Langsung ke konten utama

Feminisme


Gelombang Feminisme
Feminisme yang diartikan sebagai aliran, gerakan perempuan dalam rangka menuntut atas tidakan penindasan, eksploitasi dan pemiskinan (marginal), penomorduaan (subordinasi) atas laki-laki (baik secara system, budaya patriarkhi, kultur, maupun kebijakan) terhadap perempuan.
Dalam belajar sejarah, terkadang proses pemilahan, pemisahan dan pengelompokan menjadi cara untuk mempermudah dalam memahami bahan yang dipelajari. Begitu halnya dengan aliran feminisme ini, sebenarnya benang merah hanya terletak pada apa yang melatarbelakangi aliran itu muncul, kondisi setempat, ragam/ corak aliran maupun gerakannya dan sumbangan untuk perubahan-perubahan yang dirasakan sampai hari ini. Dan inilah yang akhirnya memaksa untuk dipisahkannya suatu gerakan yang seharusnya bisa saja terjadi bersamaan, dan beda persepsi pula jika start tumpunya pun beda. Hal inilah yang membuat sedikit bingung penulis dalam membaca beragam potongan artikel dan buku terkait kelahiran dan penggelombangan feminisme. Namun menurut sepemahaman penlis, penulis akan mencoba menguraikan supaya mudah dipahami .
Kelahiran dan perkembangan feminisme pertama kali tidak terlepas dari kondisi sosial setempat.  Feminism Gelombang pertama di Eropa dipengarungi oleh era Pencerahan Eropa kala itu yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet dan Revolusi Prancis (1792), berangkat dari kesadaran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Terutama dalam hak-hak mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Pada awalnya gerakan ini ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan, yang secara umum kaum perempuan dirugikan atas segala bentuk penomorduaan dalam kehidupan social, terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Sedangkan kata feminism pertama diciptakan oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier (1837). Dan kemudian gerakan ini merambah dan berkembang pesat di Amerika . Nah harusnya dalam aliran feminism di Eropa dan Amerika bias dikatakan hamper bersamaan dan serupa, hanya saja karena kondisi social berbedalah yang menjadikannya berbeda pula. Pada tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan dengan perbaikan jam kerja dan gaji perempuan, serta diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari perempuan kulit putih di Eropa, dan memperjuangkan keterikatan universal perempuan. Dan baru pada tahun 1960an bermunculan gerakan-gekan feminism di Negara-negara dunia ketiga (Negara jajahan)
Sedangkan gelombang feminism di Amerika tidak lepas dari Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi sosial politik pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft yang membuat karya tulis, “mempertahankan hak-hak perempuan” (vindication of the Right of Woman). Dan gelombang ini lebih keras bergaung pada era perubahan denga terbitnya The Feminin Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan hingga dibentuknya organisasi wanita yang bernama National organization for Woman (NOW)  hingga berimbas positif terhadap perundangan, tulisannya mendorong dikeluarkannya equal pay right (1963) sehingga kaum perempuan bias menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan Feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada tahun 1960an menunjukkan seiring perkembangan kehidupan social masyarakat modern yang memiliki struktur pincang akibat budaya patriarkal, marginalisasi peran dalam segala aspek kehidupan. Sehingga muncul kesadaran dari kaum-kaum feminis untuk memperjuangakan kepincangan tersebut sehingga tercipa titik kehidupan yang equilibrium (keseimbangan).
Ragam Gerakan Feminisme
Feminisme Radikal
Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, gerakan feminism semakin menemukan bentuk penyempurnaan dan ragam tipologi gerakannya dari tidap waktu ke waktu berubah mengikuti fluktuasai soaial setempat kala itu. Sekitar tahun 1968, feminism radikal yang tumbuh subur, dengan gerakannya yang membentuk “Women’s Liberation Workshop” yang lebih dikenal dengan “Women’s Lib” mengamati bahwa peran kaum perempuan dengan laki-laki tidak ubahnya hubungan penjajah dengan yang dijajah. Dan gerakan nyatanya menentang ajang “Miss America Pegeant” yang dianggap pelecehan trhadap kaum perempuan dan komersialisasi atas tubuh perempuan, dan spirit ini yang masih mendapat sambuatan di seluruh dunia. Gerakan ini menawarkan ideology “”perjuangan separatism perempuan”, secara historis lahis atas kritik terhadap kultur seksisme (beda seks) atau dominasi berdasar jenis kelamin, gerakan utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi,  Mempermasalahkan hak-hak reproduksi, seksualitas  (termasuk lesbian), relasi kuasa, dan dikotomi public-privat. Dan gerakan ini anti sistem patriarki, karena dianggap sebagai penyebab penindasan atas kekuasaan laki-laki terhadap tubuh perempuan. Namun Sumbangan terbesarnya berupa “personal is polical” yang member peluang politik terhadap perempuan, dan gagasan baru tentang pengungkapan masalah pribadi ke ranah publik bukan menjadi hal tabu lagi. Dan dasar spirit inilah Indonesia mampunyai UU RI No 23 ttg Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hanya saja mode perjuangannya ideology maskulinitas, yakni persaingan mengatasi kaum laki-laki. (Mansour fakih, 1996,hal 86)
Feminisme Liberal
Aliran dan gerakan feminism liberal ini lebih pada pada pandangan untuk kebebasan perempuan secara penuh dan individu. Kebebasan dan kesamaan yang diangkat oleh aliran ini bertumpu pada rasionalitas dan dikotomi dunia privat dan publik. Karena stereotip yang sudah menjadi rahasia umum kalau perempauan adalah makhluk irrasional, maka aliran ini menggugat, karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai kapasitas berpikir dan bertindak secara rasional, termasuk perempuan, sehingga penindasan yang ditujukan pada perempuan disebabkan karena kesalahan perempuan sendiri. Sehingga menurut aliran ini, perempuan harus mempersiapkan diri agar bias bersaing di dunia persaingan bebas dan punya kedudukan yang setara dengan laki-laki. Inti gerakan ini adalah menuntuk kesempatan yang sama dan hak yang sama (Mansour fakih, 1996,hal 81, sehingga tidak menyalahkan struktur maupun system yang terjadi saat itu, karena tidak dipungkiri feminism liberal lahir di tengah masyarakat berada dalam system lebiralisme (era kebebasan).
Pandangan feminism terhadap Negara adalah sebagai institusi penguasa yang tidak memihak pihak manapun kareka berangkat dari varian kepentingan, nah karena sebagian besar yang menguasai Negara adalah kaum laki-laki, maka kebijakan yang dihasilkan bersifat maskulin, sehingga feminism liberal menuntut agar perempuan bukan hanya sekedar pelaku kebijakan, namun juga ikut andil dalam pengambilan kebijakan. Sehingga Perempuan harus ikut andil dalam perpolitikan Negara. Penempatan pekerjaan wanita yang melulu di ranah domestic menjadi penyampingan peran perempuan, sehingga wanita harus keluar rumah, untuk belajar berkarier dan berpolitik agar setara dan mempunyai kendali social sama seperti laki-laki.
Feminisme Marxis
Yakni aliran feminism yang berinduk pada teori besar Karl Marx, yakni menganalogikan bahwa relasi anatara suami dan istri layaknya hubuangan kaum borjuis dengan kaum proletar. Dimana penuh dengan eksploitasi dan penindasan, dan bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
Sedangkan sahabatnya (Engels), mengulas bahwa letak tumpu penindasan perempuan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman pra-kapitalisme, yakni sejak adanya perubahan dalam struktur kekayaan, munculnya hewan piaraan dan pertanian menetap, yakni masa awal penciptaan surplus, sebagai dasar munculnya private property yang kemudian menjadi dasar bagi perdagangan dan produksi perdagangan. Kerana laki-laki mengentrol perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan social dan politik, sedangkan peran perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka, sejak itulah dominasi laki-laki dimulai.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan dilanggengkan karena dianggap menguntungka. Selain disebut eksploitasi pulang ke rumah yaitu laki-laki dieksploitasi oleh kaum borjuis lewat pekerjaan di pabrik, dan setelah pulang ke rumah berganti laki-laki yang menindas si istrinya, sehingga hubungan antara kaum kapital dengan istri si laki-laki buruh tadi, maka akan sangat menguntungkan pihak kapital. Kemudian kaum perempuan bagi system kapitalisme karena dianggap sebagai cadangan buruh murah. Sehingga bagi Feminis Marxis, penindasan terhadap kaum perempuan merupakan kelanjutan dari system yang bersifat structural, bukan lagi menyalahkan budaya patriarki maupun kaum laki-lakinya sebagai sebab ketertinggalan maupun penindasan, tapi lebih pada system kapitalismenya, maka solusinya perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan system kapitalisme internasional, dengan jalan revolusi bagi mareka. Walaupun ketika sudah dilakukan revolusi masih belum bisa membebaskan perempuan dari penindasan, karena masih terbebani oleh peran domestik dalam rumahtangga, dan menurut Engels “kecuali jka urusanmengelola rumah tangga ditransformasikan menjadi industry social, serta urusan menjaga dan mendidik anak jadi urusan public, maka perempuan tidak akan mencapai kesamaan yang sejati”(Mansour fakih, 1996, hal 89).
Feminisme Sosialis
Aliran Feminisme ini lebih pada pengawina dua gerbong teori feminism marxiz dan feminism radikal, dimana aliran ini menganggap bahwa penyebab penindasan terhadap kaum perempuan adalah budaya patriarki dan system kapitalisme. Yakni sistesis teori materialis Marx dan Engels dengangagasan personal is political. Bagi aliran ini, penindasan terjadi si kelas manapun, dan dengan revolusi sosialis pun tidak mampu menaikkan posisi perempuan, sehingga menurut mereka analisis marxis klasik tersebut perlu dikawinkan dengan analisis patriarki. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialism Marxisme di pihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production (Mansour Fakih, hal 90).
*Arin Setiyowati


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...