Perlindungan bias
gender
*Arin Setiyowati
Perempuan itu makhluk yang lemah, irrasional, harus
dilindungi. Mungkin beberapa karakter tersebutlah yang sarat mewakili sosok
perempuan. Padahal jika ditelisik, tidak semua mutlak ada di perempuan. Dalam
bahasan gender, maka pelabelan sifat tersebut merupakan bentukan sosial dan
budaya (konstruk social dan kultur) yang dengan ‘segaja’ diturunkan dari
perbedaan seks secara biologis antara laki-laki dan perempuan. Realitanya,
tidak sedikit wonder women yang mampu
mandiri, kuat dan rasional dalam menjalani aktifitas kesehariannya, karena
penurunan sifat tersebut sudah tidak masuk dalam ranah kodrat yang mutlak ada
pada perempuan. Hal inilah yang sering menjadi silih ganjih dalam paradigm masyarakat antara kodrat dan bukan
kodrat. Kodrat merupakan ketetapan Allah yang mutlak dan tidak bias
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, missal perempuan memiliki
payudara, menstruasi, alat vital vagina, melahirkan dan menyusui. Sedangkan
laki-laki yang memiliki kalamenjing,
alat vital penis dsb, jelas hal-hal tersebut tidak bias dipertukarkan. Non
kodrat lebih pada penurunan dari perbedaan jenis kelamin (seks), namun dalam
realitanya ada campurtangan budaya dan masyarakat yang membentuk karakter atau
sifat seperti laki-laki itu kuat, jantan, rasional dsb, begitu juga perempuan
seperti yang tersebut di atas. Namun nyatanya seiring perubahan waktu dan
tempat karakter maupun sifat tersebut dapat dipertukarkan, karena hal tersebut
bukanlah kodrat. Dan tidak dinegasikan legitimasi agama, kebijakan
pemerintah/Negara, adat budaya setempat ikut andil pula dalam mengkonstruk
ambiguisitas paradigma yang menjadikan pelabelan sifat tersebut seolah kodrat
perempuan (lembut, jeli, irrasional, lemah, cenderung dilindingi dll).
Perbedaan gender (seks laki-laki dan perempuan) yang melahirkan perbedaan
pembagian peran (gender differences) pada dasarnya tidak ada masalah, namun
apabila dari pembedaan tersebut terdapat ketidakadilan, maka hal itulah yang
perlu dipertanyakan dan diperjuangkan.
Bus khusus wanita yang akhir-akhir ini marak diluncurkan oleh
pemda tepatnya pemda Jakarta dengan produk bus trans-jakarta khusus wanita dan
tidak ketinggalan produk kota Surabaya bus kota khusus wanita yang jumlah bus
dan trayeknya masih terbatas, baru beberapa hari terakhir gembor dioperasikan.
Bus kota yang sengaja dihadirkan di kota pahlawan ini sebagai bentuk respon
atas maraknya tindak kriminalitas dan pelecehan seksual yang kerap dialamatkan
kepada kaum hawa, sehingga dengan bus khusus perempuan ini menjadi solusi dan
bentuk perlindungan pemkot terhadap kaum
perempuan.
Dalam perspektif nilai empathy dan nilai kemanusiaan memang
diacungi jempol atas ide transportasi khusus perempuan, namun ketika direnungi
mendalam, maka kebijakan ini seolah bias gender dan terkesan lupa dengan
semangat feminitas yang harusnya mampu disemai sehingga tercipta relasi
laki-laki dan perempuan yang harmonis. Ketika ada proses eksklusifitas atas
diri perempuan, maka hal tersebut menunjukkan memang ada masalah dalam
perempuan. Dan seolah mengamini kalau perempuan lemah sehingga perlu
dilindungi. Padahal ketika ditelisik dalam prakteknya, bus yang diperbolehkan
bagi perempuan, atau perempuan dengan putra-putrinya yang masih kategori
anak-anak, sedangkan untuk pasangan suami istri maka yang dibolehkan hanya sang
istri, sedangkan sang suami tidak diperbolehkan. Belum lagi jika rombongan anak
sekolah yang bener-bener butuh bus tersebut saat jam-jam sekolah, maka anak
sekolah yang laki-laki harus dengan sengaja tidak dilayani. Sehingga menurut
penulis hal ini timpang, terlebih jika ditilik kompleksitas penumpang. Padahal
semangat feminitas yang digembor-gemborkan para aktifis perempuan berupa spirit
keadilan dan relasi yang baik antara laki-laki dengan perempuan. Dengan adanya
bus kota khusus perempuan semakin membuat jarak dan ketimpangan posisi antara
laki-laki dan perempuan. Bukan malah semangat maskulinitas yang dipakai, karena
mengambil jarak secara paksa dengan laki-laki (non-perdamaian) seperti hari
ini.
Perjuangan nasib kaum perempuan maupun feminisme yang ada
hari ini tak terelakkan memang dikungkungi oleh paham-paham besar dunia
diantaranya kapitalisme, developmentalisme, modernisme. Sehingga melahirkan
ragam gerakan feminism yang bervariant juga. Mansour fakih menggolongkannya
dalam empat besar kategori gerakan/ aliran feminism yang menjadi sumber spirit
gerakan-gerakan perempuan hari ini terlebih Negara-negara dunia ketiga seperti
Indonesia, yakni feminism liberal, radikal, marxis dan sosialis. Dari keempat
varian tersebut mempunyai ciri, keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun
penulis disini tidak ingin mengurai keempatnya satu per satu, melainkan menakar
pisau analisis yang mencoba mengambil sisi positif dari spirit ragam aliran
feminism tersebut. Spirit bahwa perempuan merupakan makhluk rasional dari
feminism liberal mampu menelorkan beberapa kebijakan yang bernuansa
pemberdayaan perempuan supaya mampu berkompetisi dengan laki-laki di ruang
public. Sedangkan spirit personal is
political yang lahir dari feminisme radikal berbuah pada kebijakan
pemerintah kita tentang peraturan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) untuk
tidak malu mengungkap persoalan pribadi/ privat ke khalayak umum. Feminisme
marxis yang terilhami dari ide besarnya Karl Marx bahwa penindasan perempuan harus
diletakkan pada kritik atas kapitalisme di ranah produksi, dan revolusi
sosialis menjadi solusi bagi faham ini, serta urusan rumah tangga, kewajiban
menjaga mendidik anak menjadi tanggungjawab publik. Sedangkan sosialis lebih
penyempurnaan dari aliran feminisme radikal dan marxis, sehingga tuntutannya
selain kritik atas kapitalime juga kritk
ataspenindasan maupun pendominasian kaum laki-laki atas perempuan (budaya
patriarki).
Beberapa hal yang dapat dijadikan renungan dari kasus ini,
bahwa memperjuangkan perempuan tidak sama dengan perjuangan perempuan melawan
laki-laki. Persoalan penindasan terhadap perempuan bukanlah persoalan kaum
laki-laki, melainkan persoalan system dan struktur ketidakadilan masyarakat dan
ketidakadilan gender salahsatunya. Sedangkan gerakan kaum perempuan dalah
gerakan transformasi dan bukan gerakan untuk balas dendam kepada laki-laki.
Jika demikian gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk
menciptakan hubungan antara sesama manusia yang secara fundamental lebih baik
dan baru. Hubungan ini meliputi hubungan bidang ekonomi, politik, kultural,
ideology, lingkungan dan termasuk di dalamnya hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Dengan mengkhususkan perempuan dalam hal ini transportasi bus kota,
maka seolah menjinakkan (cooptasi) dan mengalienasi perempuan itu sendiri, dan
mengamini bahwa perempuan itu lemah, lembut dan perlu dilindungi dengan
penspesialan transportasi tadi. Memang hal ini sulit dan pernyataan yang aneh,
tapi dalam mewujudkan keadilan gender dan transformasi social sesuai tujuan
awal memang harus melawan hegemoni paradigm masyarakat yang terlanjur mapan dan
kompleks adanya.
Jadi kebijakan ini masih ambigu dan disorientasi. Jika memang
kota Surabaya yang dikenal dengan kota metropolis dan tingkat emansipasi
perempuannya yang patut diacungi jempol, maka seharusnya bukan malah
mendikotomikan perempuan dalam hal transportasi, tapi lebih pada kebijakan
aturan dalam kendaraan-kendaraan umum yang diperketat untuk pengoperasiannya,
edukasi intensif tentang moral baik dari lingkungan pendidikan formal, non
formal dan masyarakat, serta penindakan tegas pada pelaku kriminalitas maupun
pelaku pelecehan seksual agar jera sehingga meminimalisir segala bentuk
kejahatan dalam angkutan perempuan yang ditujukan pada kaum perempuan.
Komentar
Posting Komentar