Langsung ke konten utama

Seks, Gender dan Masyarakat
Tidak jarang terdengar di telinga kita tantang diskursus perempuan maupun diskursus gender. Namun penguraian dan pemahaman dari kedua kata tersebut ternyata masih tumpang tindih dan jamaknya disalahkaprahkan yang berujung pada pelabelan maupun menjauhi (anti) dengan gerakan perempuan. Dalam asumsi publik, ketika membahas masalah perempuan, maka pelabelannya hanya tertuju pada pemberontakan kaum perempuan atas perasaan ketertindasan yang dialami oleh kaum perempuan. Padahal tidak sesederhana itu dalam diskursus ilmiah untuk menjustifikasi, melabelkan bahkan menuduh atas perbedaan pikir, asumsi bahkan polah pergerakan. Karena dalam kacamata ilmiah metode, teori dasar, kondisi dan waktu yang menyelimuti teori itu dilahirkan mampengaruhi tipologi dan arah pergerakan. Sebelum melangkah jauh, maka berikut kita belejeti terkait apa, bagaimana dan mengapa terkait isu gender di tangah arus globalisasi dengan mengetahui perbedaan dasar antara konsep seks dan konsep gender. Sehingga dengan mudah melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan erat antara perbedaan gender dan ketidakadilan gender dalam struktur masyarakat luas.
Konsep Seks (jenis kelamin) merupakan dikotomi mutlak dan permanen yang berupa kodrat dari Tuhan atas dua anak manusia, yakni antara laki-laki dan perempuan. Hal ini lebih mengarah pada perbedaan secara biologis atau pensifatan, misal jika perempuan memiliki payu dara untuk menyusui, vagina, menstruasi, rahim dan saluran untuk melahirkan dsb, sedangkan laki-laki punya kelamin berupa penis, jakun (kalamenjing), memproduksi sperma dan tidak menstruasi pastinya merupakan tipologi biologisnya. Maka perbedaan tersebut tidak bias dipertukarkan sampai kapanpun, kecuali jika ada campur tangan manusia untuk merubah tersebut dengan operasi transeksual, yang bisa dipastikan hal tersebut tidak se-natural aslinya misalnya artis Indonesia Dorce gamalama, dia melakukan operasi transeksual, tapi dia tidak akan bisa menjadi layaknya perempuan tulen umumnya misal melahirkan dsb. Dan jika memang ada ketidakselarasan, terkadang memang kehendak-Nya (sangat jarang).
Konsep gender yakni Dikotomi pensifatan yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi kultul dan sosial setempat. Misalnya sifat perempuan itu dikenal lembut, emosional, cantik, keibuan, cengeng, telaten dsb. Sedangkan laki-laki diidentikkan berani, kuat, rasional, tangguh dan lainnya. Padahal tidak dipungkiri ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, telaten, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan cirri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. (Mansour Fakih, analisis gender 1996)
Sebenarnya  dari perbedaan seks itulan yang menjadi dasar diturunkannnya pada peran keduanya yang dibedakan oleh konstruksi social dan budaya, misal perempuan diperankan pada memasak, mencuci, mengasuh anak, maka dilegitimasi lewat profesi pengasuh, perawat, pembantu rumahtangga dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dibedakan pada peran mencari nafkah, bekerja di luar, menjadi pemimpin, dan lebih pada peran-peran publik. Pembedaan peran itupun juga tidak lepas dari konstruk sifat ataupun karakter keduanya yang sebenarnya bukan bagian dari kodrat tadi, melainkan hasil cipta kontruksi sasial dan budaya yang memang sudah mapan dan seolah apabila ada yang melanggar dari konstruk itu dianggap ‘aneh’ dan melanggar kodrat. Yang menjadi indikatornya  bahwa perbedaan peran itu bukan kodrat dan dapat dipertukarkan berupa banya koki (ahli masak laki-laki), perawat laki-laki, menyapu dan mengepel sangat bias dilakukan oleh laki-laki. Begitu juga mencari nafkah, karena realita hari ini sudah rahasia umum seorang ibu bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga, pemimpin maupun ketua-ketua perkumpulan/ organisasi perempuan dan prestasinya juga tidak kalah dari laki-laki. Sejarah perbedaan gender anatara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh sebab itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentu, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara social dan kultur, melalui ajaran keagamaan maupun aturan kebijakan pemerintah. Nah, terkadang ada yang mengartikan ketika membahas emansipasi perempuan maka jika laki-laki mengangkat batu, maka perempuan juga mengangkat batu, namun bukan disitu letak emansipasi atau kesetaraan secara substansinya.
Perbedaan jenis kelamin dan peran sebenarnya tidak ada masalah yang berarti, namun jika dari kedua perbedaan tersebut terdapat ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan, maka hal itulah yang sebenarnya dipermasalahkan oleh aktifis-aktifis pergerakan perempuan. Ketidakadilan gender nerupakan system dan struktur dimana baik kaum laki-laki da kaum perempuan menjadi korban dari system tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni : marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), suboedinasi (penomorduaan, anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype (pelabelan negative), kekerasan (violence, pembebanan kerja lebih panjang dan banyak (burden) serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Dari beberapa bentuk ketiadilan tersebut tidak bias dipisah-pisahkan, namun saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada yang lebih dominan, lebih esensial dari lainnya. Misalnya marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru terjadi karena stereotype negative terhadap kinerja perempuan, dan hal itu menymbang pada perlakuan subordinasi. Akibat stereotype negative, ketika ada kasus pemerkosaan (pelecehen/ kekerasan seksual) maka perempuan yang menjadi sasaran kesalahan atas kejadian tersebut, karena dianggan perempuan yang berbusana tidak sopanlah, merayu dandanannya dan banyak pelabelan negative pada perempuannya, padahal banyak kaus membuktikan bahwa adanya pemerkosaaan karena si laki-lakinya sendiri yang amoral dan kebanyakan korban kerabat dekat, masih dibawah umur pula korbannya. Sehingga hal-hal inilah yang menjadikan geram pergerakan perempuan untuk melakukan pemberontakan atas bentuk ketiadilan tersebut. Marginalisasi yang dilakukan secara tidak terasa melalui aturan pemerintah dengan menetapkan pergantian pola pertanian yang awalnya memanen dengan ani-ani, memanen manual dengan sabit yang lebih banyak dilakukan oleh petani perempuan, maka dengan kebijakan revolusi hijau memarginalisasi mereka dan hanya bertumpu pada petani laki-laki. Contoh lain karena perbedaan pembagian peran, dimana laki-laki lebih dipetakan bekerja di luar rumah atau di ruang public, maka secara pergaulan dan koneksi lebih luas, sehingga kebijakan lebih menguntungkan kaum laki-laki, sementara kaum perempuan dibebani pada pekerjaan domestic yang lebih banyak dan berat dan terkesan tidak berharga, sehingga kaumm perempuan lebih pada konco wingking, pengekor kebijakan karena kesempatan untuk ikut andil dialphakan, menjadi kaum perempuan semakin ter-subordinasi.
Dari serangkaian bentuk-bentuk ketidakadilan di atas, sehingga muncul kesadaran kaum perempuan untuk melawan dan memberontak melalui gerakan-gerakan perempuan dengan ragam cara dan tipologi sesuai kondisi lokal setempat. Di belahan dunia barat lahir feminism yang terpetakan lewat feminisme gelombang I dan feminisme gelombang II dengan visi gerakan dan aliran pemikiran yang berbeda. Sedangkan di belahan Negara dunia ketiga (red : Negara berkembang) mulai muncul tokoh-tokoh perempuan, missal di Indonesia ada Kartini, Walidah, Dewi Sartika dsb. Sebelum menjurus ke berbagai tipologi masing-masing grand gerakan dari tokoh-tokoh perempuan, Seiring perkembangan virus tentang analisis gender, dalam bukunya mansour fakih dijelaskan mendalam keterkaitan gerakan perempuan dengan perpolitikan dunia yang dikangkangi oleh teori-teori besar kapitalisme, sosialisme dan tidak tertinggal dalam diskursus developmentalism, maka feminism juga menjadi obyek yang terseret dalam diskursus tersebut. Rosemarie Tong (1989) dalam feminist Thought menjelaskan ragam feminis yakni feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme sosialis dsb. Sehingga disederhanakan dalam pengelompokan pemikiran feminisme juga tidak lepas dari dikotomi 2 kutub besar dalam ilmu social yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran konflik. Setidaknya dari kesemua ragam feminisme tersebut mempunyai satu kesamaan yaitu untuk memperjuangkan nasib perempuan, yang hakikatnya demi kesamaan martabat dan kebebasan untuk mengontrol raga baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Bersikap beda bukan berarti memberontak melainkan berani mengkritisi atas kemapanan yang perlu ditelaah ulang supaya tercipta transformasi sosial yang menyejahterakan masyarakat umumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...