Oleh
: Arin Setiyowati
Berbicara masalah ekonomi tidak sebatas
kurva permintaan dan penawaran, bukan hanya berupa angka pengangguran dan
penyusunan anggaran yang efektif maupun hal-hal yang normatif belaka. Namun, cakupannya
juga membahas tentang perlindungan terhadap kelompok minoritas (dalam hal ini
misalnya perempuan). Sedangkan dalam Ekonomi, terdapat dua kutup bahasan yang
saling beroposisi, mempengaruhi dan bahkan membutuhkan, yakni sektor makro
(agregat) dan mikro. Artinya jika sektor mikro meningkat maka sektor makropun
akan melesat tinggi begitupun sebaliknya. Sehingga prinsip permodelan yang
terdapat dalam teori ekonomi bukan serta merta menanggalkan aspek-aspek kecil
di luar faktor utama yang bisa mempengaruhi model dalam ekonomi, termasuk
perlindungan dan pemberdayaan terhadap kaum minoritas (dalam hal ini
perempuan).
Perempuan dalam dilema, mati tidak
boleh namun hidup pun dipersusah. Bagaimana tidak, mulai dari lahir dengan jenis kelamin perempuan sudah
harus diatur dan ditentukan jalannya oleh orangtua, setelah menikah diharuskan
patuh dan tunduk pada suami. Jika beruntung mendapatkan orangtua dan suami yang
mampu membawa angin surga untuk si perempuan maka bisa menjadi ladang amal dan
pijakan berkarya. Namun yang terjadi tidak sesempurna itu dalam realitanya. Hal
ini tidak lain disebabkan oleh budaya patriarkhi yang mengakar di lingkungan
kita. Budaya yang lebih dominan atau mengutamakan kaum laki-laki daripada
perempuan. Laki-laki dijadikan dewa (dalam hal ini patokan dan rujukan) dengan
segala pertimbangan akal, fisik dan psikologis menurut mereka. Walaupun akhir-akhir
ini telah digugat dengan gender
mainstream (pengarus-utamaan gender) dengan memilah dan membedakan antara
seks dan gender. Namun apalah mau dikata, budaya patriarkhi pun tetap mengakar
dalam masyarakat terutama di daerah pedesaan dan lingkungan keluarga yang
mempertahankan warisan tradisi.
Begitu kuatnya cengkaraman patriarkhi,
hingga perjuangan para pahlawan perempuan, aliran feminisme dan gerakan
kesetaraan gender, serta beberapa aturan dalam legal drafting-pun hanya cukup sebagai angin segar yang tidak sampai
memberi posisi nyaman, daya tawar untuk kaum minoritas yakni perempuan. Posisi
diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, stereotipe dan double burden (beban ganda) pun sarat melekat pada perempuan. Kalau
beberapa puluh tahun lalu jelas berupa larangan sekolah, dipingit, dijodohkan
dan sebagainya. Namun akhir-akhir ini patriarkhi-pun berganti wajah dengan
mulai membajak birokrasi, pasar, maupun lapangan kerja (produksi). Melalui sistem-sistem
inilah perempuan menjadi objek kekerasan selain di wilayah domestik.
Pemiskinan
Perempuan
Kebijakan pengembangan industri di
negara-negara berkembang cenderung mengabaikan industri kecil dan lebih
memprioritaskan industri berskala besar yang padat modal dan berteknologi
tinggi. Kebijakan semacam ini mempunyai implikasi hanya menyerap sebagian kecil
tenaga kerja pada industri hilir, seperti tekstil, elektronik, sepatu dan
sebagainya serta meminggirkan sektor industri kecil yang di dalamnya terlibat
begitu banyak perempuan. Industri manufaktur berskala besar juga ternyata tidak
mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi sebagian masyarakat,
sehingga muncul kegiatan-kegiatan ekonomi pinggiran yang berskala mikro dan
kecil terutama di perkotaan (JP vol 17 no 3, September 2012, edisi 74). Mereka
tidak mempunyai jaringan sosial dan harus berusaha bertahan dangan mengupayakan
berbagai alternatif kegiatan yang dapat menjadi sumber penghasilan. Dalam hal
ini pola padat karya yang dijalankan usaha kecil dan mikro merupakan salah satu
cara yang dapat dimasuki oleh angkatan kerja yang terpinggirkan tersebut, baik
sebagai pemilik usaha maupun tenaga kerja. Fenomena di Indonesia-pun sama,
sumber-sumber marjinal pada periferi ekonomi pasar dimana konsentrasi perempuan paling banyak di dalamnya adalah
usaha-usaha mikro pedesaan. Di ranah industri bisa, namun pada bagian-bagian
pekerjaan yang renik dan ber-upah
minim.
Dengan kebijakan tersebut, memaksa
perempuan menerima dan mengambil pekerjaan yang beresiko dan dengan kepastian
usaha yang dipertanyakan, namun demi memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga
tetap dijalankan, setidaknya bisa digunakan untuk membeli makanan pengganjal
perut keluarga walau harus berkeringat lebih dan tanpa jaminan keamanan dalam
pekerjaannya. Sebagai contoh usaha kerajinan anyaman dari teratai dsb,
pekerjaan njlimet dan butuh
ketelatenan ini cukup menyita banyak waktu namun tidak sesuai dengan jumlah
upah yang diterima di setiap kerajinan yang dihasilkan. Belum lagi tidak ada
kontrak kerja, melinkan sistem borongan, jika kebetulan pesanan banyak, maka
bisa sampai berbulan-bulan, namun jika pasar dalam kondisi sepi, maka bisa saja
usaha diliburkan atau bahkan dihentikan untuk dalam jangka waktu yang tidak
pasti. Selain di wilayah industri rumah tangga, lebih sering lagi kita jumpai
pekerjaan pengais sampah, kuli batu, pengumpul kulit pelepah pisang dll. Pada
sektor-sektor inilah banyak sekali terlibatnya tenaga perempuan demi mencukupi
kebutuhan hidup.
Sehingga jelas bahwa bentuk-bentuk
pemiskinan perempuan berupa marginalisasi perempuan dari pekerjaan produktif,
dan dipusatkan pada usaha-usaha pinggiran, feminisasi sektor-sektor produktif
atau sebagai pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin,
pelebaran kesenjangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki (dilihat dari
perbedaan upah serta ketidaksamaan akses kepada keuntungan-keuntungan dan
fasilitas. Proses pemarginalan juga mengakibatkan perempuan berada pada pilihan
yang terbatas. Pada umumnya jenis pekerjaan yang dimasuki perempuan tidak
termasuk pada data pencatatan negara dan tidak dijangkau oleh aturan-aturan perburuhan,
sehingga tidak ada jaminan akan kemanan dan kenyamanan dalam pekerjaannya. Meskipun
pekerjaan ini memberikan keluwesan perempuan dalam mengkombinasikannya dengan
pekerjaan rumah tangga, namun bukankah hal ini sudah bisa masuk dalam hal
ketidaksetaraan berupa double burden?
Kemiskinan
berwajah Perempuan
Kemiskinan adalah kondisi yang tidak
terpenuhinya kebutuhan dan hak dasar, dalam bahasan ini lebih dikerucutkan pada
pemenuhan kebutuhan perempuan. Dalam ajaran agama, laki-laki sebagai pencari
nafkah, namun dalam kondisi riilnya, tidak semua laki-laki bisa menjalankan
kewajiban tersebut dengan konsisten. Dan lagi-lagi korban dari
in-konsistensinya laki-laki (suami perempuan) adalah si istri (si perempuan)
yang harus menanggungnya dengan keharusan mencari pekerjaan untuk bisa memenuhi
kebutuhan keluarga. Dalam banyak kasus ditemukan, akibat kebiadaban suami yang
tidak bekerja atau bekerja di ranah swasta dengan gaji pas-pasan dengan tidak
menghiraukan kebutuhan keluarga secara menyeluruh, ditambah lagi jika tiba-tiba
si suami memutuskan merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri namun tidak
bertanggungjawab dengan tidak mengirimkan uang pada keluarga di rumah, belum
lagi penyakit-penyakit laki-laki nakal yang suka menghambur-hamburkan uang
untuk togel, minum-minuman keras, main perempuan tanpa mau peduli dengan uang
sekolah anak, biaya hidup keluarga. Maka siapa lagi yang akan menanggung semua
beban tersebut kalau bukan si istri (perempuan). Sehingga tidak jarang jika si
perempuan rela bekerja sebagai pekerja seks komersial (psk), penjual keliling,
penjual kaki lima, PRT (pembantu rumah tangga), TKW Illegal dan sebagainya. Hal
itu semua rela mereka lakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Dan
sayangnya, mereka yang miskin jauh dari program penanggulangan kemiskinan dari
pemerintah misalnya berupa beras murah (sembako), program keluarga harapan dan
pelayanan publik lainnya misal kesehatan dan pendidikan.
Potret tersebut semakin buram, ketika
ada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kaum miskin dan perempuan
seperti menaikkan tarif listrik dan BBM di tangah kondisi kesulitan ekonomi.
Atau melakukan liberalisasi dan privatisasi, serta komersialisasi pada
produk-produk layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan yang menjadi hak
dasar warga negara,maka hal tersebut semakin memperburuk kondisi ekonomi
keluarga yang hampir tak terselamatkan. Meningkatnya beban hidup, serta
kemiskinan yang berkepanjangan sehingga menyebabkan permasalahan sosial lainnya
timbul. Maka perempuan dan anak-anak yang paling merasakan akibatnya. Gizi
buruk pada anak, kekerasan pada perempuan dan anak-anak dalam rumah tangga,
kematian saat ibu melahirkan, trafficking
anak-anak perempuan, serta perempuan buruh migran illegal adalah muara dari
kemiskinan. Perempuan yang tidak mempunyai posisi tawar dalam rumah tangganya
rentan sekali untuk menjadi korban kekerasan. Ketergantungan si istri yang
terlalu besar kepada suami, membuat posisi si istri tersub-ordinat. Suami yang
mempunyai kekuasaan dan kewenangan sepenuhnya terhadap istri dan rumahtangganya
dapat melakukan apapun, termasuk melakukan kekerasan. Hal ini dapat kita lihat
pada kasus-kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang beberapa tahun
terakhir marak terungkap dan berhasil dibawa ke meja hijau.
Bukan hanya itu saja, budaya kita yang
kental dengan budaya patriarkhi menjadikan posisi laki-laki lebih diutamakan.
Sehingga dalam struktur keluargapun, perempuan tidak ikut andil dalam
pengambilan keputusan, sehingga perempuan cukup menjadi penerima keputusan. Dan
budaya patriarkhi memposisiklan perempuan harus lebih banyak berkorban untuk
keluarganya. Tidak jarang perempuan-perempuan muda yang rela memutuskan untuk
menerima ajakan untuk bekerja di luar pulau atau luar negeri dnegan
iming-imging gaji besar, dan akhirnya menjadi korban penipuan penyalur tenaga
kerja illegal. Sehingga dari segala sisi akibat pemiskinan perempuan,
menjadikan wajah kemiskinan identik dengan perempuan dengan segala faktor dan
belenggu yang menjadikan perempuan menjadi objek atas penindasan langsung
maupun sistemik.
Perempuan
perkasa pencari Nafkah
Dengan kemiskinan memaksa perempuan
untuk mengambila alih posisi pencari nafkah keluarga. Hal ini dibuktikan tidak
jarang perempuan miskin nekat bekerja sebagai buruh migran dengan meninggalkan
keluarga dan kampung halaman demi dapur tetap mengepul, rela melepas
kebebasannya dan menjadi pembantu rumah tangga (PRT) baik di dalam negeri
maupun luar negeri yang tidak jarang bisa saja disiksa bahkan dibunuh di tempat
kerja, perempuan-perempuan muda yang masih lugu dan mudah ditipu yang akhirnya
dilacurkan. Kemiskinan telah membelit kehidupan mereka, lalu dimanakah peran
laki-laki pencari nafkah yang diagung-agungkan oleh Agama dan budaya patriarkhi
dalam kondisi seperti ini?
Perempuan yang notabene-nya sebagai ibu
rumah tangga yang terbukti mampu mengambil inisitif untuk mengambil alih dalam
mencari nafkah, dengan pendidikan relatif rendah, ketrampilan terbatas, namun
hanya dengan komitmen tinggi untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya
sehingga mengupayakan usaha apapun agar terpenuhi kebutuhannya. Para perempuan
senang mengasah dan mengembangkan potensi dirinya, dia juga pekerja keras.
Namun tidak dipungkiri sebagian sedikit susah mengasah potensi karena tugas
ganda yang diembannya sehingga sebatas kemampuan itu yang dijalankan demi
keluarganya.
Perempuan adalah sosok perkasa dan kuat
dengan segala potensinya menjadikan perempuan bisa mandiri dan keluar dari
jeratan kemiskinan hingga mampu menggerakkan ekonomi kelurga. Jika selama ini Perempuan
dikonstruksi dengan sifatnya yang lemah, lembut, pasrah, pasif dan sebagainya.
Maka hal ini sudah tertolak, dengan contoh riil para perempuan pencari nafkah.
Maka dalam analisis gender, peran dan pensifatan yang bersifat non-kodrati bisa
dipertukarkan tentu sesuai kebutuhan.
Sedangkan solusi yang penulis tawarkan
adalah pengoptimalan pemberdayaan perempuan baik secara pengetahuan maupun
ketrampilan sehingga mereka tidak mudah ditipu maupun ter-iming-imingi oleh
para calo TKW dan lebih mempermudah pada proses pemberian modal usaha yang
tentunya juga harus tepat sasaran yang bisa saja dilakukan oleh lembaga
keuangan maupun Bank sebagai sumber dana untuk pengabdian pada masyarakat.
Komentar
Posting Komentar