Langsung ke konten utama

KORUPSI SISTEMIK SEBAGAI KEJAHATAN TAK BER-AURAT BERJAMAAH




KORUPSI SISTEMIK SEBAGAI KEJAHATAN TAK BER-AURAT BERJAMAAH
(Mengurai Benang Kusut Perselingkuhan Multi-aspek Penyemai Korupsi)
*Arin Setiyowati

Menyoal korupsi seolah menelanjangi bawang merah yang kulitnya berlapis-lapis, sehingga sangat renik dan membutuhkan kejelian maupun upaya dari segala lini. Selain itu juga bagi subyek yang mengungkapnya harus rela ter-perihkan oleh sengatan dan pedasnya si bawang merah (red : korupsi), yang artinya bagi para pelaku penegak kasus korupsi akan menjadi beban yang sangat berat, karena bisa saja menyakiti diri sendiri sehingga butuh stakeholder yang kuat dan mandiri dari intervensi manapun. Apakah cukup sampai disi saja? Berikut pemaparan tentang kompleksitas persoalan korupsi di negri Indonesia dan secercah cahaya pengurai benang kusut masalah sebagai ikhtiyar solusi yang cukup efektif.
Korupsi, dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, hal 527). Sedangkan Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Sedangkan makna sistemis dalam KBBI yakni : (1) bertalian dengan suatu sistem atau susunan-susunana yang teratur, (2) terdiri atas beberapa subsistem. Sehingga secara sederhana korupsi sistemis adalah suatu perbuatan korupsi yang melibatkan suatu sistem atau susunan yang teratur dan dilakukan secara rapi, sulit dilacak, sulit dibuktikan, dan sulit menyentuh mereka yang berada si posisi puncak kekuasaan dari sistem praktik korupsi. Kesulitan ini muncul karena memang secara formal, bukti-bukti yang ada sulit menyentuh para pengambil kebijakan. Dan contoh riil hal inilah yang sedang marak-maraknya dipraktekkan di negara kita, sehingga tidak jarang dari media cetak sampai elektronik selalu aja ada space untuk berita korupsi para elite negeri ini menterang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat.
Fenomena yang ada di Indonesia adalah korupsi sudah tidak hanya berupa seorang individu dengan motif pencurian uang untuk memperkaya diri, tetapi sudah menyangkut suatu pola korupsi yang berantai dan rakus. Untuk mencapai suatu posisi politik atau jabatan tertentu, maka lazimnya hari ini adalah berapa duit (modal) yang dia miliki, kemudia setelah mendapatkan jabatan tersebut tidak heran jika dia tidak menjalankan amanat rakyat, melainkan sibuk mengembalikan modal awal untuk dirinya dan keluarganya melalui sarana-sarana publik, penyususnan peraturan (barter dengan para pemodal/ orang yang berkepentingan dengan peraturan tersebut), bahkan perundang-undangan. Wabah korupsi ini diperburuk dengan sikap masyarakat yang cenderung semakin permisif terhada pelaku korupsi.
(REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN, 5/12/2012), Indeks tingkat korupsi di Indonesia dilaporkan naik dari peringkat 100 menjadi 118 pada 2012.Indikasinya, tindak pidana korupsi pun masih kerap terjadi. Tingkat korupsi tersebut merupakan laporan hasil survei lembaga Transparency Internasional (TI) yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Dari situs resmi TI, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari 0 yang terkorup dan 100 merupakan negara terbersih. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia. Dalam survei 2012, nilai indikator korupsi yang dipakai TI berbeda dari 2011. Pada 2011, TI menentukan indeks korupsi berdasarkan penilaian 0-10 dimana 10 merupakan negara terbersih dan 0 merupakan negara yang terkorup. Peringkat korupsi Indonesia 2012 tersebut lebih buruk dari negara Asia Tenggara lainnya. Tingkat korupsi Malaysia berada di peringkat 54 dengan nilai 49. Adapun Thailand dan Filipina menduduki peringkat negara terkorup di posisi masing-masing 88 dan 105.
Jika ditilik dari sisi historisnya, maka kita masih ingat betul bahwa ideologi hukum dari perangkat undang-undang yang berlaku pada zaman penjajahan Belanda menegasikan kontrol sosial-politik dari rakyat. Konsekuensi logis dari pemberlakuan hukum berwatak demikian menimbulkan banyak peluang terjadinya penyalahdunaan kewenangan atau korupsi kekuasaan. Ditambah lagi, sejak masa Orde Lama, kejahatan korupsi telah banyak terjadi, meskipun pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa perangkat aturan-aturan hukum. Begitu pula pada Orde Baru, undang-undang pemberantasan korupsi diberlakukan, namun pada saat yang sama pemerintah orde baru melakukan feodalisasi hukum. Korupsi di Indonesia mencapai puncaknya karena berpredikat negara terkorup di dunia. Merajalelanya korupsi pada masa orde baru berkorelasi dengan ideologi hukum yang berlaku dan ideologi penegak hukum. Kemudian beralih pasca tahun 1998/1999, sistem hukum yang berlaku dan sistem penegakan hukumnya tidak banyak berubah, sehingga kejahatan korupsi tetap merajalela. Ditambah lagi adanya inkonsistensi antara apa yang ditentukan di dalam domain kosmos, nomologos, dan teknologos. Inkonsistensi ini menunjukkan fenomena upaya pemberantasan korupsi yang setengah hati, tidak sungguh-sungguh dan tidak memiliki strategi yang jelas.
Kondisi Nyaman Indonesia untuk paktek Korupsi
Korupsi merupakan penyelewengan terhadap wewenang publik yang timbul karena kurangnya kontrol terhadap kekuasaan yang dimiliki dan terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan kekuasaan tersebut. Di samping itu motif-motif pribadi juga turut mendorong terjadinya tindakan korupsi,seperti ingin cepat menjadi kaya dan memperoleh pengakuan atas status sosial. Dalam lintasan sejarah sudah pernah dilakukan gebrakan oleh mantan Presiden RI yakni abdurrahman Wahid (panggilan akrabnya Gus Dur), yang mana dalam rangkan mengganti rugi akan diberlakukannya dengan tegas sanksi hukum gantung bagi para koruptor maka dia rela menaikkan gaji para PNS tiga kali lipat bahkan janjinya bisa sampai sepuluh kali lipat. Karena begitu sangat akutnya patologi sosial tersebut.
Secara garis besar, maka dua sifat dikotomi yang digunakan untuk memudahkan dalam menganalisa faktor-faktor pemicu tindakan korupsi yakni bersifat internal dan eksternal. Adapun yang tergolong internal adalah segala mootif yang berangkat dari karakter asli si pelaku korupsi misalnya dia pemalas tapi ingin cepat kaya, tamak, pemahaman agama yang dangkal, konsumtif dan sebagainya. Sedangkan bersifat eksternal berupa faktor dorongan keluarga, lingkungan, adanya peluang dan kesempatan yang mendukung.
Sisi Kultural
Meminjam bahasanya Moh Hatta bahwa Korupsi merupakan budaya di negeri kita, hal ini diucapkannya pada awal 1970-an, namun kala itu ditentang oleh banyak orang, karena hawa kala itu masih sedikit kental dengan budaya ‘malu’ yang lazimnya disebut budaya ketimuran. Namun setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia merdeka, seiring bergulirnya bola waktu dengan kondisi ekonomi, politik dan sosial masyarakat Indonesia, ternyata barang yang bernama ‘korupsi’ nampaknya tetap bersemayam dalam tingkah polah para elit dan birokrat negeri di segala lini, malahan dewasa ini sudah menjadi hal yang lumrah kalau melakukan korupsi, sehingga tidak salah jika muncul wacana korupsi sistemik maupun korupsi jamaah.
Mengutip pendapatnya Meny (1992) dan Haryatmoko (2005) bahwa setidaknya ada empat bentuk korupsi yang mempunyai ciri struktural menonjol, atau dalam konsep Bourdieu (1994) sudah menjadi Habitus, yakni korupsi sebagai jalan pintas, korupsi upeti, korupsi-kontrak, korupsi pemerasan. Nah habitus-habitus ini seolah menjadi perilaku yang diamini oleh setiap masyarakat Indonesia terutama para elite politik dan penguasa negeri. Melalui konsep habitus keempat jenis korupsi tersebut terlihat sebagai bentuk reproduksi praktik—praktik sosial. Korupsi yang dilakukan oleh seseorang adalah reproduksi tindakan (atau hanya salah satu varian) dalam sistem kecenderungan umum, artinya walaupun korupsi awalnya dilakukan oleh perseorangan, korupsi sudah menjadi bagian dari praktik umum, bukan hanya sebagai keseragaman melainkan juga variasi tindakan. Bahkan mereka yang kritis, ketika masuk dalam struktur kekuasaan (politik atau ekonomi) cenderung akan mereproduksi praktik juga. Korupsi menjadi sistem yang tahan waktu dan diwariskan. Awalnya hanya struktur yang dibentuk, kemudian tanpa disadari berperan membentuk perilaku, menjadi prinsip penggeak dan pengatur praktik-praktik hidup masyarakat. Struktur kejahatan bukan hanya bisa diciptakan dan dipelihara melainkan bisa juga diubah oleh pelakunya kendati dikondisikan oleh struktur tersbut. Semakin banyak orang yang mampu mengambil jarak terhadap tindakan yang sudah menjadi hal yang dilumrahkan, mencari makna dari setiap tindakan yang dikerjakan, bersikap kritis atas dirinya dan orang lain, maka akan terbuka terjadinya perubahan struktural. Dengan pengambilan jarak, maka Habitus yang baru akan menemukan relevansinya karena menjadi faktor yang membuat usng struktur kejjahatan yang sudah ada. Melawan korupsi berarti menciptakan habitus baru, dan habitus yang baru mangandaikan perubahan budaya yang mendasar. Termasuk tidak dipungkiri terkait sistem birokrasi yang masih berlaku di negeri kita sangat rentan terjadinya praktek korupsi baik dari segi alur maupun prosedurnya. Birokrasi kerajaan yang dibumbui dengan uang pelumas menjadi penyakit yang menjangkit dari pra kolonial sampai sekarang yang susah sekali ketika hal tersebut dihilangkan dari budaya (kebiasaan) dari rakyat kecil.
Selain itu, membudayakan punishment dan reward yang tegas atas segala jasa dan kesalahan yang dilaksanakan oleh setiap individu mungkin bisa menjadi terobosan baru penekanan angka pidana korupsi. Hal ini dirancang untuk menstimulus jera pada para pelaku dan merasa ikut andil dalam penyelesaian kasus pengungkapan korupsi bagi warga masyarakat yang mau mengungkap, menjadi saksi dan memberikan keterangan secara jujur kepada aparat yang bersangkutan. Misalnya bagi para pelaku korupsi yang sudah ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman, maka tidak ada yang berani mengikuti jejaknya. Dengan Punishment yang seberat-beratnya dan apresiasi maupun perlindungan kepada warga masyarakat yang telah berkenan memberikan kesaksian maupun keterangan dalam kasus pembongkaran kasus korupsi.
Sisi Ekonomi
Banyak pandangan yang mensinyalir bahwa maraknya tindak korupsi karena kondisi ekonomi, yang lebih spesifikasinya pada pengaturan penghasilan atau upah para pejabat pemerintah dan masyarakat luas. Dapatkah hal ini dijadikan sebagai apologis?
Analisanya seprti ini, selama masyarakat kita masih tergolong ‘miskin’ maka ada kecenderungan mereka akan melanggar aturan-aturan yang ada, mulai dari hal-hal kecil, seperti pengurangan timbangan/ takaran ketika berdagang, hingga ke persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti tindak pidana perpajakan. Hal yang mirip juga terjadi pada aparat hukum yang dihadapkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka. Lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Aparat pemerintah serupa ini juga cenderung memanfaatkanjabatan untuk meningkatkan pendapatan.
Sehingga tidak salah ketika era pemerintahan Gus Dur seperti yang disinggung di atas bahwa untuk menekan angka pidana korupsi, dia berani menaikkan gaji para pegawai sampai empat kali lipat, yang mana akan sebanding dengan aturan bahwa pelaku korupsi harus dihukum gantung. Menurut penulis ada benarnya juga kebijakan tersebut, karena ketika alasan ekonomi yang menjadi apologis utama sudah bisa ditembel maka saatnya menyunat kenikmatannya dengan aturan hukum yang keras sebagai lampu merah dalam berperilaku. Walau terkesan sedikit memaksa, tapi itulah resiko bernegara dengan komitmen untuk keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kesejahteraan perseorangan maupun kalangan sendiri.
Sisi Religius
Dari analisis tersebut, maka bisa ditarik lurus benang merahnya pada segi mental masyarakat (red : penduduk Indonesia), yang mana seolah tidak ada landasan agama yang menjadi benteng dan constraint dalam setiap perilakunya. Dalam hal ini maka yang menjadi penanggungjawabnya adalah agama atau lembaga keagamaan dan pendidikan.
Berbicara peran agama, maka bukan lagi bertanya pada alqur’an maupun masjid-masjid sebagai manifestasi agama, karena mereka adalah objek yang bebas nilai dan dijamin keasliannya. Namun kembali pada masing-masing individu sebagai pengandali hawa nafsu. Kita kemudian berharap kepada para pemuka agama sebenarnya mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat. Para pemuka agama diasumsikan sebagai orang yang bermoral, tahan penderitaan, bebas dari penyelewengan, tidak tergiur dengan materialisme yang menjadi-jadi dan berada pada barisan terdepan dalam memerangi korupsi. Dalam kenyataannya, ‘peran-peran ideal’ serupa itu masih sulit dijalankan ketika mereka, yang manusia biasa itu, harus pula menghadapi realita kecilnya pendapatan dan begitu besarnyakebutuhan finansial untuk kelangsungan hidup keluarganya. Namun bukan berarti hal ini menjadi sandaran untuk menggeserkan peran dan tanggungjawab para pemuka agama. Dalam beberapa kasus terakhir, para pemuka agama yang memilih terjun di dunia politik pun tidak ada bedanya dengan mereka (red : politisi) yang bukan ahli agama, yang mana melakukan perbuatan keji tersebut. Selain pemuka agama, Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim nyatanya tidak berbanding lurus dengan mulia dan kompleks dengan nilai-nilai kebaikan. Yang mana ada civil society yang harusnya diperankan oleh Muhammadiyah dan NU (sebagai ormas terbesar di Indonesia) nyatanya belum nampak nyata buah dari peran mereka. Hal inilah yang menjadi PR bersama seluruh kalangan yang memegang kendali dalam proses beragama di negeri ini, untuk serius memberangus bahkan menebar pupuk, memupuk benih yang sudah tertanam maupun merawat tanaman yang sudah ada dengan tetesan moral-noral profetik secara mendalam agar tidak ada satupun benih yang menyeleweng (benih : generasi muda, tanaman : muslim yang dewasa).
Sisi Pendidikan
Dari sisi Pendidikan, maka normatifnya pendidikan menjadi benteng utama juga dalam pilar penanaman moral sebagai modal menuju bangsa yang berperadaban setelah agama. Pendidikan menjadi wahana percetakan sumberdaya manusia yang beretika, berdaya guna dan berkepribadian tinggi dengan segala lintas ilmu dan pengetahuan. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung bahwa pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang individual dan sosial. Dari sudut pandang individu diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi individu. Sedangkan dari sudut pandang sosial, pendidikan diartikan sebagai pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi muda, agar supaya nilai-nilai tersebut dapat dilestarikan. Dari definisi tersebut maka pendidikan sebagai wahana meramu dari kedua sudut pandang tersebut supaya seimbang dan memberikan efek keharmonisan dalam upaya proses berbangsa dan bernegara. Namun dalam realitanya pendidikan (dalam hal ini lembaga pendidikan) hanya sebagai mesin pencetak tenaga buruh, yang mana segala skill yang diajarkan hanya berhenti pada tataran teks book saja, bukan pada tataran pemahaman secara filosofis dan penanaman karakter dalam berproses menjadi manusia yang beradab. Maka tidak salah dalam beberapa waktu terakhir digembar-gemborkan tentang pendidikan berkarakter, kita tunggu saja pembumian dan hasilnya. Setidaknya letupan tersebut sudah memberikan sinyal akan kesadaran bahwa ruh dalam pendidikan bukan ilmu semata, melainkan marwah berupa etika, moral dan karakter supaya melahirkan manusia-manusia yang pinter yang bukan tuna-moral.
Sisi Hukum
Ketika agama dan pendidikan, budaya dan ekonomi dikondisikan supaya steril dari patologi korupsi, aspek terpenting lagi segabai praktisi langsungnya yakni para aparat hukum yakni kejaksaan, kepolitian, peradilan. Yang mana dari ketiga lembaga tersebut mempunyai peras, fungsi dan wewenang yang berbeda dan sama beratnya. Selain aparat, maka ada insrumen hukum yang menjadi fasilitator sekaligus senjata dalam menjalankan wewenang para aparat hukum di atas, yakni perundang-undang (UU no 3 tahun 1971, UU no 31 tahun 1999, UU no 20 tahun 2001dan KUHP). Sbelum membahs lebih dalam tentang peranan hukum sebagai kaki tangan langsung pemerintah dan masyarakat dalam menangani korupsi, maka sedikit perlu mengetahui pengaplikasian hukum di negara kita. Yang mana bukan rahasia umum lagi kalau masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan hukum masyarakat (identik dengan tindakan anarkis, sumpah pocong, dimusyawarahkan), hal tersebut menyiratkan bahwa rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat (publik) terhadap hukum. Selain bertele-tele, butuh ongkos yang tidak murah, serta hasil yang belum tentu memihak pada mereka yang miskin atau yang benar (karena ada politisasi hukum). Sehingga dari fenomena inilah menjadikan peranan hukum tidak berdaya di masyarakat, belum lagi terkait kinerja para aparat penegak hukum yang tidak jarang mengecewakat masyarakat dengan tidak berbuat jujur, malah kebanyakan dari aparat penegak hukumlah tindak korupsi bersarang, lalu dari sisi mana masyarakat harus percaya pada kinerja mereka? Sampai hari ini belum ada mekanisme yang transparan untuk dapat meyakinkan publik bahwa masing-masing aparat hukum tersebut melaksanakan tugas secara profesional dan proporsional. Ditambah lagi dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku yang bertajuk “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan” memberikan gambaran bagaimana pola korupsi di Mahkamah Agung (MA), sebagai lembaga tertinggi di Indonesia bahwa ada delapan perilaku korupsi di MA (yakni Surat sakti, Pemerasan, Vonis yang tidak bisa dieksekusi, Makelar Perkara, Pengaburan perkara, Pengaturan Majelis yang menguntungkan, Pemalsuan Vonis, dan Penyuapan) semakin menjadi beban ketidak percayaan publik terhadap aparat hukum.
Merujuk pada Lawrence Meir Friedman yang mengemukakan bahwa ada tiga unsur sistem hukum yakni struktur (mencakup institusi dan penegak hukum), substansi (mencakup segala aturan-aturan hukum baik yang tetulis maupun yang tidak tertulis) dan kultur hukum (mencakup opini-opini, kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik aparat hukum maupun masyarakatnya). Dari ketiga unsur tersebut, penulis menganggap bahwa hal utama yang harus dibenahi adalah kultur hukumnya, seolah sepele, tapi ini yang kan menjadi ruang dan sistem yang mensirkulasikan jalannya penegakan hukum. Dalam perbaikan kultur hukum disini, fenomena yang umumnya sudah membumi diantaranya bahwa di negeri ini bidang eksakta lebih diunggulkan dan sering dillabelkan lebih spesial daripada bidang hukum, kemudian dalam penyelenggaraan negara maka prioritas pendanaan akan dialokasikan pada pengembangan bidang-bidang IPTEK, sehingga terkesan bahwa hukum menjadi bidang yang dinomorduakan karena dianggap kurang bonafit dalam mengharumkan nama bangsa, selain itu kondisi hukum yang sekarang ini tidak lepas dari sejarahnya Indonesia, kita ingat bahwa rezim orde baru merupakan periode intervensi pemerintah yang powerful menjadikan tidak adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga tidak salah kalau sampai hari ini belum ada sikap yang mandiri dari hukum untuk bisa bersikap tegas pada semuanya tanpa pandang bulu termasuk kapada para aparatnya sendiri. Lagi-lagi memang hukum tidak bisa dipisahkan dari politik, karena berbagai aturan termasuk perundang-undangan juga merupakan produk politik, namun politik hukum yang pro-rakyat dan menanggalkan kepentingan partai dan politik lah yang harus dijadikan fondasi dalam menyusun maupun menjalankan produk hukum tersebut.
Solusi
Adapun meramu dari berbagai aspek yang memunculkan fenomena korupsi di negeri Indonesia di atas, maka bersama ini penulis akan menyampaikan kerangka solusi untuk Indonesia yang bebas dari dosa dan krupsi, yakni bukan secara terpisah dalam menyelesaikan masalahnya, melainkan secara integral dan simultan dalam penyelesaiannya, sehingga para aparat, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja bareng-bareng dalam menyelesaikan konflik yang sistemik menjamur ini, bukan melulu diserahkan pada aparat hukum, yakni harus diikuti pula oleh program dan langkah yang sistemis dengan melakukan perbaikan di bidang-bidang lain dalam waktu yang bersamaan, sebagai berikut :
1.      Pembenahan dari segi pembangunan per-individu, yang mana per-individu ini harus benar-benar dimampatkan dengan dasar agama yang matang sehingga nilai-nilai religius berbanding lurus dengan moral, etika sosial yang berimbas pada harmonisasi dalam kehidupan berbangsa. Kemudian dilengkapi dengan pola pendidikan yang berbasis karakter, ada dua fungsi yang dilekatkan pada per-individu tadi yakni terkait ilmu dan pengetahuan teknologi yang didasari oleh karakter profetik yang menjadi pembiasaan dan penanaman di lingkungan sekolah. Sehingga bisa dipastikan di lingkup keluarga dan sekolah aman, karena asupan ilmu yang diterima bebas dari virus-virus kriminalitas sosial. Dan satu hal lagi, kalau lingkungan yang di dalamnya sarat dengan budaya maupun norma-norma yang lokalistik, sehingga jika mengaku penduduk sekitar harus kenal, paham dan bisa mengaplikasikan secara total dari nilai-nilai tersebut.
2.      Masuk ke ranah sosial, pembenahan dari segala lini hukum menjadi prioritas sebagai tombak praksis, baik dari struktur, substansi maupun kultur hukumnya dengan menggerakkan antara aparat, pemerintah dan warga masyarakat, diantaranya menjadikan hukum independent (bebas dari intervensi pemerintah), membuat kondisi politik hukum yang kondusif yakni politik hukum yang bermuara pada kesejahteraan dan keadilan sosial untuk rakyat Indonesia. Sembari mencari win-win solution untuk kebijakan ekonomi yang pro rakyat, dengan mengupayakan peningkatan gaji pada setiap lini pegawai baik negeri maupun swasta. Bisa melalui jalur mikro maupun makro dengan menggairahkan kegiatan produksi dan meretriksi barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri serta mengoptimalkan SDA dengan dibarengi upaya reboisasi, reservasi alam dan penghematan pemanfaatan dengan menggunakan teknologi yang efektif dan ramah lingkungan dan hal ini didukung oleh SDM yang berkompeten dan ber-ke-Indonesiaan, sebagai ikhtiyar dalam menuju perekonomian yang pro rakyat. Ketika ekonomi bergairah dan sirkulasi pendapatan yang merata dan meningkat, maka bisa mengurangi kriminalistas terutama praktek-praktek korupsi, sehingga bisa menghemat bocornya anggaran negara untuk usaha pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Dari segala kondisi tersebut dapat di-sari-kan bahwa korupsi dapat diobati walaupun tidak akan mampu memberantasnya dengan beberapa langkah berikut : keterikatan positif pada pemerintah dan keterlibatan religiusitas serta tugas kemajuan nasional dalam kancah publik maupun birokrasi, administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi, kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standart moral dan intelektual yang tinggi, reformasi segala aparatus hukum baik struktus, substansi maupun kulturnya.

*Perempuan IMM Surabaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...