Langsung ke konten utama

Kita tidak butuh Kartini


Perempuan bicara :
KITA TIDAK BUTUH KARTINI
*Arin Setiyowati
Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan hanya sebagai sasaran dan pelengkap. Seolah stereotipe bahwa perempuan sebagai ‘kaum kedua’ , kaum ‘komplementer’ dan kaum yang ‘perlu disantuni’ sangat susah dilepaskan.
Sebagai contoh analisa, di Indonesia jumlah perempuan yang duduk di kursi pemerintahan memang mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah perempuan yang duduk dalam berbagai jabatan publik. Saat ini terdapat 4.598.100 pegawai negeri sipil (PNS), dengan proporsi 2.137.817 (46%) pegawai perempuan dan 2.460.283 (54%) pegawai laki-laki (Badan Kepegawaian Nasional, 2011). Jumlah ini menunjukkan indikasi yang cukup positif. Namun, apakah peningkatan tersebut berbanding lurus dengan distribusi posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan? Apakah dengan peningkatan tersebut membuka kesempatan bagi perempuan untuk menduduki posisi pengambil keputusan? Serta apakah dengan kondisi tersebut dapat menciptakan iklim yang pro-perempuan? (jurnal perempuan edisi 75, 2012).
Melihat sepintas judul di atas terkesan menghina bahkan menyepelekan atas ‘perjuangan’ yang di-elu-elu-kan oleh bangsa Indonesia terhadap putri perempuannya ini (red : Kartini). Namun jika dicermati dan dimaknai lebih dalam, maka hal ini menjadi koreksi mendalam untuk semua insan perempuan yang ada di Indonesia beserta segenap stakeholder bangsa Indonesia atas kondisi hari ini terlebih pada perlakuan baik secara fisik maupun peluang yang sama terhadap perempuan. Seperti apakah makna dibalik statement di atas? Berikut kupasan makna dalam sepotong statement tersebut.
‘Kita tidak butuh Kartini’, jika meminjam terinya Jean Paul Sartre tentang eksistensialisme yang dimaknai sebagai paham yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, dengan kata lain bahwa kaum eksistensialisme sadar akan kebenaran yang bersifat relatif, sehingga masing-masing individu berhak menentukan sesuatu yang benar menurutnya. Point yang dapat kita ambil adalah tentang konsep ‘kebebasan’, dalam konteks statement tersebut adalah bahwa perempuan sebagai individu berdaulat atas dirinya sendiri, berhak menentukan pilihan atas dirinya sendiri. Namun, menjadi kaum eksistensialis bukan melulu harus menjadi beda dari lain, melainkan menjadi sesosok yang mampu mengkonsep dirinya sendiri dan bertanggungjawab atas pilihan konsepnya itu sendiri tanpa harus menggantungkan maupun mendiktekan diri pada orang lain. Sama halnya dengan konsepnya Friedrich Nietsze bahwa mereka yang mampu keluar atau menghindar dari kekuatan-kekuatan opresif atau standart-standart besar yang ada merupakan ‘individu-individu yang berdaulat’, yakni individu yang unik, yang mengandalkan inteligensi tubuh dan insting-insting vital mereka ketimbang larut dalam aturan-aturan dan harapan. Melalui penguasaan diri, mereka dapat terhindar dari kekuatan-kekuatan penyeragam (homogenizing forces) yang ada di masyarakat. Sehingga satu pernyataan di atas menjadi hentakan tegas bahwa perempuan itu berdaulat atas tubuh, pikiran dan setiap langkahnya, termasuk dalam menentukan cara maupun alat perjuangan yang dipilih dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Dengan melepaskan diri dari cengkraman ketiak perjuangan ‘Kartini’ dan tanpa harus harus dibayang-bayangi sosoknya yang dalam lukisan sejarah nampak begitu sempurna. Kita (red : perempuan) adalah kita yang lahir dan hidup pada ruang dan kondisi yang berbeda dari Kartini, maka perempuan-perempuan Indonesia yang hidup hari ini, di era globalisasi saat ini seyogyanya tahu akan posisi, kondisi dan strategi yang tepat agar mampu tampil dalam laga perang bersama laki-laki secara setara.
 ‘Kita tidak butuh Kartini’ terkesan menentang? Memang, karena kita (red : perempuan) bukanlah tuna-semangat, ‘divable’ spirit maupun ‘keterbelakangan mental’, namun kita adalah perempuan sejati yang sehat akal dan nuraninya. Sehingga tidak butuh dikompori, disulut api, ’dekapan’ tradisi, ‘santunan’ untuk diperjuangkan maupun ditebus dosa dari cengkraman kekerasan maupun diskriminasi. Perempuan yang berdaulat dan ‘sempurna’ dengan akal nuraninya optimis mampu mengatasi segala bentuk diskriminasi tersebut dengan tangannya sendiri. Bukan berarti dengan cara menyalahkan kaum laki-laki (menjadikan kaum laki-laki sebagai musuh) melainkan menjalin koalisi harmonis nan setara dalam rangka meruntuhkan sistem yang sudah terlanjur akut patriarkhinya. Melalui diskusi, pemahaman dan komunikasi efektif diharapkan mampu menjadikan korelasi yang adil gender.
“Kita tidak butuh kartini’, seolah mengalami pergeseran makna, dari yang menjadikan laki-laki sebagai ukuran, namun dalam hal ini ukuran ketidakmampuan perempuan memperjuangkan hak-haknya sudah selayaknya dipertanyakan langsung pada peran dan langkah kongkrit perempuan sendiri dalam rangka itu, seolah spirit “feminisme liberal’ bahwa ketertinggalan perempuan tidak lain dan tidak bukan yang menjadi subyek penanggungjawab utama bukanlah laki-laki (bukan dengan memusuhi laki-laki) maupun sistem melainkan lebih pada upaya kesadaran kritis dari perempuan yang belum mampu bergerak masif untuk memperjuangkannya. Dalam kasus ini menurut penulis perlu dilengkapi ketika dikontekskan di Indonesia, karena selain faktor perempuan, pun sistem yang ada di internal Indonesia yang perlu diluruskan juga. Oleh sebab itu melalui kaki tangan ormas dan lsm, perempuan bergeliat supaya bisa duduk dalam kursi pengambil kebijakan sehingga mampu menciptakan iklim dan kebijakan yang pro-perempuan dengan koridor-koridor etik yang ada. Sehingga bisa tercipta kesetaraan yang harmonis, karena tidak dipungkiri juga sejalan dengan hiruk-pikuk isu kesetaraan gender terkadang laki-lakilah yang menjadi korban, diharapkan pasca pemahaman yang mendalam atas konsep tersebut dapat mengeliminir perseteruan berbasis gender dalam ranah apapun.
Berikut potongan bait salah satu surat RA Kartini untuk sahabatnya (Nona E.H Zeehandelaar) di Belanda, penuh dengan mimpi dan ekspektasi sosok perempuan masa depan yang berkemajuan. Bukan sekedar perempuan korban jeratan adat istiadat yang mengerikan mengalahkan kekakuan hukum Tuhan dengan segala bumbu-bumbu mitosnya ; “Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya, yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama. Hati saya menyala-nyala karena semangat menggelora akan zaman baru. Ya, bisa dikatakan bahwa saya, dalam pikiran dan perasaan, melampaui zaman Hindia Belanda ini, melainkan hidup bersama para wanita saudara saya nun jauh di Barat.”[1]
Melalui surat, Kartini menyalurkan spirit perlawanan, penyadaran dan pembebasan untuk kaum perempuan. Lalu bagaimanakah dengan generasi-generasi perempuan muda hari ini? Dimana kran-kran kebebasan dan kesetaraan sudah menampakkan wajahnya, walau terkadang siluet bahkan silau sehingga gagap dan sedikit tumpang tindih dalam pemahaman maupun aplikasinya.
Untuk renungan hari ini, Kartini bukanlah ‘saras 008’ yang berkekuatan super dan pesulap yang mampu mengubah benda dalam sekejap, tapi dia adalah gadis priyayi berjiwa empathy terhadap sesama perempuan yang dilahirkan oleh zamannya. Dia kala itu kartini hanya masih bisa menerawang dan meraba-raba sesuai mimpinya untuk emansipasi perempuan kedepan. Sekarang, kita (red : perempuan) adalah gadis di zaman ini, yang bertugas bukan hanya sekedar berimajinasi maupun meraba-raba, melainkan saatbya bergerak dan melawan dengan ilmu dan skill yang kita miliki. Zaman kita yang sudah menyuguhkan kran kebebasan nan bertanggungjawab, kran demokrasi dan modernisasi, layaknya kita memanfaatkan kondisi ini untuk mengoptimalkan diri menempa ilmu agar senantiasa berkembang kapasitas dan kualitas diri, sehingga mampu berdampingan serasi dengan laki-laki.
Tulisan ini bukan berarti menunjukkan sentimen pada kartini, hanya sebagai lompatan introspeksi diri perempuan-perempuan hari ini bahwa bukan saatnya lagi kita duduk manis di rumah untuk memanjakan kulit, wajah dan sebagainya. Namun di luar sana,  ilmu, keringat dan waktu kita dibutuhkan oleh mereka yang terdiskriminasi oleh budaya, lingkungan dan sistem. Jika orientasi kita hanya sesosok Kartini, maka jangan salahkan kalau generasi muda perempuan hari ini cukup pandai hanya dalam domestik. Daya taring dan tahan bantingnya lemah, dan masih sering gagap dengan iming-iming perlindungan maupun pengkhususan jika ke belakang-belakangnya hanya akan membawa dampak stetrotipe, pelecehan, kekerasan bahkan disubordinasikan. Melek gender dan upgrade kapasitas diri melalui apapun profesinya. Buktikan bahwa perempuan bisa setara dan berperang sejajar dengan kaum laki-laki.
Semoga melalui narasi kecil ini menjadi alarm sengit yang mampu mengoyak nafsu kemapanan yang menyengsarakan kaum-kaum marjinal di sekeliling kita. Bukan momentum Kartininya, tapi apa yang sudah kita perbuat untuk melebihi dari apa yang telah diperbuat oleh Kartini. Selamat Hari KARTINI !!
 *Perempuan IMM Surabaya



[1] R.A. Kartini, Door Duiternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), 2011, Yogyakarta: Penerbit NARASI, hal 7.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...