Oleh : Arin Setiyowati
Kemiskinan sebagai Virus Pembangunan
Pada Juni 2013 Badan Pusat Statistik
(BPS) merilis potret kemiskinan kondisi Maret 2013. BPS melaporkan, jumlah
penduduk miskin negeri ini mencapai 28,07 juta jiwa atau sekitar 11,37 persen dari total penduduk. Jika dibandingkan
dengan kondasi Maret tahun lalu, berarti telah terjadi penurunan tipis 0,59 persen atau sebesar 1,06
juta jiwa.
Di tengah luar biasanya energi yang
telah dicurahkan pemerintah melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan,
laporan BPS ini kembali mengkonfirmasi, tren penurunan kemiskinan terus berlanjut. Dan sayangnya, dengan kecepatan
yang lambat. Mengapa laju penurunan
kemiskinan berlangsung lambat? Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjelaskan
hal ini, yakni kemiskinan yang kian kronis (chronic poverty), daya beli
penduduk miskin yang stagnan akibat digerus inflasi, dan pertumbuhan ekonomi
yang kurang berkualitas.
Sebagian besar penduduk miskin yang sulit dientaskan saat ini adalah penduduk dengan kondisi kemiskinan
yang sudah kronik. Kondisi serba kekurangan yang mereka jalani bukan lagi kemiskinan sementara (transient poverty), yang lebih merupakan resultante selain dari efek dua sisi tingkat pendapatan dan
pendidikan yang rendah menjadi tali penjerat kuat, juga dari sebab-sebab
temporer: krisis ekonomi, kebijakan pemerintah yang tak populis seperti kenaikan harga BBM Juni lalu, dan bencana alam. Kemiskinan yang mereka jalani bersifat persisten, tetap hadir meskipun krisis tak terjadi, kebijakan pemerintah populis, dan kondisi alam bersahabat.
Sedangkan realitas yang tidak bisa
dipungkiri adalah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, jika mengikuti
logika silogisme maka bisa dipastikan sebagian besar dari mereka yang tergolong
kaum miskin adalah Muslim. Lalu dimana peran Islam dalam mengadvokasi umatnya
dalam proses kehidupan ekonomi? Melalui tulisan ini penulis ingin menggali
nilai-nilai Islam yang bukan hanya dalam tataran ibadah semata, namun sebagai
tauhid sosial yang merupakan ruh dari Islam yang Rahmatan lil ‘Alamiin.
Amal sebagai Langkah Positif
Islam bukan sekedar
ideologi maupun ritual ibadah mahdhah, tapi Islam sebagai jalan hidup yang
berorientasi pada keseimbangan dunia dan akhirat, yang mana dalam setiap
aplikasi tiap ajarannya selalu mengandung substansi rahmatan lil ‘alamiin
(Rahmat bagi sekalian alam). Melihat kondisi Indonesia yang sebagian besar
penduduknya beragama Islam, sangat dimafhumi jika segala pranata Islam menjadi
konsekuensi logis ditumbuhkembangkan dalam rangka mencapai tujuan bersama
bangsa Indonesia yakni terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Sedangkan untuk mencapai tujuan pemerataan kekayaan nasional tersebut, Islam
menetapkan sejumlah aturan yang mencakup sedekah, zakat dan ketetapan-ketetapan
amal lainnya yang menjadi langkah kongkrit sumbangsih Islam dalam mengusung
kesetiakawanan sosial.
Pertama-tama orang
diperintahkan untuk mengeluarkan kelebihan hartanya pada fakir miskin. Lalu,
ditekankanbahwa mereka harus dengan murah hati membelanjakan hartanya untuk
menjaga kemaslahatan masyarakat, sehingga sistem ekonomi dapat berdiri dengan
kokoh di atas landasan yang kuat. Jika dalam suatu masyarakat orang kaya
bukannya membelanjakan tetapi justru mengumpulkan hartanya, kemiskinan akan
menyebar dengan cepat, ketidakmerataan akan berkembang dan kekayaan secara
berangsur-angsur akan berpindah pada beberapa tangan saja. Hal seperti ini
justru akan menurunkan daya beli dan mengganggu sistem ekonomi. (Nurjulianti
dkk, 1995)
Membelanjakan harta
diantaranya Zakat, sedekah dan sebagainya. Zakat dalam Islam sebagai aturan
wajib yang melengkapi identitasnya sebagai seorang Muslim. Kewajiban moral
orang Islam ini yang paling penting dan efektif yang diperintahkan dalam
Al-qur’an dalam rangka menyebarkan kesejahteraan nasional adalah prinsip anfaq al-afw. Kata Al-Afw berarti kekakayaan atau harta yang melebihi kebutuhan yang
tersisa setelah semua kebutuhan terpenuhi (Nurjulianti dkk, 1995). Artinya,
ketika semua kebutuhan dari si pemilik harta terpenuhi (batasan kebutuhan pokok
terpenuhi) dan masih ada kelebihan, maka wajib untuk dibagikan kepada
pemiliknya (fakir miskin). Karena jelas dalam Islam ditegaskan bahwa di dalam
harta orang kaya terdapat hak-haknya fakir miskin. Jadi ketika mereka si
pemilik harta kikir dan tidak berkenan memberikan kelebihan hartanya kepada
fakir miskin, maka sama halnya dia pencuri bahkan perampok hak-haknya fakir
miskin.
Sementara Negara
mempunyai hak untuk meminta kelebihan harta dai anggota masyarakatnya yang kaya
sebagai fasilitator maupun hakim pemerataan kesejahteraan. Titik tekannya bahwa
prinsip anfaq al-Afw sebagai hak
milik seseorang dan menyarankan untuk menafkahkan apa yang dapat disisihkan.
Seseorang dapat dituntut untuk tidak mengenyampingkan haknya, tetapi dia juga
mengakui kewajibannya untuk mengeluarkan hartanya sesuai dengan kebutuhannya. Apa yang diminta darinya sesuai
hukum dan moral adalah kelebihan harta yang ada padanya setelah terpenuhi
kebutuhannya. Jadi konsepsi Islam bertentangan dengan kosepsi komunis yang
tidak mengakui hak pribadi, begitu juga bertentangan dengan konsep kapitalis yang
membebaskan tiap-tiap individu menimbun harta tanpa batas dengan menegasikan
nilai-nilai kesetiakawanan sosial. (Nurjulianti dkk, 1995)
Sedekah sebagai
kewajiban moral, tuntutan yang langsung ditujukan kepada kaum Muslim ini
menjadi alarm bahwa tidak cukup dengan zakat sudah menggugurkan kewajibannya
sebagai seorang Muslim terhadap saudara sesama muslimnya. Jika seorang Muslim
tidak memenuhi kewajiban ini, maka dia tidak mendapat ridla Allah SWT. Dalam
Sabdanya Rasulullah menegaskan,”Pada setiap kekayaan seseorang terdapat
kewajiban (pada Tuhan dan manusia) di samping zakat”. Pengertian hadits ini
diperjelas dengan keterangan Ali Bin Abi Thalib bahwa jika orang kaya terus
menimbun hartanya sementara banyak orang
miskin di sekitarnya yang kelaparan, kedinginan/ kepanasan dan hidup dalam
kesengsaraan, maka mereka itu pantas mendapat murka Allah. Sedangkan menurut
Ibnu Hazm yang ingin membuktikan keyakinannya bahwa Islam menginginkan
penghapusan kemiskinan, dan menuntut kesejahteraan nasional yang merata. Islam
mengakui hak pribadi, tetapi ini tidak absolut. Maka pandangannya ini (Ibnu
Hazm) yang didasarkan pada pandangan Sha’bi, Mujahid dan Ta’us menggarisbawahi
bahwa masyarakat mempunyai hak atas harta orang kaya, bahkan setelah mereka
menunaikan zakat. Al-qur’an menggunakan kata Haq, hak kaum miskin; jadi apa yang diberikan oleh orang kaya
bukanlah amal atau derma, tetapi hak yang harus dikembalikan pada fakir miskin,
yang dengan kerja mereka, telah menciptakan kesejahteraan nasional.
(Nurjulianti dkk, 1995)
Adapun perbedaan
antara Sedekah dengan Zakat terdapat pada kadar yang dikeluarkan serta waktu
pengeluarannya. Aturan itu diberlakukan jelas diperuntukkan mengembangkan
kualitas moral di kalangan masyarakat banyak. Dan harta dalam kacamata Islam
memang harus digunakan demi kebaikan, kesejahteraan umum dan untuk memberi
bantuan pada orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Multi Level Marketing (MLM)
MLM merupakan
sejenis usaha bisnis dengan mengandalkan jejaring tim. Yang mana melalui
transaksi obat-oabatan, make-up
kecantikan, barang-barang produk ternama dan sebagainya. Dalam MLM terdapat
struktural yang secara garis instruksi dan koordinasi dihubungkan melalui
ikatan layaknya senior dan junior (istilah umumnya perekrut dengan downline-nya), maka identiknya dalam
menjalankan usahanya maka si junior yang harus lebih aktif mencari
mempraktekkan apa yang sudah diajarkan oleh senior, dalam hal ini selain
memasarkan produk juga mencari junior baru lagi. Sedangkan reward-nya berupa kenaikan jabatan dan hadiah menarik lainnya.
Beriut skema kerjanya :


Pada gambar sebelah
kiri menunjukkan struktur instruksi dan koordinasi antar perekrut dan downline-nya (senior-junior). Sedangkan
gambar di sebelah kanannya sebagai alur profitabilitas dari usaha jejaring tim
(downline). Dari gambar di atas
dijelaskan bahwa pada tahun pertama keuntungan hanya berkisar 5%, namun semakin
lama semakin bertambah prosentase keuntungan (profit, bonus, level) ketika downline-nya pun semakin bertambah
banyak dan giat melakukan jejaring tim sama dengan yang sedang dia (perekrut
awal) lakukan. Cara perekrutan yang dilakukan dikenal dengan ‘prospek’’. Adapun
kenaikan level maupun reward yang diterima disesuaikan dengan jumlah
downline-nya, lama waktu usaha sedikit mempengaruhi namun bukan faktor dominan
karena posisinya digeser oleh etos kerjanya dalam hunting downline dan
memasarkan produknya. Tidak tanggung-tanggung reward tertinggi berupa kapal
pesiar, liburan ke luar negeri, mobil dan sebagainya. Tidak disalahkan ketika
awal kemunculannya sangat menggiurkan para bisnisman, karyawan yang berjiwa
wirausaha maupun pelajar.
Multi Level Amal (MLA): kerangka Fungsional
Setelah konsep
peng-coveran dari reifikasi upaya pemerataan kesejahteraan Islam melalui dua
amalan di atas, maka perlu dikupas pula terkait langkah praktis dan strategis
supaya mendorong tercapainya tujuan yang dimaksud dengan tepat. Kita tahu
bahwa, dalam ajaran Islam melarang adanya perputaran harta hanya di antara
orang-orang kaya saja, dan mengajarkan secara eksplisit tentang beramal yang getok tular (formasi dari yang paling
dekat sampai yang terjauh). Meminjam gagasannya Kuntowijoyo tentang
objektifikasi, yang mana sebagai upaya men-derivasikan teks alqur’an agar mampu
dikontekskan melalui aplikasi-aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan
berusaha menjiwai dari perilaku bukan sekedar eksternalisasi melainkan
universalisasi dengan melepaskan simbol kesamaan agama dan sebagainya.
Kembali pada
redaksi beramal secara MLA atau bisa disebut gethok tular (sambung-menyambung) yakni sebuah panduan praktis
dalam menunaikan kewajiban kaum Muslim yang mempunyai kelebihan harta dalam
pemenuhan hak-hak fakir dan miskin yang diutamakan terlebih dahulu pada Kaum
Muslim terdekat kita. Siapa saja kaum Muslim terdekat kita? Maka dalam Islam
diajarkan ketika beramal berupa sedekah maupun zakat harus mencari dulu dari
lingkungan keluarga yang sekiranya masih kekurangan (tergolong dalam 8 ashnaf),
setelah dari lingkar keluarga tidak ada maka segera mencari di lingkar tetangga
terdekat, dari tetangga terdekat tidak ditemukan juga maka di lingkar
kelurahan, kecamatan sampai pada tataran lingkar yang lebih luas. Namun pada
umumnya kaum Muslim setelah melewati lingkar tetangga tidak ditemukan maka
langsung diserahkan kepada amil zakat mapun lembaga pengelola ziswaf setempat.
Landasan ayat :
surat al-isra ayat (17 : 26), “Dan
berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu)”. Dilanjutkan
surat Ar-Rum ayat (30 : 38), “Maka
berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan
orang-orang yang dlam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang mencari keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Redaksi
kerabat dekat, disusul orang miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan
seolah menjadi simbiosis penting yang sarat makna. Dalam perintah zakat
diusahakan untuk kerabat yang miskin, baru tetangga yang miskin (orang miskin),
sedangkan orang dalam perjalanan bisa diartikan musafir maupun orang pendatang
yang miskin (masyarakat urban di perkotaan). Maka jelas akan urutan jaring
lingkar yang harus ditaati oleh Muslim dalam membelanjakan hartanya di jalan
Allah SWT.
Multi level Amal
sebagai suatu terobosan yang lahir dari proses adopsi dan inovasi dari nama dan
sistem kerjanya (walau tidak semuanya), walaupun secara terminologi bukan anak
biologis dari redaksi Islam. Namun prosesi sambung-menyambung itu memang seolah
sederhana dan biasa, namun jika kita telisik lebih jauh tentang kekuatan amal
secara gethok tular tersebut mampu
membawa efek multiplier dalam upaya pemerataan kesejahteraan nasional.
Dalam sistem kerja
MLM memang mengandung unsur eksploitasi (dalam hal ini downline-nya), karena si perekrut awal hanya bertugas memprospek di
awal, dilanjutkan pemasok barang dan konselor selama berjalannya usaha. Namun
Dalam MLA ada warna beda yang menegasikan sistem eksploitasi tersebut. Yakni
dengan pengepakan niat, akad dan saat beroperasi yang sarat dengan nilai-nilai
Islam. Maka MLA menjadi niscaya sebagai upaya pemerataan kesejahteraan dengan
pemberdayaan sesama (umat) dalam rangka gotong-royong berbagi peluang dan alat
produksi. Termasuk dalam pengentasan kemiskinan layaknya memberi mereka kail
dan umpan, bukan langsung memberikan mereka ikan. Hal ini menunjukkan ada upaya
pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan masyarakat yang minim pendidikan,
sehingga dengan upaya tersebut diharapkan mampu mandiri dan menjadi sumber
pendapatan. Setelah mereka mampu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) mampu
menularkan sistem kerja tersebut kepada kerabat, tetangga maupun teman dekat
dengan konsep pemberian modal yang sama.
Namun yang perlu
digarisbawahi disini adalah dengan tidak mengadopsi sistem kerja MLM dalam
memperoleh keuntungan yakni dengan semakin banyak usaha yang berhasil didirikan
semakin reward yang diterima pemilik modal awal. Namun, ketika pemodal awal
mampu melahirkan 5 unit usaha kecil (akad Qard, maupun Mudharabah), dari kelima
sudah bisa mandiri dan mapan dalam hal ini ketika sudah bisa melunasi modal
pokok, maka bagi hasil yang harusnya diberikan kepada pemodal awal menjadi
tongkat estafet kewajiban bagi 5 unit usaha kecil tadi untuk
menyalurkannya pada unit usaha kecil baru berikutnya (kerabat, tetangga dan
teman yang masih perlu diberdayakan). Redaksi kewajiban tersebut jangan
diartikan sebagai eksploitasi (seperti konsep MLM), namun sebagai komitmen
untuk share modal kepada saudara
berikutnya agar mempunyai kesempatan yang sama dengan dirinya, sehingga mampu
memenuhi kebutuhannya. Pun, ketika ini dipraktekkan, sesungguhnya tidak ada
yang dirugikan, karena porsinya untuk semua pihak terbagi rata maupun ketika
dalam posisi tidak untung, dan diakadkan di depan, terutama bagi pemodal awal
karena usaha ini bukan profit oriented namun sebagai upaya pemberdayaan ekonomi umat
yang bebas dan sarat nilai-nilai Islam.
Jika
penelitian-penelitian yang sudah ada berupa zakat, maupun integrasi ziswaf
menjadi wahana pemberdayaan umat, maka MLA (Multi Level Amal) ini menjadi
panduan praktis dalam implementasi nilai-nilai Islam yang bersifat dari
personal untuk umat secara intens. Semoga menjadi pelengkap dalam proses
implementasi ekonomi Islam diIndonesia khususnya.
Daftar Bacaan
Nurjulianti, Dewi
dkk, 1995, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang,
(Jakarta : Yayasan Swarna Bhumy). Terjemahan dari buku Muhammad : Encyclopedia
of Seerah Volume II buku ketiga karya Afzalurrahman (ed) 1982.
Kuntowijoyo,2007, Islam sebagai Ilmu : Epistimologi,
Metodologi dan Etika Edisi II, (Yogyakarta : Tiara Wacana).
Zamakhsyari, Asmuni
Sholihan, 2010, Fiqih Ekonomi Umar Bin
Al-Khattab Cetakan III, (Jakarta : Khalifa)).
Wikipedia-MLM.
Http :
www.BPS.go.id
Komentar
Posting Komentar