SAAT PEREMPUAN MENULIS
Arin Setiyowati, MA
Dosen UMSUrabaya dan
Pegiat Kajian Gender
arinsetiyowati257@gmail.com
Apakah aktivis perlu meneliti dan
menulis, khususnya aktifis perempuan? Tentu, dan hukumnya wajib. Karena,
cita-cita untuk menawarkan solusi, bantuan dan advokasi atas persoalan gender
tentu dibutuhkan data-data yang valid dan komprehensif. Sehingga dengan
berbasis data penelitian mendalam, maka akan dihasilkan pendekatan solusi yang
tepat. Selain itu wajib pula ditulis, sebagai upaya recording maupun dokumentasi atas aksi sosial yang sudah dilakukan
untuk dipertanggungjawabkan kepada khalayak.
Sebagai wujud penguatan kemampuan
riset dan publikasi, sejumlah 18 aktivis organisasi perempuan dari beberapa
daerah di Jawa Timur berkumpul dan melakukan demo. Bukan Demo turun jalan,
melainkan demo menulis bersama para Pakar melalui agenda Lokakarya Meneliti dan
Menulis berbasis Kearifan Lokal yang berkaitan dengan persoalan kesetaraan
gender dan perdamaian.
Workshop yang berlangsung pada
Sabtu dan Ahad (15-16/12/2019) di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa
Timur tersebut merupakan buah dari Kolaborasi antara PWA (Pimpinan Wilayah
Aisyiyah) dan PW Fatayat NU. Dengan dukungan dari Pusat Studi Keamanan dan
Perdamaian Universitas Gadjah Mada.
Para Peserta lokakarya merupakan
warga Jawa Timur yang berasal dari Surabaya, Jombang, Jember, Sampang, Kediri,
Gresik dan Kabutaen Kota lainnya. Mereka menuliskan tentang persoalan-persoalan
gender berbasis daerahnya, misal tentang partisipasi politik perempuan,
perempuan memandang perempuan, peran ganda perempuan, Agensi Perempuan dalam Family Conflict, Kekerasan seksual,
fenomena Hijrah, perempuan bercadar hingga analisis teks buku anak Muslim yang
bias gender.
Dimentori langsung oleh Dr.
Arifah Rahmawati, salah satu peneliti di pusat studi Keamanan dan Perdamaian
UGM. Para peserta mengawali lokakarya dengan materi strategi menulis dan
penerbitan tulisan. Setelah itu, para peserta lebih banyak menghabiskan waktu
untuk coaching langsung dari penulis,
editor dan penerbit dari Rayyana yakni Salim dan Eben.
“Sebagian tulisan sudah
menunjukkan kepakaran dari masing-masing penulis tentang gender, namun perlu
ada sentuhan rasa humanis dalam proses mendeskripsikan obyek tulisan,” papar
Bang Salim dalam mereview salah satu tulisan peserta workshop.
Sedangkan menurut Bang Eben, yang
merupakan salah satu penulis di penerbit Rayyana mengungkapkan bahwa, “Sebagian
besar penulis sudah menunjukkan authoritynya
atas tulisan masing-masing, hanya lebih berhati-hati dalam hal typo tulisan.
Karena menurut penulis yang sekaligus jebolan wartawan ini, “typo tulisan dapat
merusak cita rasa tulisan dan mengganggu pembaca.” Tegasnya.
Komentar
Posting Komentar