larangan duduk mengkangkang bagi perempuan dan sebagainya.
Kemirisan yang dimaksud di sini atas maju mundurnya pemahaman yang diamati penulis dari kebijakan pemerintah yang belum konsisten atas sensitif gender adalah ketika lagi-lagi perempuan harus dihadapkan pada persoalan domestik yang seharusnya sudah selesai ketika pemahaman akan pembedaan seks dan gender terserap baik oleh seluruh warga negara Indonesia baik perempuan itu sendiri maupun laki-laki sebagai partnernya. Karena ketika memang pemahaman sensitif gender terserap secara optimal maka akan ada pola kolaborasi maupun komunikasi yang baik antar laki-laki dan perempuan berbasis saling tolong-menolong tanpa ada pembedaan yang didasarkan jenis kelamin dalam pembagian tugas di ranah domestik tanpa terciderainya hak-hak bagi keduanya. Misalnya dalam urusan membersihkan rumah maupunmerawat anak ketika porsi jam kerja dan kesempatan di rumah lebih banyak si laki-laki (dalam hal ini suami) maka ketika si suami paham otomatis si suami melakukan tugas tersebut tanpa diiringi perasaan direndahkan, sehingga tidak ada kkata terbengkalainya urusan domestik ketika perempuan bekerja dan berkiprah di luar rumah selama kolaborasi dari kedua pihak yang berbasis pemahaman yang baik atas adil gender.
Terkait dengan degradasi moral anak bangsa di Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini sudah menggejala di segala lini dimensi sosial kemasyarakatan biasanya selalu dihubungkan dengan kelalaian seorang perempuan dalam memerankan peran sebagai ibu dan istri. Padahal ketika merunut teori-teori dalam kesetaraan gender bahwa merawat dan mendidik anak bukan semata-mata tugas ibu (perempuan) namun juga menjadi tanggungjawab seorang bapak (laki-laki). Hal ini juga berdasar Nash Al-Qur’an bahwa tanggungjawab mendidik anak adalah kedua orang tua. Terkait dengan istilah bahwa madrasah pertama seorang anak adalah ibu merupakan kiasan terkait pola pengasuhan sedari mengandung hingga melahirkan akan penggawangan moral seorang ibu yang tentu saja tidak lepas dari pengaruh bapak, sehingga bukan otomatis sepenuhnya tanggungjawab ibu.
Terlebih seiring perkembangan era globalisasi dengan kemajuan iptek yang sangat luar biasa tidak bisa dielakkan menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi kiblat moral anak bangsa saat ini. Melalui istilah generasi gadget, yang mana melalui smartphone ribuan aplikasi maupun sosial media yang menjadi pendamping anak-anak hari ini lebih mudah menginjeksi pikiran mereka. Sehingga ibu disini bukan menjadi satu-satunya penjaga gawang atas moral anak bangsa, karena dalam lingkup kecil keluarga justru sosok bapak yang menjadi figur anak dalam berpolah baik di rumah maupun di lingkungannya.
Melalui tulisan ini, penulis bermaksud menganalisa bahwa pengurangan jam kerja perempuan, dengan dalih bahwa penyebab degradasiinya moral anak bangsa disebabkan minimnya waktu pengasuhan ibu terhadap mereka karena disibukkan ditempat kerja belum sepenuhnya tepat, terlebih jika hal ini diterapkan kepada buruh pabrik borongan maupun pekerjaan lainnya. Penulis mengindikasikan bahwa ada upaya terselubung di balik kebijakan yang ‘seolah-olah’ melindungi perempuan dan dalih kebutuhan anak berimbas pada pengurangan peran dan kiprah perempuan di dunia kerja sehingaa perempuan akan minim pengaruh dalam pengambilan keputusan di perusahaan atau instasi dunia kerja, sehingga akan ada hubungannya dengan pengurangan perempuan dalam memperoleh gaji atas keringatnya bahkan akan mengurangi tingkat produktivitas dalam perekonomian negara.
Pembedaan Seks dan Gender
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.[6] Yang mana dari konsep seks ini ditandai bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan disini bersifat kekal, tidak bisa dipertukarkan sampai kapanpun dan berlaku dimana saja. Berbeda dengan konsep gender yang terbatas oleh ruang dan waktu dimana konstruksi tersebut diberlakukan, karena implikasi dari pelabelan terhadap laki-laki dan perempuan yang bisa dipertukarkan dan tidak bersifat kekal. (Mansour Fakih, analisis gender 1996) Dari perbedaan terminologi antara seks dan gender di sini, maka sudah selayaknya jika turunan dari perbedaan keduanya dapat menjadi tumpang dan tindih ketika pemahaman yang belum mendalam terkait keduanya.
Hal tersebut dibuktikan melalui isu yang diangkat penulis dalam tulisan ini, karena kewajiban mengurus anak adalah mutlak bagi perempuan,maka pengurangan jam kerja menjadi keniscayaan. “Manjaga dan merawat” anak adalah konsekuensi logis turunan dari perbedaan seks yang dialamatkan kepada perempuan, yakni turunan atas kepemilikan rahim pada perempuan berakibat tugas melahirkan anak ditanggung perempuan. Dan setelah anak tersebut lahir di tengah-tengah masyarakat maka menjadi turunan akan kewajiban perempuan dalam merawatnya yang sekaligus konstruksi masyarakat bahwa tugas domestik dalam mengurus anak dan rumah tangga adalah tugas perempuan, maka pada titik tertentu masih diwajarkan. Namun menurut Mansour Fakih ketika dalam proses penurunan tugas dari perbedaan seks tersebut terdapat ketimpangan atau diskriminasi atas salah satu pihak maka hal ini yang tidak diperbolehkan.
Tidak ada yang salah ketika ada pembagian tugas sebagai seorang istri dan suami dalam porsi yang saling melengkapi, artinya tidak ada penekanan akan kewajiban yang melulu dibebankan kepada perempuan. Sehingga porsi kewajiban merawat dan mendidik anak adalah sama antara seorang istri dan suami. Selama dalam pembagian tugas tersebut tidak mendiskriminasi salah satu pihak, terlebih membelenggu kesempatan perempuan dalam melaksanakan tanggungjawab sosialnya baik di dunia kerja maupun eksistensinya di ranah publik maka masih bisa ditolerir. Namun melihat alasan yang dilontarkan dalam isu di atas adalah seolah kewajiban merawat dan mendidik anak semata-mata menjadi tugas seorang ibu (perempuan). Maka sangat bias gender dalam logika yang disusun dalam rangka penyusunan kebijakan tersebut
Bagaimana Dengan Nasib Buruh Perempuan?
Dari beberapa artikel yang dibaca oleh penulis terkait isu pengurangan jam kerja perempuan lebih banyak diberikan kepada tenaga kerja perempuan di ranah formal dan atau PNS (pegawai negeri sipil). Dalam hal ini penulis mencoba mengurai terlebih dahulu terkait terminologi tenaga kerja khususnya tenaga kerja perempuan. Dalam KBBI, tenaga kerja didefinisikan sebagai orang yg bekerja atau mengerjakan sesuatu; pekerja, pegawai, dsb; atau orang yg mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. Sementara definisi Buruh adalah orang yg bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; atau disebut juga pekerja. Terminologi tenaga kerja lebih bermakna universal, tidak dibatasi oleh mereka yang bekerja di sektor formal maupun informal. Sementara term buruh biasanya diidentikkan dengan pekerjaan di pabrik-pabrik hingga pekerjaan informal. Yang notabennya tidak ada aturan jelas tentang jam kerja hingga batas minimal gaji yang menjadi hak mereka. Berbeda hal nya dengan tenaga kerja yang bekerja di ruangan ber-AC, aturan jam kerja pasti dan nominal gaji yang sebagian besar sesuai standart upah minimum kota setempat.
Berdasarkan data dari Jurnal Perempuan edisi 56 tahun 2007 menampilkan data bahwa buruh perempuan yang bekerja di sektor industri garmen, sepatu yang produksi diekspor ke negara-negara maju, memiliki jam kerja rata-ratanya lebih dari 10 jam seharinya. Dalam Undang-undang tenaga kerja, maka ketentuan yang berlaku untuk jam kerja selama 1 minggu adalah 40 jam. Jika menggunakan patokan 1 hari kerja adalah 7 jam sewajarnya orang bekerja selama 6 hari dalam satu minggu. Sementara itu lembur satu minggu tidak boleh lebih dari 14 jam, dan ini artinya total jam kerja seminggu termasuk lembur tidak boleh lebih dari 54 jam. Apabila kita tahu bahwa prinsip dari lembur adalah sukarela, tidak dapat dipaksakan. Artinya jika perusahaan mempekerjakan buruhnya lebih dari 54 jam seminggu, maka ini dapat dikategorikan sebagai kerja paksa.[7] Begitu miris kondisi para buruh perempuan Indonesia. Belum lagi menyangkut gaji buruh perempuan yang identik diposisikan sebagai sesosok yang single dan berbeda halnya dengan buruh laki-laki, sementara secara umumnya gaji buruh yang selalu menjadi isu nasional untuk segera dinaikkan.
Dari data-data tersebut sudah sangat jelas menunjukkan adanya eksploitasi terhadap buruh perempuan, baik dalam hal jam kerja maupun gajinya, namun apakah kebijakan yang diisukan di atas diberlakukan juga bagi mereka? Padahal secara hitung-hitungan kondisi lingkungan keluarga mereka bisa diprediksikan sebagian besar dari keluarga menengah ke bawah, dari keluarga berpendidikan rendah serta lingkungan rumah yang berada di pinggiran kota maupun pusat kota nan kumuh. Artinya kondisi lingkungan rumah untuk tumbuh kembang anak bisa dikatakan sangat rawan sehingga ketika logika yang dipakai oleh pemerintah (dalam hal ini direpresentasikan oleh statement Jusuf Kalla) adalah pengurangan jam kerja dalam rangka menggawangi moral anak bangsa layaknya ditinjau ulang terlebih jika hanya diperuntukkan bagi tenaga kerja formal.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Degradasi Moral
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa fenomena degradasi moral bukanlah melulu menjadi kewajiban Ibu (dalam hal ini perempuan) karena variabel ayah juga menjadi faktor penting dalam menjadi figur dalam tata laksana kehidupan di rumah. Sehingga sangat diskriminatif ketika kewajiban menjaga, merawat dan mendidik anak dilimpahkan ke perempuan sehingga mengakibatkan pemotongan hak berperan dan berkiprahnya perempuan di dunia kerja maupun di ranah publik.
Selain kolaborasi yang baik antara peran ibu dan ayah, ada faktor eksternal yang menjadi pengaruh terkait permasalahan degradasi moral anak bangsa, diantaranya sebagai berikut ;[8]
-          Kemajuan Teknologi
Dampak globalisasi teknologi memang dapat memberikan dampak positif tetapi tidak dapat di pungkiri lagi bahwa hal ini juga dapat berdampak negatif bagi kerusakan moral. Perkembangan internet dan ponsel berteknologi tinggi terkadang dampaknya sangat berbahaya bila tidak di gunakan oleh orang yang tepat. Misalnya : Video porno yang semakin mudah diakses di ponsel dengan internet. Maka dari sini perlu ada peran pemerintah dalam membuat aturan serta kerjasama dengan pakar-pakar internet yang peduli moral bangsa semakin canggih pula membuat mesin untuk membantu usahanya dalam pemblokiran situs-situs porno.
-          Kedua, memudarnya kualitas keimanan
Sekuat apapun iman seseorang, terkadang mengalami naik turun. Ketika tingkat keimanan seseorang menurun, potensi kesalahan terbuka. Hal ini sangat berbahaya bagi moral, Jika dibiarkan tentu membuat kesalahan semakin kronis dan merusak citra individu dan institusi.
-          Ketiga pengaruh lingkungan
Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan di sekitar rumah, lingkungan sekolah maupun lingkungan pergaulan di luar tempat tersebut. Perlu ada upaya kontrol dari kedua orang tua dalam mengawasi pergaulan anak sehingga tidak kebablasen.
Pengurangan Kerja dengan Berkurangnya Produktifitas Bangsa
Terkait dengan isu pengurangan jam kerja, maka hal pertama yang akan menerima imbas dari pengurangan jam kerja adalah tingkat produktifitas dari institusi atau perusahaan tempat bekerjanya tenaga kerja tersebut. Karena tenaga kerja sebagai salah satu sumber daya yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan perusahaan, sehingga mau tidak mau selalu dituntut untuk terus meningkatkan produktifitasnya. Produktifitas tenaga kerja menggambarkan ukuran kinerja melalui pemanfaatan setiap satu satuan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan output kepada perusahaan. Kegagalan tenaga kerja dalam memenuhi sasaran mutu perusahaan antara lain disebabkan kurangnya pengawasan yang dilakukan manajemen terhadap hasil kerja mereka.
Dengan kata lain, bahwa tenaga kerja merupakan salah satu input produksi perusahaan yang sangat vital. Sehingga dengan isu pengurangan jam kerja tersebut perlu dipikirkan kembali terkait efek pengurangan produktifitas yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Terlebih jika melihat jumlah angkatan kerja perempuan saat ini yang jumlahnya hampir sepadan dengan jumlah tenaga kerja laki-laki. Maka jika pengurangan jam kerja bagi tenaga kerja perempuan bisa dihitung bahwa akan mempengaruhi jumlah output kerja yang dihasilkan oleh suatu instansi atau perusahaan dan otomatis berimbas pada tingkat produktifitas kerja secara keseluruhan.
KESIMPULAN
Bahwa kebijakan pengurangan kerja dengan dalih maraknya degradasi moral anak bangsa karena minimnya waktu ibu membersamai anaknya belum tepat dan sangat bias gender.
DAFTAR PUSTAKA
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 35.
Sunarijati, Ari, Pemiskinan terhadap kaum perempuan dalam Jurnal Perempuan edisi 56, tahun 2007.


[4] sistem pengelompokan sosial dng seorang ayah menjadi kepala dan penguasa seluruh keluarga
[5] pembebasan dr perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (spt persamaan hak kaum wanita dng kaum pria); wanita proses pelepasan diri para wanita dr kedudukan sosial ekonomi yg rendah atau dr pengekangan hukum yg membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju
[6] Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, hal 35.
[7] Sunarijati, Ari, Pemiskinan terhadap kaum perempuan dalam Jurnal Perempuan edisi 56, tahun 2007.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seksualitasn (bukan) titik tumpu kekerasan

Konstruksi Seksualitas Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seksualitas diartikan sebagai ciri, sifat atau peranan seks, dorongan seks maupun kehidupan seksnya, berbeda dengan seksual yang lebih diartikan berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau perkara persetubuhan laki-laki dan perempuan. Sehingga cakupan bahasannya lebih komplek seksualitas daripada seksual. Jelasnya seksualitas merupakan konstruksi sosial atas konsep tentang nilai, orientasi, dan perilaku yang yang berkaitan dengan seks. Selain merujuk pada kondisi fisik dan biologis, seksualitas juga merujuk pada identitas pribadi dan sosial manusia. Karena dikonstruksikan secara sosial, maka dalam kelompok masyarakat dan konteks yang berbeda, dapat memiliki makna yang berbeda pula. Konstruksi sosial ini dapat berubah sesuai perubahan ideologi dan dinamika yang terjadi di suatu lingkungan masyarakat (ruang, waktu dan fluktuasi masyarakat). Seksualitas memang menjadi alat analisa penting jika kita ingin mengurai masalah ke...

Pertolongan itu berwajah “Verlita”

  Dalam lawatan menuntaskan tugas ke negeri Formosa, saya yang masih sangat awam dengan minim Bahasa mandarin tentu menjadi kegelisahan tersendiri. Saat mendekati tanggal keberangkatan, selain berburu tiket pesawat yang available, info terkait kedatangan di sana hingga hal-hal apa saja yang harus saya persiapkan dan bawa dari Indonesia tentu menjadi highlight dalam list saya. Namun, berbekal beberapa kontak teman dan rekan yang tinggal di Taiwan, saya mencoba mengurainya satu persatu. Info terkait aturan ijin masuk ke Taiwan di masa pandemic, dan beberapa dokumen yang harus saya siapkan diantaranya surat PCR negative, hasil medical check up dan surat pernyataan terkait keamanan keberangkatan saya. Hal teknis lain yang harus saya siapkan supaya bisa terbang adalah surat resmi terkait tempat karantina saya, sehingga saat mendarat di taoyoan tracker pemerintah Taiwan atas pendaatang baru bisa terlacak dengan mudah setelah pengisian serangkaian data hingga regristrasi simcard T...