Langsung ke konten utama

Cerita 14 Hari di Balik Kamar Isolasi

 

Rabu (14/10/2020) jam 08.30 wib pesawat bertolak dari Surabaya, lalu dilanjut jam 14.30 wib perjalanan utama dimulai take off dari soekarno Hatta via EVA Air menuju Taoyoan International Airport. Kali pertama saya melakukan perjalanan ke luar negeri sendirian, tanpa kolega. Terlebih ke Taiwan di masa pandemic yang terbilang ketat untuk lalu lintas warga asing untuk masuk ke negaranya.

Terhitung 5 jam perjalanan yang harus saya tempuh itu terasa 24 jam dengan perasaan yang tercabik-cabik karena harus meninggalkan anak suami serta kondisi pandemic yang lagi mencekam-mencekamnya. Entah berapa ember airmata yang harus saya keluarkan saat lampu pesawat dipadamkan, ingin hati tidur lelap, nyatanya hati dan pikiran bergjolak hingga membolak balik diri mulai dari bermuhasabah, menyalahkan diri sendiri hingga berpikir hal-hal buruk lainnya. Cengeng! Mungkin itu celaaan untuk diri saya sendiri, tapi begitulah hamba saat itu, yang tak kuasa dengan cercaan untuk diri sendiri saat sendiri. “Astaghfirullah al-‘adziim”, hanya mantra itu yang kurapal dalam rangka menenangkan jiwa hamba yang bergejolak atas migrasi yang sendiri di tengah pandemic ke negeri asing. HIngga akhirnya pesawat landing dengan selamat walau diguyur hujan saat memasuki bandara Taoyoan.

Perjalanan sendiri ini pun menyisakan identitas berbeda dari penumpang-penumpang lain yang saya temui, bukan sebagai student apalagi sebagai (TKI) Tenaga Kerja Indonesia. Hingga sampai di meja imigrasi dan counter overseas untuk registrasi nomor Taiwan saya harus menjelaskan detail terkait identitas dan maksud kedatangan saya di Taiwan. Agak nyesek sih, saat yang ngeliat lainnya bisa ketawa ketiwi dan saling bahu membahu untuk menyelesaikan beberapa urusan identitas di bandara secara berkoloni, sementara saya harus mandiri dan bermodal muka tembok untuk tanya ke satu orang ke orang lain. Pun saat di meja penjemputan, lagi-lagi saya ‘tingak tinguk’, kemana selanjutnya diri ini. Sementara yang lain dijemput oleh guide kampus masing-masing, hamba harus langsung ketemu dengan pak sopir taxi untuk diantar ke tempat karantina.

 



Hal lucu yang saya alami adalah dengan modal Bahasa mandarin yang ‘xie-xie dan nihao’ saja tanpa teman pandamping itu membuat roaming tak berkesudahan dengan bapak sopir taxi yang tidak bisa berbahasa inggris pula. Jadi awal dari masuk taxi sampai di depan hotel tempat karantina ya kami roaming saja, dia ngomong mandarin apa saya ndak tau, lalu saya jawab sesuai pembacaan gesturnya dengan Bahasa inggris saja. Haha. Dia bertugas mengawal saya hingga sampai tempat penginapan karantina berbasis kertas dari pusat taxi bandara yang sudah saya isi dengan tarif tunggal bersubsidi yang ditetapkan oleh pemerintah Taiwan jarak jauh dekat. Malam itu saya membayar sebesar sekitar 1080 NTD. Tapi percayalah, mereka trusted dan taat aturan pemerintah. Awalnya saya takut mengingat masih buta Taiwan, tetiba harus diantar dengan protokol kesehatan dg pak sopir langsung ke lokasi yang sayapun belum tau lokasinya. Perjalanan sekitar 3 jaman melewati tol yang panjang dai bandara ke lokasi membuat saya gusar sepanjang perjalanan. 

Tepat jam 12.00 malam nyampai di lokasi penginapan sesuai yang dipesankan oleh pihak kampus. Semakin menambah kegelisahan saya, saat menapaki penginapan hotel dengan bangunan tua dan desain terior ruang resepsionis dan lift yang 'radak aneh' semi-semi angker gitu. Ditambah lagi penjaga meja resepsionisnya memasang wajah masam dan ndak bisa berbahasa inggris pula. Lalu dia memanggil temannya yang lain untuk turun ke bawah yang sama perawakan laki-laki bukan wajah resepsionis dengan usia paruh baya tak bisa berbahasa inggris pula, lengkap sudah. Tapi si bapak ini menggunakan ponselnya untuk menjelaskan maksudnya ke saya via google voice translator, sehingga saya kami masih bisa terhubung. Lalu si bapak menyodorkan kuitansi pembayaran sewa kamar isolasi selama 14 hari dengan jumlah sekian NTD. Setelah itu si bapak menjelaskan beberapa aturan kamar, dengan tangannya meraih kertas di laci untuk disodorkan ke saya tentang aturan kamar yang barusan dia jelaskan. Dan amazing sekali, mereka sudah menyediakannya berbahasa Indonesia seperti gambar berikut, jadii berasa keluarga dg mudah lah saya pahami. Setelah saya bayar, saya diantar ke kamar saya.





Oleh si bapak paruh baya ini lah saya di tunjukkan kamar pojokkan dengan lampu yang warna semi kekuningan membuat saya agak takut iya dan pikiran ‘radak aneh’, tapi saya Tarik Kembali pikiran positif saya untuk menemani saya mengenali dan menemukan kenyamanan di kamar tersebut. Karena nyampe tempat karantinyanya sekitar jam 12.00 waktu Taiwan, alhasil setelah beberes sebentar sholat, makan dkk, sambal vicall sama suami hingga tertidur.

Selama 2 minggu di tempat asing dan harus menjalani karantina mandiri di kamar yang asing itu rasanya nano-nano alias ‘rancak bana’. Bayangkan proses adaptasi Bahasa, budaya, cuaca hingga perihal makanan harus dilakoni di dalam sepetak tanah ukuran 3*4 meteran.

Selama menjalani karantina mandiri 14 hari di kamar penginapan, kami dijatah 3 kali makan sehari dan air minum dengan menu yang beragam. Karena citarasa lidah beda, setiap hari dengan menu yang pada hari ketiga saya mulai menguatkan hati untuk belajar menghabiskan jatah makanan. Meskipun hasilnya belum signifikan, tetapi demi memenuhi kebutuhan tubuh, maka mau tidak mau atau suka todak suka harus mengadaptasikan lidah dengan citarasa masakan Taiwan yang sangat berbeda dengan citarasa makanan Indonesia. 




 

Sayurnya banyak siih, tapi menurut saya pribadi rasanya hambar hingga aneh. Untuk meminimalisir ke-ogahan makan, apapaun menunya, saya akan mengolesi makanan dengan sambal A*C dari Indonesia yang saya siapkan untuk kondisi begini ini. Terlebih lidah say aini terbilang radak susah beradaptasi dengan makanan baru apalagi dengan rasa-rasa yang aneh (red karena belum pernah dan blm biasa makan makanan tersebut). Sedikit agak pedas, minimal setiap menu yang hambar dan monoton maka apa daya supaya bisa mengisi hak perut minimal 5-10 sendok makan. 



 

Bersyukur, setiap jatah makan siang, ada buah pencuci mulutnya, seringnya sih pisang atau buah naga. Jadi yang namanya buah kan nggak beda, alhamdulillah menambah daya support imun tubuh agar tetap fit di dalam sepetak kamar sendirian. Selain itu, tambahan minuman baik the kotak maupun jus kotak juga beberapa menjadi menu tambahan bisa jadi asupan penyegar.

Adapun Jatah makan yang lebih sering saya tunggui adalah jatah breakfast, entah burger, lumpia ala Taiwan atau roti tawar berisi sayur mayur plus susu kedelai. Meskipun untuk mengenali rasa susu kedelai butuh waktu 2-3 hari. Tapi minimal saat pagi nutrisi perut sudah terisi. Lalu menu-menu ayam bakar berbumbu yang sangat tidak rekomended buat lidah saya, hingga pernah sekali ada menu ayam krispi, MaasyaaAllah, langsung saya lahap habis, Niqmatnya melebihi fried chickennya M*D maupun K*C deh..haha. Artinya adaptasi makanan ini menjadi hal penting saat kita memutuskan untuk singgah maupun menetap di negara orang. Saking takutnya susah adaptasi dengan makanan.

Selain makanan, hal krusial lain yang perlu saya selesaikan adalah mengorganisir waktu 24 jam x 14 hari di kamr sendirian supaya tidak gabut berujung galau itu yang harus saya selesaikan berikutnya.

Hari pertama, masih jetlag dan proses melepas Lelah seharian dan beberes untuk melakukan setting kamar supaya nyaman saya tempati. Setelah itu, saya harus bergegas untuk mengerjakan PR untuk proses visitasi daring salah satu prodi hingga larut. Sehingga mengurangi halusinasi pikiran dan psikologis.

Dilanjut hari kedua dan ketiga, Visitasi daring yang memaksa saya standby di depan layar laptop sedari pagi hingga petang. Tiga hari atau bahkan seminggu pertama setiap datang malam akan menyisakan kegalauan buat saya. Pikiran bercampur-campur kemana-mana, saat menyaksikan anak tidur tanpa saya, saat diri harus memisahkan ayah dengan anak, anak dengan ibu di tempat yang berbeda, terlebih sika psi sulung yang cuek saat saya mencoba berkomunikasi dengannya via vcall. Ahhh….berasa diiris hati ini. Tapi harus saya hadapi dan jalani, minimal untuk waktu 3 bulan ke depan.

Selepas visitasi berakhir, ada kekosongan aktifitas sedari pagi hingga petang, akhirnya saya memutuskan untuk membuat jadwal dan rutinitas supaya tidak dilanda gabut berujung galau. Mulai melakukan listing Webinar yang akan saya ikuti, hingga materi-materi yang harus saya lahap. Mumpung wifi non-stop yang merupakan bagian dari fasilitas kamar. Sempat di hari-hari pertama eror, lalu mencoba menghubungi pihak resepsionit penginapan saat jam kerja terkait sinyal wifi yang sempat mati. Setelah diurus beberapa waktu akhirnya wifi terselamatkan dan bisa dengan lancer berinternet ria untuk mengisi waktu selama karantina.

Sehingga otomatis saya harus mendisiplinkan diri saya untuk merutinkan mandi pagi dan sore pada jam tertentu, terlebih kondisi cuaca dan suhu yang lumayan terbilang dingin jika dibandingkan dengan Surabaya dan sidoarjo.

Mulai pagi, olahraga ringan, bersih-bersih kamar sembari sarapan dan jadwal vcall dengan anak suami. Lalu mandi lanjut meletakkan sampah di depan pintu kamar. Setelah itu, rutinan cek suhu tubuh dan report mandiri dengan reply pesan dari satuan tugas covid-19 Taiwan. Dilanjutkan dengan membuka laptop untuk standby pada schedule dan materi yang sudah saya siapkan.

Di luar itu, alhamdulillah, saya masih ada tanggungan kelas online di semester ganjil TA 2020/2021 sebanyak 3 kelas, sehingga membantu sekali dalam mengisi kejengahan berada dalam ruangan sendirian. Selain itu, jadwal zoom meeting pun juga ikut andil meringankan stressor di kamar, sehingga bisa cuap-cuap dengan teman dan rekan kerja di Indonesia. Jadi bersyukur sekali, karantina mandiri masih dalam suasana kerja, sehingga sangat membantu mengalihkan beban psikologis saat sendirian di kamar. 


 

Meskipun penyakit setiap malam masih lumayan susah dihilangkan saat harus tidur sendirian dan teringat anak suami dan keluarga nan jauh di mata. Tapi, alhamdulillah 14 hari karantina bisa terlewati dengan aman. Akhamdulillah, tanggal 14 Oktober check in dan 29 Oktober 2020 check out di siang hari setelah menyelesaikan tugas diskusi online fakultas. And Then, Time to the reality.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...