FENOMENA
Rutinitas Ramadhan dengan spirit
ramadhan (paradoks)
Surabaya
sebagai kota metropolitan kedua sudah bias dipastikan kegaduhan dan keruwetan
suasana di dalamnya. Gedung-gedung pencakar langit yang saling berhimpit,
kepulan asap yang menyamar menjadi kabut kota, suara klakson yang saling
bersautan sebagai tanda kesombongan atas kekayaanya, sesak dan kesah yang ada
di dada pendatang.
Tidak
jauh berbeda dengan bulan-bulan biasanya, Ramadhan yang idealnya menjadi bulan
berkhidmat dan taqarrubnya umat Islam kepada sang khalik, maka kondisi berbeda
ditawarkan oleh kota pahlawan ini. Rutinitas ramadhan seperti buka puasa,
tarawih, banyak shodaqoh, meramaikan bulan ramadhan, jarang tidur karena
membaca alqur’an dan sebagainya tersebut disulap oleh Surabaya menjadi ladang
subur bagi pengusaha dan penebar budaya kapitalis.
Bagaimana
tidak, bulan ramadhan yang menganjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa dan
berbukalah dengan yang manis-manis, dimodifikasi menjadi ladang pengusaha
kuliner dalam mengeksploitasi konsumen dengan suguhan beragam minuman, makanan
ringan, lauk-pauk siap saji. Sehingga jika ramadhan tiba maka mulai menjamurlah
pasar sore liar khusus menyediakan santapan berbuka puasa dan dengan fasilitas
lainnya. Saya rasa tidak memberikan efek yang berarti dalam kekhusukkan
berpuasa, namun dengan tawaran-tawaran tersebut dikhawatirkan esensi puasa yang
melatih umat Islam mampu merasakan lapar dan dahaganya fakir miskin, serta
diharapkan muncul sifat hemat, sehingga tidak diperbudak oleh nafsu terhadap
makanan semata. Sehingga tidak jarang saat waktu taraih, banyak yang
konsentrasinya di pasar-pasar makanan tadi daripada pergi ke masjid. Cita rasa
makanan menjadi target utama daripada mencari dan memperoleh manfaat atas
puasanya tersebut.
Amalan
yang dianjurkan dalam bulan ramadhan salah satunya banyak beramal dan
bershodaqoh. Tidak kurang akal, moment tersebut disadap habis-habisan oleh
orang-orang yang kurang mensyukuri nikmat sehingga rela beralih profesi menjadi
peminta-minta, pengemis dengan segala atributnya, berakting di tempat-tempat
umum, di pinggir jalan, dan lebih semangat lagi yang rela berkeliling kampong
maupun perumahan untuk mengemis. Subhanallah…sungguh cerdas sekali ya otak
manusia, sehingga melupakan esensi hidup karena diperbudak oleh kehidupan yang
fana ini. Kalo modus tersebut dilakukan oleh perorangan, maka tidak kalah
kreatif lagi, bagi lembaga penampung zakat yang secara dadakan menjamur dengan
beragam nama dan tawaran. Berkedok lembaga zakat, lembaga infaq, atas nama
panti asuhan yatim piatu, panitia pembangunan masjid dan sebagainya yang rela
keliling kampong, perumahan bahkan menyebar di mall atau ada di tempat
kerumunan banyak orang. Penulis bukan bermaksud su’udzon, namun fenomena yang
hanya terjadi di bulan ramadhan ini membuat saya bertanya, lantas puasa yang
dijalankan mereka dengan niat sebatas ritual atau memang sadar akan kebutuhan
mengendalikan nafsu kemanusiaannya lewat puasa?, Padahal jika ditelisik, jika
di luar blan ramadhan maka di Indonesia sudah tidak kekurangan lembaga resmi
yang menangani baik zakat, infaq maupun shodaqoh, baik yang dikelola Negara
atau ormas tertentu, yang pasti ragam nama dan modusnya selalu menjamur di
bulan ramadhan. Dan pertanyaan mengganjal, kenapa hanya di bulan ramadhan
mereka ada dan bergerak?, mungkin saja patut menjadi koreksi untuk diri kita
semua.
Dalam
sebuah redaksi yang lazim kita temui dan dengan lewat corong mimbar-mimbar
masjid, bahwa bulan ramadhan harus diramaikan dan diusahakan mengurangi tidur,
yang harusnya menjadi waktu untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Namun redaksi
‘meramaikan’ berubah menjadi meramaikan yang bermakna denotas, sehingga muncul
rutinitas bulan ramadhan dengan suara kembang api, petasan, mercon dan
sejenisnya. Sehingga tidak heran, musim ramadhan musim kasus kecelakaan karena main
petasan baik anak di bawah umur maupun orang dewasa. Harusnya anjuran
meramaikan tersebut adalah dengan mengisi malam-malam ramadhan dengan
amalan-amalan baik shalat lail dan membaca alqur’an. Surabaya yang megah dan
meriah, khususnya bulan ramadhan dengan suara-suara petasan di setiap sudut dan
sisinya.
Rutinitas
ramadhan mana yang masih alami punya nilai taqarrub pada-Nya?, maka jawabnya
tergantung masing-masing kita mampu memberikan energy positif di sekitar kita
agar mampu menjalani rutinitas ramadhan sesuai esensi yang dimaksudkan. Penulis
yang tergolong pendatang di kota industry ini terkadang ingin menjerit melihat
tayangan setiap detiknya tentang fenomena ramadhan di Surabaya, berbeda sekali
dengan suasana penuh kedamaian dan kekhidmatan berpuasa di pedesaan, akan
terasa nikmat berpuasa disana, walau tidak dipungkiri sudah sedikit
terkontaminasi dengan gaya hidup ‘hedon’, namun spirit ramadhan masih sangat
mudah dibentuk, ditemukan dan digali dari kampong, bahkan pelosok kabupaten
sekalipun.
Melalui
tulisan ini penulis ingin mengintrospeksi diri kita masing-masing dalam menjalankan
ritual ramadhan kali ini. Semoga kita mampu menangkap spirit sesungguhnya dari
puasa kita, baik di sisa bulan ramadhan kali ini, usai ramadhan, maupun
ramadhan yang akan dating. Amiin
Semangat
Feminitas (yang peduli dan peka terhadap sekitar serta penuh dengan kedamaian)
bukan maskulinitas yang memaksa dan dipaksakan agar sempurna dengan jalan
kekerasan, baik ubudiyah maupun amaliahnya dalam menjalankan ritual puasa.
Komentar
Posting Komentar