Langsung ke konten utama

Perempuan : pergolakan antara etik dan epistemik


PEREMPUAN : Antara Etik dan epistemik
Oleh : Arin Setiyowati*

Gender dan Seks
Secara umum, gender dapat diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek nilai dan perilaku. Hematnya, gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Hal ini berbeda dengan sex (seks) yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Sehingga sex bersifat kodrati, biologis dan non-konstruksi sosial budaya dengan kata lain ketetapannya tidak bisa dipertukarkan (given). Sedangkan gender bersifat non-kodrati, non-biologis, dan konstruksi sosial budaya sehingga dapat dipertukarkan (non-given).
Nasaruddin Umar menyebutkan, bahwa istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karateristik biologis lainnya. Berbeda dnegan gender yang lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. (Mochamad Sodik, Telaah Ulang Wacana Seksualitas, 2004)
Aspek maskulinitas dan feminitas menjadi bahasan dalam gender. Hal ini bisa dibuktikan dalam pertumbuhan anak, ketika sejak kecil si anak dibiasakan, dikonstruk jika laki-laki maka harus jantan, agresif dalam bersikap misal menyatakan cinta, pola game-game yang berbau keras misal pistol, mobil-mobilan, pesawat tempur dsb begitu juga untuk anak perempuan dengan segala kelembutan sikap, permainan masak-memasak, boneka dsb. Namun ketika anomali pembiasaan itu kita balik, maka akan ada judge bahwa menyalahi kodrat dan aib yang memiliki sanksi psikis oleh masyarakat yang sebenarnya itu sah-sah saja karena tidak lagi masuk lingkup kodrat(karena dapat dipertukarkan). Sehingga berdasarkan tesis Foucoult dapat diikatakan bahwa gender merupakan bentukan sosial. Proses menjadi laki-laki maupun perempuan itu bukan karena kodrat atau kualitas biologis yang melekat pada dirinya, melainkan bentukan praktek disiplin dan praktek diskursif. Dari premis ini keberagaman seksualitas memperoleh sedikit ruang toleransi.
Dalam kenyataannya, perbedaan jenis kelamin sering melahirkan perbedaan gender dalam masyarakat. Seharusnya dengan adanya perbedaan gender tidak ada masalah berarti, hanya saja ketika perbedaan gender tersebut terdapat ketidakadilan atau ketimpangan baik laki-laki maupun perempuan, sehingga agenda kesetaraan menjadi keniscayaan untuk mewujudkan kkemaslahatan umat. Sangat tidak diharapkan jika dengan adanya beda jenis kelamin, menjadi alasan dibedakan pula kesempatan mengenyam pendidikan, memperoleh keadilan hukum serta kesempatan eksis di ranah publik. Lebih parah lagi apabila persoalan reprodukksi dan aktivitas seksual menjadi jalan terkungkungnya hak seseorang untuk mengakses pergaulan maupun dalam urusan Teologis (beragama).
Mansour Fakih menjelaskan bahwa ketiidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotipe, kekerasan dan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden) serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender ini seringkali hadir dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara dan politik global. Pada wilayah inilah sangat dibutuhkan perspektif keadilan gender yyang matang sebagai upaya dekonstruksi terhadap sudut pandang yang bias gender.
Benteng Tradisi (Etik)
Tradiisi dalam KBBI berarti adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat ; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Dari bahasa saja, tradisi berasa kkeras, mengikat dan kaku bagi pemiliknya. Mengingat begitu sangat kuatnya kekuatan tradisi (adat) tersebut dalam sebuah kutipan surat Kartini, “Jika undang-undang (adat istiadat) di sini mengizinkan, saya ingin membaktikan diri untuk pekerjaan dan perjuangan wanita di Eropa. Hanya saja, adat istiadat yang sudah terbentu berabad-abad lamanya tidak begitu saja diubah, karena telah membelenggu kami kuat-kuat. Suatu hari nanti, tentu belenggu itu bisa melepaskan kami. Akan tetapi, saat-saat seperti itu tentu masih jauh dari bayangan kami, tak terhingga jauhnya!!!”
Nah, dalam hal ini ketidakadilan gender masuk dalam piranti budaya masyarakat yang dibalut dengan hukum tradisi (adat Istiadat) dan agama yang tentu saja tidak lepas dari pemahaman pelaku penguasa kala itu. Sehingga ketika muncul upaya perlawanan terhadap paham yang sudah bias gender dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum adat dan agama. Hematnya perjuangan penghapusan sudut pandang yang bias gender sebagai upaya yang menentang tatanan yang sudah mapan, sehingga perlu solusi cerdas dan kontinyu sehingga spirit penghapusan ketidakadilan gender mampu menurun sampai pada anak keturunan, kalau memang belum bisa diwujudkan hari ini, maka dua sampai empat keturunan kita yang akan merasakan sejengkal usaha kesetaraan ini. Kartini sudah bermimpi dan membuka celah berimaginasi dilanjutkan oleh pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia hingga hari ini kita sudah sedikit merasakan imbas perjuangan mereka baik dalam legal drafting maupun kultural, walau di sana-sini masih terdapat kekurangan, dan spirit itulah letak tanggungjawab kita sebagai penerus estafet perjuangan harus mampu tertransformasi dengan baik dari generasi ke generasi berikutnya.
Jika merunut sejarah manusia, muncul manusia purba dengan segala perkembangannya yang sebanding dengan pola hidup mereka. Dimulai dari komunitas kecil keluuarga yang melakukan pembagian kerja, laki-laki berburu ke hutan, bercocok tanam, singkatnya mencari nafkah keluar rumah, sedangkan sang istri cukup di rumah, memasak, mengurus rumah dan menjaga anak. Hal itu yang dipatok oleh tradisi kita dalam mengalirkan perbedaan gender sampai hari ini terpatri di benak kita karena praktek disiplin (pembiasaan). Engels menyatakan bahwa penindasan yang dialamatkan kepada perempuuan muncul ketika adanya perubahan organisasi kekayaan (hak milik), yang kemudian menjadi dasar bagi perdagangan dan produksi untuk perdagangan, oleh karena laki-laki yang mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial-politik (dunia publik) sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari kekayaan (property) semata. Nampak begitu kuatnya fondasi dilegalkannya praktek-praktek ketidakadilan gender sehingga dianggap biasa bahkan sebuah keharusan yang akhirnya dinamakanlah kodrat sosial.
Dogma Agama dan etika budaya sebagai candu awal kehidupan manusia dan dijadikan sandaran kebenaran dan kemutlakan apa yang diajarkannya  membentuk moral pada masing-masing pribadi, termasuk dalam kasus kodrat sosial tersebut. Suatu hal yang seharusnya bukan kodrat, namun karena telah terjadi selama beratus-ratus tahun serta disepakati masyarakat setempat maka dianggap etika/ norma budaya yang hukumnya wajib, dan tidak bisa ditukkar apalagi dinegosiasikan, jika terdapat pelanggaran maka sanksi moral menjadi gadainya.
Dua faktor penting dalam suntikan wajib bagi setiap pribadi (agama dan budaya) tidak jarang dibumbui dengan aroma-aroma mistis yang melahirkan mitos, jauh dari ajaran agama dan terkesan non rasional blass. Hal ini lebih melekat pada adat suatu daerah, misal adat Jawa, dilarang berdiri di depan pintu, dilarang mainan pisau dengan saudara takut ada malaikan lewat dan kena ke ke teman kita sendiri, contoh lain ketika makan tiba-tiba kecokot maka tandanya ada yang membicarakan kita, tiba-tiba keduden mata sebelah kanan maka nanti ada kebahagiaan datang, sebaliknya kalau kiri nantinya bakal menangis dsb. Hal inilah yang disebut mistifikasi oleh Kuntowijoyo (Islam sebagai ilmu,2006) yakni mistik sosial yakni hilangnya daya seseorang dalam satuan yang lebih besar, organisasi, sekte atau masyarakat, dalam hal ini budaya, seseorang hanya sebagai korban paradigma budaya setempat yang jauh dari ajaran Tuhan. Dan mistik etis yang menyebabkan seseorang kehilangan daya dalam menghadapi nasibnya, menyerah pada takdir atau fatalisme, karena kuatnya doktrin mitos budaya setempat sehingga menyebabkan orang stagnan karena nalar sudah dibelenggu.
Dan yang lebih ekstrim lagi tentang perempuan yang masih belum sepenuhnya  diperbolehkan belajar sampai level tinggi, karena dogma msyarakat mengarahkan setinggi apapun perempuan belajar maka pasti kembalinya ke dapuur, dan perempuan cenderung yang study oriented lama jodohnya, dengan stereotipe perawan tua dan pasti akan dicemooh dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Sementara jika menengok ajaran agama, “tuntutlah ilmu walau sampai ke negri cina” menjadi dasar bagi semua muslim tidak pandang laki-laki maupun perempuan untuk bersemangat menuntut ilmu walau harus ke ujung dunia. Sehingga tidak melulu norma budaya (adat) sejalur dengan norma agama, bahkan melenceng jauh, karena ukuran adat adalah kepantasan yang ukurannya tidak baku berdasar kesepakatan semu masyarakat dahulu yang turun-temurun sampai hari ini. Walaupun ada beberapa tafsir norma agama yang menjadi diperdebatkan, tentang keharusan harus ditemani muhrim jika perempuan beppergian jauh. Apapun pergelutan dua gerbong tersebut, toh dalam dekade tahun ini, pandangan tersebut sedikit bergeser, walau hal tersebut masih sangat kental di lingkungan pedesaan.
Agenda Pendobrak
Perkembangan tingkat kehidupan akhir-akhir ini sangat tajam, sehingga memaksa masyarakat untuk lebih sigap terhadap segala perkembangan terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat masyarakat pra-industrial, orang hidup dalam masyarakat konkret, riil, orang harus bertatap muka agar dapat melakukan komunikasi, namun memasuki masyarakan industri sudah berubah tidak harus bertatap muka dengan alat komunikasi yang sangat canggih dan tak terbatas oleh jauh dekatnya jarak, sehingga muncullah apa yang disebut oleh Kuntowijoyo (Islam sebagai ilmu, 2006) masyarakat abstrak, jadi fakta kekinian bahwa yang mengatur masyarakat industrial bukan lagi orang tapi sistem. Setiap orang diharapkan berpartisipasi dalam sistem yang abstrak, impersonal. Karakteristik perseorangan (akhlak, keimanan, emosi, kepentingan) harus dapat menyesuaikan diri dengan sistem. Sistem (Birokrasi, pasar) sangat bergantung pada kualifikasi objektif, tidak pada kualifikasi subjektif. Namun kualifikasi yang objektif itu bisa saja dikendalikan oleh beberapa orang yang memang memiliki kuasa, ilmu dan kapital (modal). Sehingga semakin komplit kecakapan yang harus dimiliki oleh masing-masing orang agar tidak tersingkir dari komunitas masyarakat abstrak tersebut. Dan Komunikasi abstrakpun bisa dimanipulasi, dipolitisasi oleh perorangan atau beberapa orang yang ahli dalam merekayasa sosial terutama bagi mereka yang berilmu dan berkuasa sehingga tidak mudah terombang-ambing dalam kepentingan orang lain.
Ilmu sebagai penerang kkehidupan, kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika menelisik sejarah, setelah runtuhnya kekuasaan Yunani dan romawi kuno, Islam tampil sebagai penguasa dengan segala perkembangan keilmuan dan peradabannya. Termasuk pada saat itu terlahirnya tokoh-tokoh ilmuwan islam yang mendunia seperti ahli kedokteran ada Ibnu Sina, ahli matematika ada Al-farabi dan Aljabar yang dielu-elukan sebagai penemu rumus aljabar pertama kali dan masih banyak tokoh lainnya. Pasca runtuhnya kedaulatan bani Abbasiyyah maka beberapa tahun kemudia runtuhlah peradaban Islam dan diganti dengan peradaban Barat yang dikenal dengan masa rennaisance, dan sejak itulah kiblat keilmuan, peradaban dan kemajuan berada di Barat (Eropa, Amerika dan sekutunya), sampai muncullah istilah negara dunia pertama, kedua dan ketiga. Indonesia masuk kategori negara dunia ketiga (jabatan bagi negara-negara berkembang), dan apa yang ada di Barat seperti pola hidup, ilmu-ilmu pengetahuan, budaya barat dan segala pemikirannya seolah menjadi keharusan untuk ditiru dan diterapkan di negera-negara dunia ketiga. Sehingga mulai dari teori evolusi, teori terbentuknya manusia yang kita pelajari di bangku SD dan SMP merupakan karya Barat yang sarat dengan sekulerismenya. Mode kehidupan modern pun harus merujuk pada mereka, dengan berpakaian mini, berbicara yang tanpa aturan, hedonis (suka berfoya-foya), produk-produk kecantikan identik dengan pemutihan kulit, wajah dsb. Hal semacam itulah menjadi candu baru dalam kehidupan sekarang, yang sangat melenceng dari ajaran Agama yang kita jalankan. Sehingga mulai dari wacana Islamisasi pengetahuan sampai pada Pengilmuan Islam menjadi usaha keras para ilmuwan-ilmuwan Islam untuk menghalau segala virus tersebut.
Terlepas dari hegemoni Barat, dalam gerakan feminisme, melihat deretan para ilmuwan baik pra peradaban Barat maupun setelah peradaban Barat yang muncul hampir keseluruhannya adalah laki-laki. Lalu dimana peran ilmuwan perempuan?atau memang tidak ada ilmuwan perempuan? Ada kesalahan yang perlu kita telisik dan perbaiki, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam setiap dimensi kehidupan terutama kketimpangan gender. Sejarah sudah mencatat perilaku yang tidak adil atas pemenuhan akse pendidikan dan dunia publik terhadap perempuan, deretan ilmuwan pun juga menunjukkan demikian. Maka tidak mungkin kita sebagai generasi perempuan yang hidup dalam masyarakat abstrak ini akan diam saja melihat ketimpangan tersebut. Banyak tokoh feminisme telah mencontohkan sikap pendobrakan yang dilakukan mereka untuk menuntut kesetaraan tersebut, di Indonesia spirit pendobrakan dilakukan oleh Kartini, Nyai Walidah dsb menjadi spirit untuk melanjutkan perjuangan mereka, tentu dengan kondisi kita yang sedikit ada suntikan kebebasan dan berbeda dnegan mereka menjadikan formasi pendobraan kita yang berbeda pula. Hari ini kita bukan melawan penjajah atau musuh nyata, namun musuh yang bersifat abstrak dan laten, yang kapan saja siap menelan kita. Jika Iman sudah dikantongi, maka Ilmu menjadi senjata terkuat kita untuk menghadapi hegemoni dan gempuran budaya yang semakin keras mendistorsi kekayaan (agama, budaya, kedaulatan bangsa) kita. Sehingga perempuan harus pinter baik dalam ranah formal maupun non-formal, dalam ranah domestik mupun publik, harus punya peran dan karya (positif) agar dihargai. Setidaknya Muncul para ilmuwan perempuan, politisi perempuan, dan bidang lainnya.
Agenda Kesetaraan untuk memunculkan intelek perempuan
Perempuan bukan lagi tokoh kedua, bukan lagi peran pelengkap, pengganti bahkan peran di belakang layar saja. Perempuan hari ini harus tampil di depan sebagai panglima perang dalam hal kebajikan terutama keilmuwan. Jika berniat menelusuru sejarah, akan ditemukan rentetan nama ilmuwan perempuan dunia yang karyanya spektakuler, namun dalam sosialisasinya tidak pernah didengungkan dan dipublikasikan seperti ilmuwan laki-laki. Ada diantaranya Hedy Lamar (penemu sistem pemindahan frekuensi untuk kendali rudal torpedo, sesuatu yang penting untuk komunikasi nirkabel di zaman pra-komputer), Amy Mainzer (lulusan doktor bergelar PhD bidang Astronomi dari University California of Los Angeles (UCLA), Master Science dari California Institute of Technology dan sarjana dari Stanford University, juga pernah menjadi peneliti magang di NASA antara tahun 2001-2003. Kini dia bekerja di Jet Propulsion Laboratory di bagian Astrofisika dan Ilmua Ruang Angkasa), Allesandra Lanzara (sarjana dan doktor PhD di bidang Fisika dari Universita’ di Roma La Sapienza, Italia. Kini Allessandra adalah profesor di University of California, Berkeley). Dari Barat beralih ke ilmuwan perempuan Indonesia ada diantaranya Merlyna Lim (Peraih gelar profesor di Consortium of Science, Policy and Outcomes and the School of Social Transformation– Justice and Social Inquiry Program at Arizona State University, dan  sederat prestasi maupun penghargaannya), Eniya Listiani Dewi (peneliti muda di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), perempuan termuda perai Habibi award 2010 di bidang Ilmu Rekayasa). Sedangkan Perempuan Islam yang berhasil mengukir nama dalam dunia keilmuan dunia adalah Mariam al-astrulabi dalam bidang Astronomi. Pasca itu? Siapakah ilmuwan perempuan yang bermunculan?sangat sedikit bahkan tidak ada.
Sehingga dalam sebuah artikel disebutkan bahwa Indonesia masih sangat butuh ilmuwan perempuan. Hal ini tentu tidak lepas dari pembahsan di atas yang menjadi kendalanya. Padahal bibit kecerdasan, yang diidentikkan telaten dan rajin yang ada di diri perempuan menjadi modal untuk menjadi ilmuwan. Dalam realitannyapun, tidak jarang juara dalam kelas maupun juara paralel dalam setiap jenjang pendidikan diraih oleh perempuan. Namun, lagi-lagi terkendala lingkungan (dalam hal ini adat/budaya) dan kesempatan yang sedikit tidak berpihak menjadikan banyak perempuan harus menenggelamkan mimpi dan cita-cita akademiknya. Belum lagi ketika perempuan berhadapan dengan differensiasi gender dan pembagian peran yang sangat jauh dari nilai kesetaraan maupun keadilan yang dikonstruk oleh masyarakat dan dilegalkan dalam budaya maupun agama.
Bukankah, dengan ilmu, kesuksesan dunia dan akhirat akan diperoleh? Makanya, ketika konstruk masyarakat lebih melegalkan atau mendukung pendidikan lebih utama untuk laki-laki, karena dengan satu arahan bahwa ketika yang mengenyam pendidikan hanya laki-laki maka secara otomasti yang tetap menguasai dunia publik adalah laki-laki. Namun kondisi itu bakal berubah ketika perempuan pinter dan mampu sejajar bahkan mengungguli laki-laki, maka mereka takut ranah publik dan sosial akan dikuasai oleh perempuan. Ingatlah, dalam ilmu dan budaya tidak ada yang bebas nilai, melainkan penuh dengan kepentingan. Bukankah puluhan tahun, terkait ketimpangan kesempatan telah disuarakan oleh Kartini dalam dokumentasi surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda. Maka apalgi yang kita tunggu kaum perempuan?
Berdasar fenomena makro tersebut, seharusnya dari setiap perempuan perlu diberi pengetahuan lebih tentang jangan takut bermimpi, dan jangan takut untuk keluar dari bentang tradisi yang sejatinya tidak berbudaya. Dimana Irshad Mandji menyebutkan bahwa teriakkanlah apa yang ada dalam benakmu, walau banyak orang membungkammu. Itu bentuk keberanian moral, yang mungkin akan dikatakan menyalahi kodrat atau aturan, namun yakinlah dalam agama dilegalkan ketika kita berjuang untuk mencari ilmu, dan bukankah jelas disebutkan dalam ayat Al-qur’an kalau Allah akan lebih meninggikan derajat orang yang berilmu daripada orang yang ahli ibadah namun tak berilmu?. Semoga tulisan ini mampu menjadi spirit bagi penulis dan pembaca untuk senantiasa membentangkan permadani mimpi dan jangan takut menjadi pembelajar.

*Kabid IMMawati PC IMM Surabaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...