RAMADHAN
DAN FILANTROPI BERBASIS KELUARGA
Arin Setiyowati, MA*
Arin Setiyowati, MA*
Marhaban yaa
Ramadhan, begitu spesialnya momen ramadhan hingga tanpa disadari setiap tahun
fenomena ritual keagamaan ini punya dampak signifikan khususnya terhadap
perekonomian bangsa.
Problem ekonomi
Seperti yang
dirilis di salah satu media cetak pada Sabtu (27 Mei 2017), bertepatan dengan hari
pertama umat muslim melaksanakan puasa (menahan hawa nafsu, lapar dan minum
dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari). memaparkan tentang tren
inflasi bulan Mei ditambah dengan berita tentang pantauan harga-harga bahan
pokok di pasar yang masih terkendali kecuali beberapa komoditas, diantaranya bawang
putih dan daging. Tentu ini suguhan yang perlu digarisbawahi oleh seluruh unit
ekonomi terkecil kita yakni rumah tangga.
Ritual puasa seringnya
hanya ditangkap dari segi ubudiahnya saja (sahur, tarawih, dan buka puasa). Padahal
lebih dari itu, bahwa puasa mengajarkan pada umat muslim untuk belajar
mengelola nafsu diri (baik yang bersifat materiil maupun non materiil), filantropi
(berkasih sayang dengan berderma) dan satu lagi adalah memberdayakan. Hal ini
bisa dilakukan secara harmonis jika masing-masing Muslim melaksanakan puasa
dengan penuh tanggungjawab atas nama hamba Allah dan makhluk sosial.
Fenomena
masyarakat sering menunjukan perilaku yang kontradiktif dengan logika di atas.
Sebulan pelaksanaan puasa nyatanya masih sekedar menjadi ajang menyantap
kuliner di atas keperluan, ajang berbelanja kebutuhan di luar kepentingan utama,
sementara esensi puasa kabur seiring ramadhan pamitan berganti idul fitri.
Karena kuantitas permintaan barang yang berlebihan setiap akhir puasa berganti
idul fitri sehingga menyisakan inflasi yang tajam dalam perekonomian.
Hal
tersebut disebabkan oleh melonjaknya permintaan beberapa komoditas barang dan
jasa baik sandang, pangan maupun transportasi. Tentu ini sebagai tren inflasi
musiman yang seharusnya bisa dikendalikan oleh masing-masing pelaku ekonomi
yakni masyarakat dan pemerintah. Masyarakat sebagai agregat konsumen yang perlu
menekan daya konsumsi di bulan Puasa. Sementara pemerintah sebagai pengendali
distribusi yang seharusnya mampu memberikan stimulus kebijakan sehingga bisa
menekan laju inflasi musiman ini.
Modal
Filantropisme
Sebagai Muslim,
terdapat aturan main dalam berkonsumsi, yang mana lebih menitikberatkan
nilai-nilai maslahah daripada pemenuhan utilities
(kepuasan) belaka. Artinya, dalam berkonsumsi pertimbangannya bukan sekedar want maupun need namun ada standart maslahah, yaitu seberapa besar nilai
kebermanfaatan untuk semua dari apa yang kita konsumsi. Sehingga harusnya di
bulan puasa tidak menimbulkan tren inflasi, karena ada pengurangan jumlah
konsumsi umat Muslim, namun realitanya mengungkap berbeda. Artinya ada masalah pada
perilaku konsumsi Muslim di bulan puasa.
Berangkat
dari filantropisme yaitu rasa cinta kasih terhadap sesama manusia yang
diwujudkan dalam perilaku berbagi maupun berderma ini lah yang menjadi konsep
distribusi pendapatan maupun kekayaan dalam Islam. Hal itu sebagai landasan
penting yang dijadikan pegangan agar kekayaan tidak terkumpul hanya pada satu
kelompok saja, sebagaimana termaktub dalam
QS. Al-Hasyr (59) ayat 7 ; “Supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara golongan kaya diantara kamu.”
Menurut
M.Quraish Shihab, ayat tersebut bermaksud menegaskan bahwa harta benda
hendaknya jangan hanya menjadi milik dan dikuasai sekelompok manusia. Akan
tetapi harta benda harus beredar di masyarakat sehingga dapat dinikmati oleh
semua anggota masyarakat dengan tetap mengakui hak kepemilikan dan melarang
monopoli, karena sejak awal Islam menetapkan bahwa harta memiliki fungsi
sosial. (Noor, 2013, hal 87). Sehingga prinsip keadilan dan persaudaraan (kasih sayang) pada konsep
distribusi menjadi garis utama dalam pelaksanaan Islam Rahmatan lil Aalamiin.
Berbicara
tentang distribusi sangat erat kaitannya dengan hak-hak individu dalam
masyarakat untuk menjawab keruwetan perekonomian Indonesia. Kesenjangan
distribusi pendapatan akan berdampak pada aspek ekonomi dan sosial politik.
Keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan dalam Islam menjadi Ruh dalam Islam
dalam bidang ekonomi yang bermuara pada Maslahah (Kesejahteraan).
Kesadaran
akan pentingnya maslahah akan mendorong setiap individu untuk berperilaku
ekonomi yang sesuai ajaran Islam dan
berusaha mengelola sumberdaya yang ada untuk mencapai falah (kemenangan). Jika
setiap individu di Indonesia telah sadar akan pentingnya maslahah, maka akan
terwujud masyarakat yang menyadari akan
peran penting menciptakan keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan dengan
mempersempit kesenjangan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan menunaikan
kewajiban zakat, infaq maupun shodaqoh. (Noor, 2013, hal 234).
Empowerment
(Pemberdayaan) berbasis Keluarga
Momentum
puasa yang memberikan peluang besar bagi umat Muslim dalam menyemarakkan
kembali insrumen-instrumen distribusi pendapatan dan kekayaan dalam praktek
filantropi (cinta kasih sesama manusia) Islam.
Dalam
manajemen keuangan keluarga, aktivitas ekonomi harus dikelola secara benar dan
profesional, agar kualitas iman, ilmu dan amal shalih dari hari ke hari selalu
meningkat. Untuk memiliki kas keluarga ada tiga motif; motif transaksi, motif berjaga-jaga
dan motif spekulasi (Sulastiningsih, 2008: 105). Karena kas merupakan aset yang
likuid berfungsi sebagai alat pembayaran. Maka dibutuhkan strategi jitu dalam
manajemen kas keluarga, khususnya jika dialokasikan untuk fungsi sosial.
Pemberdayaan
merupakan salah satu upaya jangka panjang dalam meminimalisir kemiskinan.
Karena bantuan yang diberikan tidak bersifat konsumtif yang sekali habis, namun
orientasinya adalah produktif yang memandirikan dan memberdayakan potensi yang
ada untuk kesejahteraan. Bukan hanya tanggungjawab pemerintah, karena dalam
Islam mengenal hukum bahwa setiap harta yang dimiliki oleh seseorang terdapat
hak orang lain di dalamnya. Maka pemberdayaan ini menjadi tanggungjawab setiap
Muslim sebagai bentuk rasa persaudaraan dan kasih sayang sesama.
Dalam
logika matematika ekonomi, jika jatah makan kita di luar bulan puasa adalah 3
kali sehari, di bulan puasa berkurang satu menjadi 2 kali sehari (sahur dan
buka puasa). Dalam notasi nominal, jika rerata 3 kali sehari makan kita sebesar
45rb,dg hitungan rerata 15rb setiap kali makan. Maka di bulan puasa,nominal jatah
makan pun berkurang dari 45rb menjadi 30rb. Artinya masih ada sisa sebesar 15rb
setiap harinya. Hal ini tentu terbukanya peluang lebih besar untuk alokasi saving/investasi maupun untuk berderma kepada
sesama.
Hal
ini akan jauh lebih punya efek positif lagi besar, jika skim berbagi maupun
berderma diarahkan pada usaha produktif. Seolah sekali mendayung dua tiga pulau
terlampaui, jika jatah makan sekali dalam sehari kita sisihkan dan kumpulkan
selama satu bulan. Hitungannya rerata per hari 15ribu dikali 30 hari dalam
sebulan, maka selama sebulan otomatis kita dapat mengumpulkan 450ribu. Jumlah
ini bisa kita dermakan secara produktif kepada kerabat maupun tetangga yang
belum memiliki pekerjaan, yang kekurangan modal usaha maupun yang sedang perlu
utuk keperluan usahanya. Sehingga berbagi kali ini bukan sekedar menyelesaikan
masalah sehari dua hari, namun bisa membantu menyelesaikan masalah sesama untuk
jangka waktu yang lama.
Strategi
menyisihkan uang dari kebutuhan utama dalam sehari tentu butuh dikoordinir
dalam satuan unit ekonomi terkecil yakni rumah tangga. Hal ini erat kaitannya
dengan proses perencanaan dan pengendalian (planning
and control) keuangan rumah tangga, berkaitan dengan bagimana mengatur atau
mengelola harta yang telah diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya secara amanah.
Perencanaan pengeluaran bagi keluarga Muslim terkait dengan bagaimana mengatur
aktivitas seluruh anggota keluarga mengonsumsi sumberdaya secara efisien dan
efektif. Hal ini sesuai pesan Surat al-Furqan (25) ayat 67, yaitu orang-orang yang ketika membelanjakan
harta tidak berlebih-lebihan dantidak menimbulkan keburukan, tetapi
mempertahankan di antara keseimbangan antara sikap kikir dan sikap boros.
Mari
meng-upgrade esensi filantropi kita
dalam ritual puasa tahun ini. Jika sebelumnya hanya sekedar menyiapkan buka dan
sahur bagi sesama, mulai saaat ini mulai Filantropisme yang memberdayakan
melalui berderma secara produktif yang dimulai dari keluarga dan bisa dikelola
secara masif melalui lembaga maupun ormas tertentu.
*) Penulis dosen FAI Universitas
Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua PDNA Kota Surabaya
Komentar
Posting Komentar