KORUPSI
SISTEMIK SEBAGAI KEJAHATAN TAK BER-AURAT BERJAMAAH
(Mengurai
Benang Kusut Perselingkuhan Multi-aspek Penyemai Korupsi)
*Arin
Setiyowati
Menyoal korupsi seolah
menelanjangi bawang merah yang kulitnya berlapis-lapis, sehingga sangat renik
dan membutuhkan kejelian maupun upaya dari segala lini. Selain itu juga bagi
subyek yang mengungkapnya harus rela ter-perihkan oleh sengatan dan pedasnya si
bawang merah (red : korupsi), yang artinya bagi para pelaku penegak kasus
korupsi akan menjadi beban yang sangat berat, karena bisa saja menyakiti diri
sendiri sehingga butuh stakeholder yang kuat dan mandiri dari intervensi
manapun. Apakah cukup sampai disi saja? Berikut pemaparan tentang kompleksitas
persoalan korupsi di negri Indonesia dan secercah cahaya pengurai benang kusut
masalah sebagai ikhtiyar solusi yang cukup efektif.
Korupsi, dalam KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) berarti penyelewengan atau penggelapan uang negara atau
perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, hal 527). Sedangkan Menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1)
menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Sedangkan makna sistemis
dalam KBBI yakni : (1) bertalian dengan suatu sistem atau susunan-susunana yang
teratur, (2) terdiri atas beberapa subsistem. Sehingga secara sederhana korupsi
sistemis adalah suatu perbuatan korupsi yang melibatkan suatu sistem atau
susunan yang teratur dan dilakukan secara rapi, sulit dilacak, sulit
dibuktikan, dan sulit menyentuh mereka yang berada si posisi puncak kekuasaan
dari sistem praktik korupsi. Kesulitan ini muncul karena memang secara formal,
bukti-bukti yang ada sulit menyentuh para pengambil kebijakan. Dan contoh riil
hal inilah yang sedang marak-maraknya dipraktekkan di negara kita, sehingga
tidak jarang dari media cetak sampai elektronik selalu aja ada space untuk
berita korupsi para elite negeri ini menterang menjadi konsumsi sehari-hari
masyarakat.
Fenomena yang ada di
Indonesia adalah korupsi sudah tidak hanya berupa seorang individu dengan motif
pencurian uang untuk memperkaya diri, tetapi sudah menyangkut suatu pola
korupsi yang berantai dan rakus. Untuk mencapai suatu posisi politik atau
jabatan tertentu, maka lazimnya hari ini adalah berapa duit (modal) yang dia
miliki, kemudia setelah mendapatkan jabatan tersebut tidak heran jika dia tidak
menjalankan amanat rakyat, melainkan sibuk mengembalikan modal awal untuk
dirinya dan keluarganya melalui sarana-sarana publik, penyususnan peraturan
(barter dengan para pemodal/ orang yang berkepentingan dengan peraturan
tersebut), bahkan perundang-undangan. Wabah korupsi ini diperburuk dengan sikap
masyarakat yang cenderung semakin permisif terhada pelaku korupsi.
(REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN,
5/12/2012), Indeks tingkat korupsi di Indonesia dilaporkan naik dari peringkat
100 menjadi 118 pada 2012.Indikasinya, tindak pidana korupsi pun masih kerap
terjadi. Tingkat korupsi tersebut merupakan laporan hasil survei lembaga
Transparency Internasional (TI) yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Dari situs
resmi TI, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari 0 yang terkorup dan 100
merupakan negara terbersih. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di
seluruh dunia. Dalam survei 2012, nilai indikator korupsi yang dipakai TI
berbeda dari 2011. Pada 2011, TI menentukan indeks korupsi berdasarkan
penilaian 0-10 dimana 10 merupakan negara terbersih dan 0 merupakan negara yang
terkorup. Peringkat korupsi Indonesia 2012 tersebut lebih buruk dari negara
Asia Tenggara lainnya. Tingkat korupsi Malaysia berada di peringkat 54 dengan
nilai 49. Adapun Thailand dan Filipina menduduki peringkat negara terkorup di
posisi masing-masing 88 dan 105.
Jika ditilik dari sisi
historisnya, maka kita masih ingat betul bahwa ideologi hukum dari perangkat
undang-undang yang berlaku pada zaman penjajahan Belanda menegasikan kontrol
sosial-politik dari rakyat. Konsekuensi logis dari pemberlakuan hukum berwatak demikian
menimbulkan banyak peluang terjadinya penyalahdunaan kewenangan atau korupsi
kekuasaan. Ditambah lagi, sejak masa Orde Lama, kejahatan korupsi telah banyak
terjadi, meskipun pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa perangkat
aturan-aturan hukum. Begitu pula pada Orde Baru, undang-undang pemberantasan
korupsi diberlakukan, namun pada saat yang sama pemerintah orde baru melakukan
feodalisasi hukum. Korupsi di Indonesia mencapai puncaknya karena berpredikat
negara terkorup di dunia. Merajalelanya korupsi pada masa orde baru berkorelasi
dengan ideologi hukum yang berlaku dan ideologi penegak hukum. Kemudian beralih
pasca tahun 1998/1999, sistem hukum yang berlaku dan sistem penegakan hukumnya
tidak banyak berubah, sehingga kejahatan korupsi tetap merajalela. Ditambah
lagi adanya inkonsistensi antara apa yang ditentukan di dalam domain kosmos, nomologos, dan teknologos.
Inkonsistensi ini menunjukkan fenomena upaya pemberantasan korupsi yang
setengah hati, tidak sungguh-sungguh dan tidak memiliki strategi yang jelas.
Kondisi
Nyaman Indonesia untuk paktek Korupsi
Korupsi merupakan
penyelewengan terhadap wewenang publik yang timbul karena kurangnya kontrol
terhadap kekuasaan yang dimiliki dan terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan
kekuasaan tersebut. Di samping itu motif-motif pribadi juga turut mendorong
terjadinya tindakan korupsi,seperti ingin cepat menjadi kaya dan memperoleh
pengakuan atas status sosial. Dalam lintasan sejarah sudah pernah dilakukan
gebrakan oleh mantan Presiden RI yakni abdurrahman Wahid (panggilan akrabnya
Gus Dur), yang mana dalam rangkan mengganti rugi akan diberlakukannya dengan
tegas sanksi hukum gantung bagi para koruptor maka dia rela menaikkan gaji para
PNS tiga kali lipat bahkan janjinya bisa sampai sepuluh kali lipat. Karena
begitu sangat akutnya patologi sosial tersebut.
Secara garis besar, maka
dua sifat dikotomi yang digunakan untuk memudahkan dalam menganalisa
faktor-faktor pemicu tindakan korupsi yakni bersifat internal dan eksternal.
Adapun yang tergolong internal adalah segala mootif yang berangkat dari
karakter asli si pelaku korupsi misalnya dia pemalas tapi ingin cepat kaya,
tamak, pemahaman agama yang dangkal, konsumtif dan sebagainya. Sedangkan
bersifat eksternal berupa faktor dorongan keluarga, lingkungan, adanya peluang
dan kesempatan yang mendukung.
Sisi
Kultural
Meminjam bahasanya Moh
Hatta bahwa Korupsi merupakan budaya di negeri kita, hal ini diucapkannya pada
awal 1970-an, namun kala itu ditentang oleh banyak orang, karena hawa kala itu
masih sedikit kental dengan budaya ‘malu’ yang lazimnya disebut budaya
ketimuran. Namun setelah berpuluh-puluh tahun Indonesia merdeka, seiring
bergulirnya bola waktu dengan kondisi ekonomi, politik dan sosial masyarakat
Indonesia, ternyata barang yang bernama ‘korupsi’ nampaknya tetap bersemayam
dalam tingkah polah para elit dan birokrat negeri di segala lini, malahan
dewasa ini sudah menjadi hal yang lumrah kalau melakukan korupsi, sehingga
tidak salah jika muncul wacana korupsi sistemik maupun korupsi jamaah.
Mengutip pendapatnya Meny
(1992) dan Haryatmoko (2005) bahwa setidaknya ada empat bentuk korupsi yang
mempunyai ciri struktural menonjol, atau dalam konsep Bourdieu (1994) sudah
menjadi Habitus, yakni korupsi
sebagai jalan pintas, korupsi upeti, korupsi-kontrak, korupsi pemerasan. Nah
habitus-habitus ini seolah menjadi perilaku yang diamini oleh setiap masyarakat
Indonesia terutama para elite politik dan penguasa negeri. Melalui konsep
habitus keempat jenis korupsi tersebut terlihat sebagai bentuk reproduksi
praktik—praktik sosial. Korupsi yang dilakukan oleh seseorang adalah reproduksi
tindakan (atau hanya salah satu varian) dalam sistem kecenderungan umum,
artinya walaupun korupsi awalnya dilakukan oleh perseorangan, korupsi sudah
menjadi bagian dari praktik umum, bukan hanya sebagai keseragaman melainkan
juga variasi tindakan. Bahkan mereka yang kritis, ketika masuk dalam struktur
kekuasaan (politik atau ekonomi) cenderung akan mereproduksi praktik juga.
Korupsi menjadi sistem yang tahan waktu dan diwariskan. Awalnya hanya struktur
yang dibentuk, kemudian tanpa disadari berperan membentuk perilaku, menjadi
prinsip penggeak dan pengatur praktik-praktik hidup masyarakat. Struktur
kejahatan bukan hanya bisa diciptakan dan dipelihara melainkan bisa juga diubah
oleh pelakunya kendati dikondisikan oleh struktur tersbut. Semakin banyak orang
yang mampu mengambil jarak terhadap tindakan yang sudah menjadi hal yang
dilumrahkan, mencari makna dari setiap tindakan yang dikerjakan, bersikap
kritis atas dirinya dan orang lain, maka akan terbuka terjadinya perubahan
struktural. Dengan pengambilan jarak, maka Habitus yang baru akan menemukan
relevansinya karena menjadi faktor yang membuat usng struktur kejjahatan yang
sudah ada. Melawan korupsi berarti menciptakan habitus baru, dan habitus yang
baru mangandaikan perubahan budaya yang mendasar. Termasuk tidak dipungkiri
terkait sistem birokrasi yang masih berlaku di negeri kita sangat rentan
terjadinya praktek korupsi baik dari segi alur maupun prosedurnya. Birokrasi
kerajaan yang dibumbui dengan uang pelumas menjadi penyakit yang menjangkit
dari pra kolonial sampai sekarang yang susah sekali ketika hal tersebut
dihilangkan dari budaya (kebiasaan) dari rakyat kecil.
Selain itu, membudayakan
punishment dan reward yang tegas atas segala jasa dan kesalahan yang
dilaksanakan oleh setiap individu mungkin bisa menjadi terobosan baru penekanan
angka pidana korupsi. Hal ini dirancang untuk menstimulus jera pada para pelaku
dan merasa ikut andil dalam penyelesaian kasus pengungkapan korupsi bagi warga
masyarakat yang mau mengungkap, menjadi saksi dan memberikan keterangan secara
jujur kepada aparat yang bersangkutan. Misalnya bagi para pelaku korupsi yang
sudah ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman, maka tidak ada yang berani
mengikuti jejaknya. Dengan Punishment yang seberat-beratnya dan apresiasi
maupun perlindungan kepada warga masyarakat yang telah berkenan memberikan
kesaksian maupun keterangan dalam kasus pembongkaran kasus korupsi.
Sisi
Ekonomi
Banyak pandangan yang
mensinyalir bahwa maraknya tindak korupsi karena kondisi ekonomi, yang lebih
spesifikasinya pada pengaturan penghasilan atau upah para pejabat pemerintah
dan masyarakat luas. Dapatkah hal ini dijadikan sebagai apologis?
Analisanya seprti ini,
selama masyarakat kita masih tergolong ‘miskin’ maka ada kecenderungan mereka
akan melanggar aturan-aturan yang ada, mulai dari hal-hal kecil, seperti
pengurangan timbangan/ takaran ketika berdagang, hingga ke persoalan-persoalan
yang lebih besar, seperti tindak pidana perpajakan. Hal yang mirip juga terjadi
pada aparat hukum yang dihadapkan pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok
keluarga mereka. Lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Aparat pemerintah
serupa ini juga cenderung memanfaatkanjabatan untuk meningkatkan pendapatan.
Sehingga tidak salah
ketika era pemerintahan Gus Dur seperti yang disinggung di atas bahwa untuk
menekan angka pidana korupsi, dia berani menaikkan gaji para pegawai sampai
empat kali lipat, yang mana akan sebanding dengan aturan bahwa pelaku korupsi
harus dihukum gantung. Menurut penulis ada benarnya juga kebijakan tersebut,
karena ketika alasan ekonomi yang menjadi apologis utama sudah bisa ditembel maka saatnya menyunat
kenikmatannya dengan aturan hukum yang keras sebagai lampu merah dalam berperilaku.
Walau terkesan sedikit memaksa, tapi itulah resiko bernegara dengan komitmen
untuk keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kesejahteraan
perseorangan maupun kalangan sendiri.
Sisi
Religius
Dari analisis tersebut,
maka bisa ditarik lurus benang merahnya pada segi mental masyarakat (red :
penduduk Indonesia), yang mana seolah tidak ada landasan agama yang menjadi
benteng dan constraint dalam setiap
perilakunya. Dalam hal ini maka yang menjadi penanggungjawabnya adalah agama
atau lembaga keagamaan dan pendidikan.
Berbicara peran agama,
maka bukan lagi bertanya pada alqur’an maupun masjid-masjid sebagai manifestasi
agama, karena mereka adalah objek yang bebas nilai dan dijamin keasliannya.
Namun kembali pada masing-masing individu sebagai pengandali hawa nafsu. Kita
kemudian berharap kepada para pemuka agama sebenarnya mendapatkan tempat khusus
di hati masyarakat. Para pemuka agama diasumsikan sebagai orang yang bermoral,
tahan penderitaan, bebas dari penyelewengan, tidak tergiur dengan materialisme
yang menjadi-jadi dan berada pada barisan terdepan dalam memerangi korupsi.
Dalam kenyataannya, ‘peran-peran ideal’ serupa itu masih sulit dijalankan
ketika mereka, yang manusia biasa itu, harus pula menghadapi realita kecilnya
pendapatan dan begitu besarnyakebutuhan finansial untuk kelangsungan hidup
keluarganya. Namun bukan berarti hal ini menjadi sandaran untuk menggeserkan
peran dan tanggungjawab para pemuka agama. Dalam beberapa kasus terakhir, para
pemuka agama yang memilih terjun di dunia politik pun tidak ada bedanya dengan
mereka (red : politisi) yang bukan ahli agama, yang mana melakukan perbuatan
keji tersebut. Selain pemuka agama, Indonesia sebagai negara yang mayoritas
berpenduduk muslim nyatanya tidak berbanding lurus dengan mulia dan kompleks
dengan nilai-nilai kebaikan. Yang mana ada civil
society yang harusnya diperankan oleh Muhammadiyah dan NU (sebagai ormas
terbesar di Indonesia) nyatanya belum nampak nyata buah dari peran mereka. Hal inilah
yang menjadi PR bersama seluruh kalangan yang memegang kendali dalam proses
beragama di negeri ini, untuk serius memberangus bahkan menebar pupuk, memupuk
benih yang sudah tertanam maupun merawat tanaman yang sudah ada dengan tetesan
moral-noral profetik secara mendalam agar tidak ada satupun benih yang
menyeleweng (benih : generasi muda, tanaman : muslim yang dewasa).
Sisi
Pendidikan
Dari sisi Pendidikan, maka
normatifnya pendidikan menjadi benteng utama juga dalam pilar penanaman moral
sebagai modal menuju bangsa yang berperadaban setelah agama. Pendidikan menjadi
wahana percetakan sumberdaya manusia yang beretika, berdaya guna dan
berkepribadian tinggi dengan segala lintas ilmu dan pengetahuan. Menurut Prof.
Dr. Hasan Langgulung bahwa pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang,
yakni sudut pandang individual dan sosial. Dari sudut pandang individu
diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi individu. Sedangkan dari
sudut pandang sosial, pendidikan diartikan sebagai pewarisan nilai-nilai budaya
oleh generasi tua kepada generasi muda, agar supaya nilai-nilai tersebut dapat
dilestarikan. Dari definisi tersebut maka pendidikan sebagai wahana meramu dari
kedua sudut pandang tersebut supaya seimbang dan memberikan efek keharmonisan
dalam upaya proses berbangsa dan bernegara. Namun dalam realitanya pendidikan
(dalam hal ini lembaga pendidikan) hanya sebagai mesin pencetak tenaga buruh,
yang mana segala skill yang diajarkan hanya berhenti pada tataran teks book saja, bukan pada tataran
pemahaman secara filosofis dan penanaman karakter dalam berproses menjadi
manusia yang beradab. Maka tidak salah dalam beberapa waktu terakhir
digembar-gemborkan tentang pendidikan berkarakter, kita tunggu saja pembumian
dan hasilnya. Setidaknya letupan tersebut sudah memberikan sinyal akan
kesadaran bahwa ruh dalam pendidikan bukan ilmu semata, melainkan marwah berupa etika, moral dan karakter
supaya melahirkan manusia-manusia yang pinter
yang bukan tuna-moral.
Sisi
Hukum
Ketika agama dan
pendidikan, budaya dan ekonomi dikondisikan supaya steril dari patologi
korupsi, aspek terpenting lagi segabai praktisi langsungnya yakni para aparat
hukum yakni kejaksaan, kepolitian, peradilan. Yang mana dari ketiga lembaga
tersebut mempunyai peras, fungsi dan wewenang yang berbeda dan sama beratnya.
Selain aparat, maka ada insrumen hukum yang menjadi fasilitator sekaligus
senjata dalam menjalankan wewenang para aparat hukum di atas, yakni
perundang-undang (UU no 3 tahun 1971, UU no 31 tahun 1999, UU no 20 tahun
2001dan KUHP). Sbelum membahs lebih dalam tentang peranan hukum sebagai kaki
tangan langsung pemerintah dan masyarakat dalam menangani korupsi, maka sedikit
perlu mengetahui pengaplikasian hukum di negara kita. Yang mana bukan rahasia
umum lagi kalau masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan
hukum masyarakat (identik dengan tindakan anarkis, sumpah pocong,
dimusyawarahkan), hal tersebut menyiratkan bahwa rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat (publik) terhadap hukum. Selain bertele-tele, butuh ongkos yang
tidak murah, serta hasil yang belum tentu memihak pada mereka yang miskin atau
yang benar (karena ada politisasi hukum). Sehingga dari fenomena inilah
menjadikan peranan hukum tidak berdaya di masyarakat, belum lagi terkait
kinerja para aparat penegak hukum yang tidak jarang mengecewakat masyarakat
dengan tidak berbuat jujur, malah kebanyakan dari aparat penegak hukumlah
tindak korupsi bersarang, lalu dari sisi mana masyarakat harus percaya pada
kinerja mereka? Sampai hari ini belum ada mekanisme yang transparan untuk dapat
meyakinkan publik bahwa masing-masing aparat hukum tersebut melaksanakan tugas
secara profesional dan proporsional. Ditambah lagi dengan Indonesia Corruption
Watch (ICW) dalam buku yang bertajuk “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan”
memberikan gambaran bagaimana pola korupsi di Mahkamah Agung (MA), sebagai
lembaga tertinggi di Indonesia bahwa ada delapan perilaku korupsi di MA (yakni
Surat sakti, Pemerasan, Vonis yang tidak bisa dieksekusi, Makelar Perkara,
Pengaburan perkara, Pengaturan Majelis yang menguntungkan, Pemalsuan Vonis, dan
Penyuapan) semakin menjadi beban ketidak percayaan publik terhadap aparat
hukum.
Merujuk pada Lawrence Meir
Friedman yang mengemukakan bahwa ada tiga unsur sistem hukum yakni struktur
(mencakup institusi dan penegak hukum), substansi (mencakup segala
aturan-aturan hukum baik yang tetulis maupun yang tidak tertulis) dan kultur
hukum (mencakup opini-opini, kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik
aparat hukum maupun masyarakatnya). Dari ketiga unsur tersebut, penulis
menganggap bahwa hal utama yang harus dibenahi adalah kultur hukumnya, seolah
sepele, tapi ini yang kan menjadi ruang dan sistem yang mensirkulasikan
jalannya penegakan hukum. Dalam perbaikan kultur hukum disini, fenomena yang
umumnya sudah membumi diantaranya bahwa di negeri ini bidang eksakta lebih
diunggulkan dan sering dillabelkan lebih spesial daripada bidang hukum,
kemudian dalam penyelenggaraan negara maka prioritas pendanaan akan
dialokasikan pada pengembangan bidang-bidang IPTEK, sehingga terkesan bahwa
hukum menjadi bidang yang dinomorduakan karena dianggap kurang bonafit dalam
mengharumkan nama bangsa, selain itu kondisi hukum yang sekarang ini tidak
lepas dari sejarahnya Indonesia, kita ingat bahwa rezim orde baru merupakan
periode intervensi pemerintah yang powerful menjadikan tidak adanya pemisahan
yang jelas antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga tidak
salah kalau sampai hari ini belum ada sikap yang mandiri dari hukum untuk bisa
bersikap tegas pada semuanya tanpa pandang bulu termasuk kapada para aparatnya
sendiri. Lagi-lagi memang hukum tidak bisa dipisahkan dari politik, karena
berbagai aturan termasuk perundang-undangan juga merupakan produk politik,
namun politik hukum yang pro-rakyat dan menanggalkan kepentingan partai dan
politik lah yang harus dijadikan fondasi dalam menyusun maupun menjalankan
produk hukum tersebut.
Solusi
Adapun meramu dari
berbagai aspek yang memunculkan fenomena korupsi di negeri Indonesia di atas,
maka bersama ini penulis akan menyampaikan kerangka solusi untuk Indonesia yang
bebas dari dosa dan krupsi, yakni bukan secara terpisah dalam menyelesaikan
masalahnya, melainkan secara integral dan simultan dalam penyelesaiannya,
sehingga para aparat, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja bareng-bareng
dalam menyelesaikan konflik yang sistemik menjamur ini, bukan melulu diserahkan
pada aparat hukum, yakni harus diikuti pula oleh program dan langkah yang
sistemis dengan melakukan perbaikan di bidang-bidang lain dalam waktu yang
bersamaan, sebagai berikut :
1.
Pembenahan dari segi pembangunan
per-individu, yang mana per-individu ini harus benar-benar dimampatkan dengan
dasar agama yang matang sehingga nilai-nilai religius berbanding lurus dengan
moral, etika sosial yang berimbas pada harmonisasi dalam kehidupan berbangsa.
Kemudian dilengkapi dengan pola pendidikan yang berbasis karakter, ada dua
fungsi yang dilekatkan pada per-individu tadi yakni terkait ilmu dan
pengetahuan teknologi yang didasari oleh karakter profetik yang menjadi
pembiasaan dan penanaman di lingkungan sekolah. Sehingga bisa dipastikan di
lingkup keluarga dan sekolah aman, karena asupan ilmu yang diterima bebas dari
virus-virus kriminalitas sosial. Dan satu hal lagi, kalau lingkungan yang di
dalamnya sarat dengan budaya maupun norma-norma yang lokalistik, sehingga jika
mengaku penduduk sekitar harus kenal, paham dan bisa mengaplikasikan secara
total dari nilai-nilai tersebut.
2.
Masuk ke ranah sosial, pembenahan dari
segala lini hukum menjadi prioritas sebagai tombak praksis, baik dari struktur,
substansi maupun kultur hukumnya dengan menggerakkan antara aparat, pemerintah
dan warga masyarakat, diantaranya menjadikan hukum independent (bebas dari
intervensi pemerintah), membuat kondisi politik hukum yang kondusif yakni
politik hukum yang bermuara pada kesejahteraan dan keadilan sosial untuk rakyat
Indonesia. Sembari mencari win-win solution untuk kebijakan ekonomi yang pro
rakyat, dengan mengupayakan peningkatan gaji pada setiap lini pegawai baik
negeri maupun swasta. Bisa melalui jalur mikro maupun makro dengan
menggairahkan kegiatan produksi dan meretriksi barang-barang impor yang masuk
ke dalam negeri serta mengoptimalkan SDA dengan dibarengi upaya reboisasi,
reservasi alam dan penghematan pemanfaatan dengan menggunakan teknologi yang
efektif dan ramah lingkungan dan hal ini didukung oleh SDM yang berkompeten dan
ber-ke-Indonesiaan, sebagai ikhtiyar dalam menuju perekonomian yang pro rakyat.
Ketika ekonomi bergairah dan sirkulasi pendapatan yang merata dan meningkat,
maka bisa mengurangi kriminalistas terutama praktek-praktek korupsi, sehingga
bisa menghemat bocornya anggaran negara untuk usaha pembangunan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat.
Dari segala kondisi
tersebut dapat di-sari-kan bahwa korupsi dapat diobati walaupun tidak akan
mampu memberantasnya dengan beberapa langkah berikut : keterikatan positif pada
pemerintah dan keterlibatan religiusitas serta tugas kemajuan nasional dalam
kancah publik maupun birokrasi, administrasi yang efisien serta penyesuaian
struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari
penciptaan sumber-sumber korupsi, kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan
standart moral dan intelektual yang tinggi, reformasi segala aparatus hukum
baik struktus, substansi maupun kulturnya.
*Perempuan
IMM Surabaya
Komentar
Posting Komentar