Langsung ke konten utama

TELAAH ULANG TAFSIR RELASI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DALAM AL-QUR’AN



*ArinSetiyowati
Dalam bahasanya Fatimah Mernissi (Feminis Islam Pakistan), perempuan Muslim sudah terlalu lama "tidur dogmatis" karena efek kuat dari cengkraman penguasa dengan menyandarkannya pada aspek teologi, sehingga jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis dalam tradisi Islam tersebut tidak dibongkar, maka meskipun menjamurnya jaminan hak-hak sosial-politik perempuan tidak akan berarti.
Menyoal tentang Perempuan maupun relasinya dengan laki-laki seolah tiada habisnya. Setiap pergantian tongkat generasi, akan ada letupan pergeseran dan perkembangan terkait perspektif yang dipakai dalam melihat kontekstualisasi perempuan dan relasinya dengan laki-laki. Isu tentang gender ini telah menjadi tema sentral dan menarik untuk dibicarakan dan menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, perubahan sosial, dan juga persoalan pembangunan dan perubahan sosial. Sesungguhnya ini menjadi penting karena kaum perempuan dianggap punya andil dalam keberhasilan pembangunan, baik fisik apalagi moril. Dalam membicarakan persoalan gender pasti pikiran kita akan terus digiring terhadap eksistensi perempuan, terutama yang berkaitan dengan persoalan hak-hak yang terabaikan. Istilah gender itu pada awalnya berkembang sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley, dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Terlepas dari analisis yang dijadikan sebagai acuan untuk setiap persoalan perempuan, penulis sengaja menggambarkan realita yang cukup diperhitungkan untuk diperbincangkan baik di kalangan kampus atau akademisi maupun obrolan ringan di setiap pertemuan.
Sepenggal paragraf di atas menyiratkan akan titik kejenuhan seorang tokoh Feminis Islam Pakistan yang dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan (konsep gender) ternyata dipolitisir oleh para teolog atau pemimpin-pemimpin keagamaan dalam rangka membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa mereka. Yakni dengan mengkondisikan supaya mereka menerima mitos-mitos yang digunakan dengan sarat berbalut landasan-landasan teologis. Jika Fatimah hanya mempersoalkan terbatas lokus di pakistan, dan ternyata hal inipun yang menjadi beban perjuangan banyak di negara-negara dunia ketiga khususnya negara-negara dengan mayoritas beragama Islam. Lalu siapakah yang salah dalam hal ini? Berikut sedikit pemaparan menjawab pertanyaan yang selama ini kita anggap mapan karena proses sosialisasi yang sudah beranak pinak sampai ke kita dan melabelkannya menjadi sebuah titah yang tidak bisa dibantahkan, walaupun terkadang pengetahuan baru dan rasa ingin tahu yang sedikit ‘nakal’ membujuk untuk keluar dari benteng-benteng ‘konstruk agama’.
Islam, yang termaktub jelas dan komplit dalam al-qur’an sudah menandaskan bahwa keberadaannya untuk rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Ini yang menjadi landasan spirit awal upaya membongkar tafsir-tafsir yang sudah berkembang terkait ‘stereotipe’ bahwa Islam sebagai biang pelegitimasi atas diskriminasi yang dialamatkan pada perempuan. Tentu saja bukan pembelaan yang secara brutal tanpa dasar, melainkan mencandra tiap ayat-ayatnya dengan melihatnya dari beragam perspektif yakni perspektif historis (asbabun nuzulnya), sosio-kultural saat ayat tersebut diturunkan dan terutama tentang substansi nilai yang dimaksudkan dalam teks ajaran agama tersebut. Sebelum melangkah jauh, hal ini tentu saja dibatasai unutuk hal-hal yang menjurus pada urusan muamalah yang hukum asalnya mubah (boleh) selama tidak ada ayat yang melarangnya, dan di luar ayat-ayat yang berbau ubudiah.
Masih hangat dalam ingatan kita terkait sejarah pra-Islam, yakni masa ‘ketidakberhargaan’ perempuan, sampai-sampai setiap lahir bayi perempuan konon langsung dibunuh dengan alasan akan menjadi aib dan fitnah keluarga, dan dianggap perempuan itu tidak ‘produktif’ yakni tidak bisa diajak berperang, selain itu perempuan dijadikan komoditas perdagangan, harta rampasan perang, dan hadiah. Belum lagi tentang budaya nikah mut’ah tanpa aturan yang menjadikan perempuan sebagai makhluk serendah-rendahnya. Namun setelah Islam datang, hawa segar pembebasan dan pengaturan tata kehidupan yang memberikan martabat lebih kepada perempuan, kemudian muncullah aturan nikah poligami dengan beberapa sarat dan latar sosio-ekonomi yang dikedepankan, bukan sekedar menuruti nafsu laki-laki belaka. Lalu pelarangan membunuh bayi perempuan dsb. Berpijak pada latar histori ini, jika memang ada ayat yang mendiskriminasikan perempuan atau mungkin laki-laki maka perlu dikaji ulang lagi ayat tersebut. Maka melalui narasi kecil ini penulis dengan meramu referensi yang ada berupaya menelisik terkait ketidaksinambungan anatara spirit awal Islam dengan aplikasi yang membumi saat ini.
Telaah Ulang Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Alqur’an
-          Relevansi dikotomi Mudzakkar Muannas dengan subordinasinya perempuan
Dalam alqur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah gender. Namun jika yang disebut gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara non-biologis (meliputi perbedaan fungsi, peran dan relasi keduanya) maka dapat ditemukan untuk istilah untuk itu, diantaranya al-Rojul/ al-Rijal dan al-Mar’ah/ al-Nisa serta al-Zakar dan al-Unsa. Yang mana istilah-istilah tersebut sebagai gelar unutuk laki-laki dan perempuan, seperti suami (al-zauj) dan istri (al-zaujah), ayah (al-ab) dan ibu (al-umm), saudara laki-laki (al-akh) dan saudara perempuan (al-ukh), kaker (al-jadd) dan nenek (al-jaddah), orang-ornag muslim laki-laki (al-muslmimun) dan orang-orang muslim perempuan (al-muslimat). Demikian pula untuk kata ganti untuk laki-laki (damir mudzakkar) dan kata-kata ganti untuk perempuan (damir mu’annas).
Menarik untuk dikaji, bahwa tampaknya al-qur’an konsisten menggunakan istilah-istilah khusus dalam mengungkapkan fenomena tertentu. Misalnya jika yang hendak diungkapkan adalah laki-laki dan perempuan dari segi biologis maka digunakan kata al-zakar dan al-unsa. Sedangkan jika yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan dari segi beban sosial atau aspek gender, maka al-qur’an sering menggunakan al-rojul/al-rijal dan al-mar’ah a/al-nisa, pun untuk menunjuk laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa. Tentu saja hal ini berbeda ketika menunjukkan jenis kelamin binatang (QS. Al-an’am : 148), malaikat (QS. A-Isra : 40) dan setan (QS. An-Nisa : 17). Di samping itu istilah-istilah khusus yang menunjukkan komunitas manusia seperti kata al-ins yang digunakan untuk membedakan dengan komunitas jin, sedangkan kata al-insan lebih ditujukan untuk maksud menggambarkan keutamaan manusia yang mempunyai martabat dan posisinya sebagai khalifah di muka bumi. Berlaku juga untuk kata gantinya, kecuali jika ada alasan (qarinah) yang mentaksuskannya.
Meskipun al-qur’an mengungkapkan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, hal itu perlu ditelisik lagi apakah ungkapan itu mengacu pada unsur biologis, unsur budaya, keduanya sekaligus, atau ada acuan lain. Ditemukan sejumlah ayat yang mengungkapkan kekhususan-kekhususan perempuan (secara biologis) yang tidak diaalmi oleh laki-laki, seperti siklus menstruasi (QS albaqarah : 222), menopause (QS al-maidah : 40), hamil (QS. Ath0Thalaq : 4), melahirkan (QS almaidah : 45 dsb. Namun, kekhususan ini sering dipahami dan dijadikan sebagai alasan untuk memojokkan perempuan di sektor domestik. Ayat-ayat tersebut diasosiasikan dengan Q.S. Al-baqarah : 228 yang menyatakan bahwa laki-laki mempunyai satu tingkat kelebihan dan Q.S. An-Nisa : 34 yang menyatakan bahwa kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum perempuan. Padahal, belum pernah ditemukan satu ayatpun yang menyatakan bahwa fungsi reproduksi sebagai sebab atau alasan (’illah) mengapa perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Jadi, pengungkapan fungsi reproduksi tersebut tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan perempuan dari sektor publik. Hanya saja, pengungkapan itu menjadi isyarat bahwa laki-laki dan perempuan tidak mungkin disamakan secara biologis.
Persoalan konseptual tentang gender adalah selalu berkembang dan beda waktu maupun tempat menentukan proyeksi konsep gendernya. Sedangkan kajian tafsir yang masih mendominasi adalah kajian tekstual terhadap ayat-ayat yang berwawasan gender. Selain itu, sering terjadi ketegangan konseptual antara nilai-nilai alqur’an yang bersifat universal dan nilai-nialai budaya yang bersifat lokal. Adapun nilai-nilai alqur’an yang bersifat universal misalnya dalam Q.S. al-Luqman : 95 bahwa amal dan prestasi dari keduanya sama-sama diakui oleh Tuhan, Q.S. an-Nahl : 97 bahwa keduanya mempunyai hak untuk memperoleh kehidupan yang layak dsb. Sehingga dalam menjembatani kedua konseptual nilai tersebut dibutuhkan tafsir sosio-kultural dan historis yang melatarbelakangi turunnya ayat, sehingga menjadi pijakan yang kuat untuk diaplikasikan dalam kehidupan kekinian dan tidak akan mengurangi sifat dari ajaran alqur’an yang melintasi batas ruang dan waktu serta misinya sebagai ajaran pembebas manusia dari segala diskriminasi dan penindasan, termasuk di dalamnya diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya.
-          Proses penciptaan perempuan dan laki-laki
Paradigma yang berkembang tentang penciptaan perempuan umumnya bahwa Hawa (representasi dari perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam (representasi laki-laki). Di dalam Alqur’an tidak ditemukan rujukan yang berkaitan dengan pernyataan bahwa Adam diciptakan pertama kali dan Hawa diciptakan kedua serta dari tulang rusuknya Adam. Menurut penelitian Fatimah Mernissi, sama sekali tidak ada pemaparan tentang Hawa di dalam Al-qur’an. Istilah Adam muncul dua puluh lima kali dalam Al-qur’an, tapi hanya ada satu ayat (QS Ali Imran :59) yang mengacu pada penciptaan Adam.
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, Kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.”
Di sini perlu dinyatakan bahwa istilah ‘Adam” bukan istilah Arab, tapi istilah Ibrani dan deskripsi Adam sebagai makhluk dari tanah di dalam ayat yang dikutip di atas, tidak lebih daripada penegasan makna istilah tersebut. Ada tiga ayat lain (QS Ali Imran 35, QS Maryam 58, QS Al Maidah 30), yang mana istilah Adam digunakan sebagai nama diri untuk seorang individu yang jamak dimaknai nama Nabi. Karena bahasa Arab tidak ada huruf kapital, seringkali tidak mungkin untuk mengatakan apakah sebuah istilah digunakan sebagai nama diri atau sebagai benda umum tanpa melihat konteks dimana kata-kata tersebut muncul. Bagaimanapun tidak ada pernyataan jelas dalam Al-qur’an yang menyatakan bahwa Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.
Sebagai ganti ‘Adam’ dan ‘Hawa’, al-Qur’an berbicara tentang Adam dan al-zauj dalam QS Al-Baqarah 35, QS Al A’raf 19, dan QS Taha 117, orang-orang tanpa pengecualian  beranggapan bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dan berjenis kelamin laki-laki, maka bisa dipastikan anggapan untuk zauj tadi adalah perempuan. Karena itu zauj yang dinyatakan dalam Al-qur’an menjadi sama dengan ‘Hawa’. Namun baik asumsi pertama maupun kesimpulan yang ditarik tidaklah didukung oleh teks Al-qur’an secara jelas dan tegas, bahwa Al-qur’an tidak menyatakan bahwa Adam adalah manusia pertama dan laki-laki yang diciptakan, sehingga belum tentu Adam laki-laki dan terkait zauj-nya pun belum tentu perempuan. Seperti yang kita bahas di atas bahwa zauj lebih tepat diartikan suami, andaikata yang dimaksud adalah zaujatun mengapa tidak secara eksplisit disebutkan dalam ayat tersebut?, Fatimah menduga bahwa Adam dan Hawa dalam ayat ini bermakna bukan dalam konteks jenis kelamin, namun pada jumlah, dari indikasi bahwa ayat ini tidak dalam konteks menceritakan tentang kehidupan seornag laki-laki dan perempuan, tapi untuk mengacu pada beberapa pengalaman hidup semua laki-laki dan perempuan secara bersama-sama.
Sedangkan dalam proses penciptaan manusia, Al-Qur’an melukiskannya dalam tiga puluh tempat atau lebih yang terdapat dalam berbagai juz. Yang secara umum mengacu pada penciptaan manusia (dan alam) dalam dua cara, sebagai suatu proses evolusi yang masing-masing tahap atau fase yang kadang-kadang dinyatakan secara bersama-sama dan kadang secara terpiisah, dan sebagai suatu totalitas atau kenyataan yang lengkap (diantaranya QS Al-Hijr 26,28,29, QS An-Nahl 4, QS Al-Hajj 5, Al-Mukminun 12-14, Al-Furqan 54, As-Sajdah 7-9, QS Shad 71-72, QS Az-Zumar 6, QS Al-Mukmin 67, QS Ar-Rahman 3,4,14, QS An-Nuh 14,17 ...dsb)yakni rujukan untuk penciptaan manusia oleh Allah secara seksual dibedakan, tapi tidak ada prioritas atau superioritas diberikan baik pada laki-laki maupun perempuan.
Interpretasi untuk Aksi
Munculnya tafsir bias gender, boleh jadi disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Nasaruddin Umar, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, 2002) :
1.      Belum jelas perbedaan antara seks dan gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan
2.      Metode penafsiran yang selama ini digunakan masih banyak mengacu pada pendekatan tekstual bukan pendekatan kontekstual sebagai konsekuensi logis dari penerapan kaidah jumhur ulama bahwa yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab. Seandainya pendekatan ini di balik, seperti yang dilakukan oleh minoritas ulama tafsir, yakni dengan menjadikan pegangan kekhususan sebab bukannya keumuman lafadz, mungkin hasilnya akan berbeda terutama dalam menafsirkan ayat-ayat berbau gender. Di samping itu metode tafsir secara kronologi daripada metode tematis, seandainya menggunakan metode kedua maka akan lebih mendukung progresifitass  tafsir gender karena relasi gender dalam problematik sosial yang hendak dirombak secara bertahap dalam al-qur’an.
3.      Pembacaan tidak netral menilai teks ayat-ayat al-qur’an atau terlalu dipengaruhi oleh perspektif lain dalam membaca ayat-ayat gender sehingga dikesampingkan seolah-olah al[Qur’an lebih memihak pada laki-laki dan mendukung sistem patriarkhi, yang disebabkan juga oleh pemaknaan ayat-ayat yang parsial.
Mengatahui tentang esensi dari ajaran dan tafsir yang dikuliti secara fair, maka upaya penggeseran paradigma yang konyol dengan mencampuradukkan tafsir untuk hal-hal yang berbau ta’abudi dengan tafsir yang berbau muamalah, maka akan menjadikan perempuan pada khususnya dan semua subyek untuk lebih adil dan setara berproses dalam kehidupan. Dan yang ingin kami tegaskan bahwa jika mau serius dalam memaknai mendalam tentang tafsir-tafsir agama teruatama dalam hal relasi laki-laki dan perempuan maka Islam bukanlah agama yang menakutkan seperti yang mereka citrakan, Islam melalui Al-Qur’an hadir dalam misi pembebas, jadi tidak ada kata diskriminasi atas kaum perempuan maupun kaum lemah dan minoritas berbasis apapun. Point Rahmatan lil “alamiin menjadi kunci utamanya. Sehingga sudah saatnya dibutuhkan pendekatan metode yang komprehensif untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan gender karena tuntutan Zaman. Belum lagi ditambah maskulinisasi epistimologi dalam sejarah intelektual Islam melahirkan disiplin ilmu yang bias gender, akibatnya tafsir al-Qur’an dan Hadits sering dijadikan alasan unutuk menolak kesetaraan gender, dan harusnya wacana gender tidak hanya terbatas pada persoalan melulu fiqih perempuan namun sudah harus diarahkan pada persoalan yang sifatnya usuliyyah seperti Theologi perempuan. (Wallahu’alam Bishawwab)
*Dosen FAI UMSurabaya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...