Penyikapan Keragaman Seksualitas (Sexuality Diversity) :
Antara Nilai, Legalitas dan Praksisnya
Arin Setiyowati*
Keragaman
Keragaman dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perihal
beragam-ragam, berjenis-jenis; perihal ragam; perihal jenis. Berbicara
keragaman sama halnya
membicarakan tentang sebuah konsep ‘kemajemukan
atau pluralisme”, dimana jikalau kita kembali pada arti pluralisme itu
sendiri merupakan suatu “kondisi masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan
sistem sosial dan politik)”. Secara terminologis, ”plural” adalah bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya
lebih dari satu. Sedangkan secara etimologis, pluralisme memiliki banyak arti, tetapi pada dasarnya memiliki satu
benang merah esensi kesemuanya. Salah satunya bahwa pluralisme adalah sebuah
pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri
dari satu komunitas, suku, warna kulit, dan agama saja. Jadi, menurut
pengertian ini, pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan sebagai sebuah realitas
yang pasti ada di mana saja. Keragaman maupun pluralisme adalah sunnatullah
yang tidak bisa kita elakkan. Contoh sederhana, dalam satu ruang kelas kuliah
Ekonomi Islam, dari asal tempat tinggal maupun SMA individu-individu yang sudah
beragam, belum lagi randomnya kepribadian, warna kulit, tipe rambut, merk
bulpoin yang dipakai dan sebagainya.
Sehingga
dalam sebuah masyarakat, fenomena keragaman adalah kenyataan. Keragaman ini
dapat mewujud dalam wilayah gender, keyakinan politik, keyakinan adat, agama
dan sejenisnya. Nilai-nilai demokrasi menganggap bahwa keragaman adalah bagian
dari kehidupan manusia itu sendiri yang tidak mungkin dihapuskan. Hal itu
karena berkaitan dengan keberadaan manusia itu sendiri yang memang berbeda dari
sisi bahasa, suku, agama, kepercayaan, keyakinan, latarbelakang, gender,
sejarah dan adat. Dalam demokrasi, keragaman diakui sebagai kenyataan dan sunnatullah. Nilai keragaman ini dengan
sendirinya menjadi kekayaan masyarakat. Hal ini bukan karena substansi manusia
memang beragam dan memiliki perbedaan, tetapi secara praksis keragaman itu
sendiri tidak dapat dihapuskan. Keragaman adalah kekayaan masyarakat.
Namun,
dalam kesempatan ini, penulis akan menspesifikasikan pola keragaman dalam hal
seksualitas. Terkadang kita menganggapnya hal remeh temeh, namun ketika kita
mau menelisik dan saling terbuka satu sama lain maka akan sangat ngeri fenomena
seksualitas hari ini. Seperti sudah menjadi rahasia umum, telah diciptakannya
laki-laki sebagai pasangan perempuan. Layaknya adanya malam yang merupakan
pasangan siang, hujan dengan panas, laut dan daratan dan sebagainya. Namun
seiring berkembangnya pola peradaban manusia, semakin renik tipologi manusia
dari segi seksualitasnya selain laki-laki dan perempuan tadi. Yakni dengan
munculnya ragam polah individu maupun komunitas lesbian, gay, Biseksual dan
trangender (LGBT). Mereka lahir di tengah masyarakat yang semakin kompleks pola
hidup, konektifitas maupun aktifitasnya.
Beda Sex dan Gender
Diskursus terkait Sex dan Gender memang tema lawas namun tidak lekang oleh waktu
bahkan seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta pola hidup
manusia menjadikan tema tersebut lentur mengikuti alur perkembangan peradaban.
Kedua term tersebut sekilas nampak sama, namun sejatinya berbeda. Gender sering
diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan
jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau
kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M.
Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265).
Secara terminologis, ‘gender’ bisa
didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan
(Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine
Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Lebih
tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4). Secara gamblangnya dikemukakan
oleh Mansour Fakih, menurutnya, konsep gender yakni suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural (DR. Mansour Fakih, 2010 : 8). Misalnya bahwa perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, jantan, perkasa. Pun dalam realitanya ada laki-laki yang
emosional, lemah lembut dan bahkan keibuan, begitu sebaliknya ada perempuuan
yang kuat, rasional dan perkasa. Hematnya ciri dari pembedaan gender dapat
dipertukarkan sedangkan sex paten,
sehingga tidak bisa dipertukarkan.
Sejarah perbedaan gender (gender differences)
antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh
karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,
diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara
sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses
panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan,
seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga
perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan
kodrat perempuan. Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang
tersosialisasikan secara evolusional, berlangsung secara mapan dan
perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Akhirnya
menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender seperti peremmpuan itu lemah
lembut sedangkan laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh
masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Namun dengan
menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin
tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut
adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.
Namun keduanya (sex dan gender) memang tidak
dapat dipisahkan, dengan adanya perbedaan sex itulah yang menyebabkan perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan, misal perempuan dianugrahi punya rahim
sehingga bertugas melahirkan, menyusui masih pada level kodrat. Namun ketika
pembagian peran seperti menyuci, mengepel, memasak, mengrus rumah, menyetrika
maupun segala pekerjaan domestik dianggap sebagai ‘kodrat wanita’. Padahal kenyataannya
rentetan pekerjaan itu dapat digantikan dikerjakan oleh laki-laki, sehingga
dapat dipertukarkan. Karena campurtangan masyarakat yang dilegalkan dengan
tafsir agama yang berpaham patriarkhi, budaya setempat pun menyebabkan
perbedaan gender seolah menjadi kodrat sosial yang tidak bisa diubah maupun
dipertukarkan. Sehingga diperlukan kejelian dan kearifan dalam memisahkan dua
‘sejoli sosial’ tersebut.
Mengapa pengungkapan masalah kaum perempuan
dengan menggunakan analisis gender terkesan susah dan sering menghadapi
perlawanan (resistance) baik dari
kalangan laki-laki maupun perempuan sendiri? Pertama, karena mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya
adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan
mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya berarti menggoncang struktur
dan sistem status quo ketidakadilan
tertua dalam masyarakat. Kedua,
banyak terjadi kesalahpahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan harus
dipertanyakan? Kesulitan lain, dengan mendiskusikan soal gender pada dasarnya
berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni
menyangkut dan melibatkan individu kita masing-masing serta menggugat previlege yang kita miliki dan sedang
kita miliki selama ini. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender
sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah hubungan
antara kaum laki-laki dan perempuan, atau hubungan kemanusiaan kita. Sehingga,
menurut DR Mansour Fakih, perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, dalam praktiknya, ternyata perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun
kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik
kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan,
yakni Marginalisasi atau proses pemisahan ekonomi, subordinasi atau anggaan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui
pelabelan negatif, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dan beberapa menifestasi
ketidakadilan gender tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, melainkan saling
berhubungan, berkesinambungan dan saling mempengaruhi secara dialektis.
Menyoal
LGBT (lesbian, gay, Biseksual dan
transgender) tak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang seksualitas karena hal
tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh
kalangan LBGT. Seksualitas yang dimaksud disini memiliki makna yang luas
yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh
meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan
identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan
reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi,
hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan.
Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau
diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis,
psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual (Definisi
WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).
Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling
berseberangan, yaitu antara komunitas yang mendasarkan pemikiran tentang
seksualitas pada aliran esensialism, dan komunitas yang lain pada social
constructionism.
Komunitas esensialism meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan
identitas seksual sebagai hal yang bersifat given (terberi) dan natural
sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Komunitas ini berpandangan bahwa
jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan;
orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras
dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki- maskulin) menyebabkan komunitas
yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social constructionism, bukan
hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas
gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial,
seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin
tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan
transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga
homoseksual dan biseksual. Perbedaan dua sudut pandang tentang seksualitas tersebut
dapat dirinci sebagai berikut :
|
Esensialisme
|
Social Constructionism
|
Seks
|
Laki-laki dan perempuan
|
Laki-laki, perempuan, interseks, transgender
|
Gender
|
Feminin, maskulin
|
Feminin, maskulin, androgynous, undifferentiated
|
Orientasi Seksual
|
Heteroseksual
|
Heteroseksual, homoseksual, biseksual
|
Pandangan
umum yang diterima di Indonesia adalah pandangan pertama, yang meyakini bahwa
seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut
mendapatkan legitimasi dari ajaran agama maupun budaya sehingga komunitas orang
yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (komunitas LGBT)
dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk
diskriminasi maupun kekerasan.
Lesbian dan Homoseksual (Gay)
Lesbianisme
sendiri berasal dari kata Lesbos.
Lesbos adalah sebutan bagi sebuah pulau di tengah Lautan Egeis, yang pada zaman
kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan
wanita disebut dengan cinta yang
lesbis atau lesbianisme.
Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan,
kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus
mencintai teman seorang pria.
Di Negara
kita Indonesia, Lesbianisme berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial
kemasyarakatan. Awal kemunculannya, perempuan
lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini
mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa
mengetahuinya. Secara terang-terangan, grup-grup lesbian yang bertebaran di
Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat ini menjadi gaya hidup? Bukankah lesbian
merupakan abnormalitas atau penyimpangan seksual?
Berdasar hasil
penelitian, Psikolog John Buss memperkirakan bahwa 2% dari wanita adalah
seorang lesbian (Buss, 2004). Dalam perkembangan terakhir, survei terbaru dari
gadis remaja dan wanita muda menemukan bahwa sekitar
hampir 15% perempuan muda saat ini mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian,
dibandingkan dengan sekitar 5% laki-laki muda yang mengidentifikasi sebagai gay
(Ritch Savin-Williams and Geoffrey L. Ream, 2007). Para peneliti di Cornell
University, mengumpulkan sampel yang representatif dari wanita muda yang
mencakup lebih dari 20.000 orang di 80 komunitas di seluruh Amerika Serikat,
menemukan bahwa 85,1% wanita muda diidentifikasi sebagai heteroseksual; 0,5%
melaporkan tidak ada identitas seksual; dan 14,4% sisanya adalah lesbian atau
biseksual. Di antara pria muda, 94,0% mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual,
0,4% pria melaporkan tidak ada identitas seksual; dan 5,6% sisanya
diidentifikasi sebagai gay atau biseksual.
Lain halnya
proporsi di Indonesia bisa jadi lebih sedikit atau malah lebih tinggi, karena
tentu budaya (kebiasaan, lingkungan, agama, dll) sangat mempengaruhi penelitian
yang melibatkan orientasi seksual. Seperti yang terlihat di Eropa, misalnya, di
Norwegia, lebih dari 20% anak perempuan
dan wanita muda diidentifikasi sebagai lesbian (L. Wichstrøm and K. Hegna,
2003)
Psikologi adalah
salah satu disiplin pertama yang melakukan studi homoseksualitas sebagai sebuah
fenomena. Sebelum dan selama sebagian besar abad ke-20, psikologi melihat
homoseksualitas sebagai model perilaku yang patologis. Sebelum tahun 1970an,
banyak penelitian psikologi menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan perilaku
yang abnormal. Sebagian besar subyek penelitian adalah laki-laki gay dan
lesbian; subyek penelitian mayoritas diambil dari penjara, rumah sakit jiwa dan
konsultasi psikolog. Penelitian ini banyak dikritik karena sampel yang diambil
adalah subyek yang ‘tertekan’, orang-orang miskin, gaya hidup minoritas, dsb,
bukan mewakili sebuah populasi.
Diawali
dengan protes para aktivis gay yang dibantu oleh banyak psikiatris
menyelenggarakan konvensi di San Francisco yang membahas hak-hak kaum gay. Pada
pertengahan 1970an, telah terjadi pergeseran penting dalam psikologi tentang
homoseksual, yang beranggapan bahwa homoseksual dan lesbian berada dalam
kisaran ‘normal’ perilaku manusia. Puncaknya adalah homoseksual dibuang dari
American Psychiatric Association’s (APA) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM), atau yang lebih dikenal dengan DSM-III.
Data dari
peneliti seperti Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker, dan setelah pemungutan suara
oleh para komite APA pada tahun 1973, yang dikonfirmasi oleh keanggotaan APA
tahun 1974, menyimpulkan bahwa homoseksual bukan
lagi termasuk gangguan mental, melainkan “gangguan orientasi seksual (sexual
orientation disturbance) (Spitzer R.L., 1981).”
Pada tahun
1975, American Psychological Association (APA) merilis kebijakan resmi bahwa
homoseksualitas bukan merupakan gangguan mental (mental
disorders), dan mendesak profesional kesehatan mental untuk
mengambil langkah untuk menghilangkan stigma ‘penyakit jiwa’ yang telah lama
dikaitkan dengan seorang gay dan lesbian.
Anggapan
umum bahwa dari fisik jika perempuan tomboy
kebanyakan adalah seorang lesbian, Walaupun tidak sepenuhnya benar. Lebih dari
16% perempuan heteroseksual juga melaporkan tomboy
menjadi sebagai anak perempuan. Hanya 3-4% dari laki-laki heteroseksual
melaporkan ‘menjadi’ banci ketika muda. Mendefinisikan baik aktivitas seksual
maupun identitas sosial seorang lesbian sampai saat ini memang terus
diperdebatkan. Menurut penulis feminis, Naomi McCormick (1994), indikator
orientasi seksual seorang lesbian adalah pengalaman seks dengan wanita lain.
Namun, McCormick menyatakan menolak seks bebas antar wanita, dimana lebih
mengedepankan hubungan emosional, dukungan, sensitivitas, dan kedekatan idealis
antar perempuan adalah sebagai bagian terpenting daripada hubungan seksual.
Pandangan para lesbian feminis (Anti-Pornography Feminism) ini sebetulnya
pernah ditentang sebelumnya oleh lesbian yang lebih berorientasi seksual
(‘Pro-Sex’ Feminism) pada 1980an, yang terkenal dengan “Sex Wars” (Duggan, Lisa
and Nan D. Hunter. 2006).
Apa yang menyebabkan
perempuan memilih lesbian? Tidak persis diketahui apa yang menyebabkan
seseorang menjadi gay dan lesbian, tetapi penelitian menunjukkan bahwa hal ini
didasarkan pada faktor biologis individu. Orientasi seksual biasanya terlihat
mulai pubertas. Meskipun orientasi seksual mulai berkembang sebelum kelahiran,
cenderung berubah selama hidup seseorang. Namun ada pula yang menganggap faktor
lingkungan yang lebih dominan.
Pada tahun
1982 gay pertama hak komunitas kepentingan didirikan di Indonesia. The
"Lambda Indonesia" dan organisasi serupa lainnya muncul di akhir
1980-an dan 1990-an [9] Hari ini,. Beberapa asosiasi LGBT utama dalam bangsa
termasuk "Gaya Nusantara" dan "Arus Pelangi".
Gerakan gay
dan lesbian di Indonesia merupakan salah satu yang tertua dan terbesar di Asia
Tenggara. Lambda Indonesia termasuk kegiatan mengorganisir pertemuan sosial,
kesadaran penggalangan dan menciptakan newsletter, tetapi komunitas dibubarkan
pada 1990-an. Gaya Nusantara adalah sebuah komunitas hak asasi gay yang
berfokus pada isu-isu homoseksual seperti AIDS. Komunitas lain adalah Yayasan
Srikandi Sejati, yang didirikan pada tahun 1998. Fokus utama mereka adalah
masalah kesehatan yang berkaitan dengan orang-orang transgender dan pekerjaan
mereka termasuk menyediakan HIV / AIDS konseling dan kondom gratis kepada
pekerja seks transgender di sebuah klinik kesehatan gratis. Sekarang ada lebih
dari tiga puluh LGBT komunitas di Indonesia.
Pada masa
awal perkembangan lesbian atau gay, untuk mengetahui orang tersebut lesbian
atau gay digunakan alat ukur yang disebut Kinsey
Scale. Alfred Kinsey (ahli psikologi yang turut memperjuangkan
hak-hak gay) mengembangkan Kinsey Scale sebagai cara untuk menggambarkan
orientasi seksual seseorang. Kinsey menemukan bahwa banyak orang tidak secara
eksklusif gay atau lesbian, tetapi orientasi seksual mereka dapat di antara
keduanya. Kategori-kategori Skala Kinsey antara lain :
O : exclusively
heterosexual
1 : predominantly
heterosexual, infrequently homosexual
2 : predominantly
heterosexual, but more than infrequently homosexual
3 : equally
heterosexual and homosexual (bisexual)
4 : predominantly
homosexual, but more than infrequently heterosexual
5 : predominantly
homosexual, infrequently heterosexual
6 : exclusively
homosexual
Namun,
dewasa ini banyak peneliti menganggap Skala Kinsey terlalu sederhana. Mereka
berpendapat bahwa orientasi seksual setiap orang mungkin lebih kompleks dari
label dasar yang diberikan Kinsey. Setiap orang berbeda dan orientasi seksual
setiap orang adalah unik. Orang dapat memilih untuk label orientasi seksual mereka
yang mereka inginkan (menjadi gay, lesbi atau biseksual) dan banyak orang
memilih tidak untuk label sama sekali (AntiSeks). Seperti kebanyakan orang di
budaya barat, yang diajarkan bahwa heteroseksualitas adalah kualitas bawaan
dalam semua orang. Ketika seorang wanita menyadari daya tarik seksual dan
romantis wanita lain, lantas mengadopsi identitas lesbian, menantang apa yang
masyarakat tawarkan dalam stereotip tentang heteroseksual. Sehingga ketika akan
memutuskan apakah lesbian atau gay menjadi suatu abnormalitas atau gaya hidup
baru menjadi pertanyaan di diri kita masing-masing. Apalgi melihat
sosio-culture Indonesia dengan segala reniknya menjadi pertimbangan dalam
mengambil keputusan terutama tentang orientasi dan perilaku seksual.
Beberapa
latar belakang mengapa seseorang mempunyai orientasi seks pada sejenis,
diantaranya: (Zastrow, 2004,487-489)
1)
Teori Biologi
Teori ini
menerangkan bahwa seseorang mempunyai orientasi seks pada sejenis karena mereka
mempunyai beberapa penyebab, diantaranya bisa dilihat dari genetika, anatomi
(terutama bagian otak) serta hormonal.
Penyebab
dari gentika melihat bahwa homoseksualitas telah diprogram melaui gen-gen. Lain
halnya dengan anatomi, faktor ini melihat bahwa ukuran otak orang yang
mempunyai orientasi seks pada sejenis lebih kecil dari orang yang mempunyai
orientasi seks pada lawan jenis. Namun teori ini telah dibantah karena
argumennya didukung oleh bukti yang tidak kuat untuk mendukung teori ini.
Selain itu penyebab dilihat dari sisi hormonal melihat bahwa homoseksualitas
terjadi karena tingkat perkembangan hormon tidak seimbang terutama yang terjadi
pada masa remaja dan juga ada yang berpendapat perkembangan hormon yang
abnormal pada masa anak dalam kandungan.
2)
Teori Psikososial
Teori ini
menerangkan bahwa homoseksualitas dapat muncul karena manusia mempunyai
hubungan dengan lingkungan sekitarnya sehingga ada proses saling mempengaruhi
dan dipengaruhi. Teori ini menerangkan bahwa setiap manusia selalu belajar dan
melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Manusia dalam kehidupan selalu
dihadapkan pada stimulus dan respon, dan ketika hal in berlangsung terus
menerus individu mengalami penguatan (reinforcement) dan kepribadian seseorang
terbentuk.
Penjelasan
di atas dapat di lihat bahwa homoseksualitas dapat disebabkan oleh 2 hal yaitu
dari biologis dan psikososial. Kebebasan memang tidak boleh melihat berdasarkan
2 penyebab ini, karena menurut deklarasi HAM semua orang mempunyai kedudukan
yang sama, mereka dapat menentukan sendiri baik dalam memilih agama, pekerjaan,
pendidikan bahkan dalam memilih orientasi seksnya.
Jika dilihat
dari teori biologis seseorang pasti menjadi homoseks bukan kemauannya, atau
dalam dunia kedokteran disebut sebagai patologi. Jika hal ini terjadi maka
tidak boleh terjadi diskriminasi pada mereka. Karena mereka menjadi homoseks
bukan atas keinginan mereka dan mereka menerima ”penyimpangan” ini apa adanya
tanpa bisa melakukan perlawanan. Demikian halnya orang-orang yang mempunyai
orientasi seks pada sejenis dikarenakan psikososial, mereka juga tidak boleh di
diskriminasi karena mereka mengalami sosialisasi nilai yang berbeda, mereka
mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Biseksual
Biseksualitas adalah orientasi seks yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta
romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Biseksualitas umumnya
dikontraskan dengan homoseksualitas, heteroseksualitas,
dan aseksualitas. Dalam KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia) adalah mempunyai
sifat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan); atau tertarik kpd kedua jenis kelamin (baik kpd laki-laki maupun
kpd perempuan). Jadi Biseksualitas ini mempunyai orientasi dan perilaku seksual
rangkap, baik homoseksual maupun heteroseksual.
Di dalam skala 0-6 orientasi
seksual yang dibuat oleh Alfred C. Kinsey, biseksual umumnya berada di skala
1-5 secara stabil. Artinya, biseksual tidak memiliki ketertarikan secara
eksklusif kepada salah satu jenis kelamin saja.
Komunitas biseksual sangat
beragam, setidaknya ada 13 jenis tipe biseksual. Beberapa orang yang biseksual
berkomitmen dengan monogami tapi banyak juga yang sering berganti pasangan.
Faktor penyebab terbesar untuk perilaku biseksual adalah lingkungan.
Untuk mengetahui apakah seseorang
punya perilaku biseksual atau tidak, ada 4 tanda berikut seperti dikutip
Health24, Jumat (2/10/2009).
1.
Bingung
terhadap orientasi seksual
2.
Mencoba
mencari tahu tentang perilaku biseksual yang menyimpang
3.
Menyadari
perilaku seks diri sendiri yang menyimpang namun tetap mempertahankan perilaku
tersebut
4.
Melakukan
perubahan pada alat kelaminnya
Adapun
ciri-ciri Biseksual :
Secara
forensik (uji biologis) para pakar menyebutkan kalau dubur yang corong ke dalam
adalah ciri penderita biseksual, karena secara logis dubur digunakan untuk
berhubungan seksual. Dan bentuk corong tersebut tidaklah nampak jika hanya
sekali atau dua kali melakukan hubungan, melainkan butuh waktu bertahun-tahun.
Perilaku biseksual bisa
disebabkan karena gangguan kromosom, gangguan perkembangan masa kecil dan
pengaruh lingkungan. Sementara penyakit bawaan atau kecelakaan tidak bisa
menyebabkan bentuk dubur seperti itu.
Hingga kini belum ada obat yang
bisa menyembuhkan penderita biseksual. Penderita biseksual akibat gangguan kromosom
nggak bisa diobati, tapi kalau perilakunya itu karena pengaruh lingkungan
mungkin masih bisa diobati dengan terapi, menurut pakar andrologi dan seksolog,
Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS .
Serta perilaku biseksual bisa menimpa siapa saja, bahkan orang macho
sekalipun. Seleksi lingkungan menjadi kunci aman kita.
Transgender
Transgender
sebagai salah satu bentuk penyimpanyan seksual yang dipahami oleh khalayak
umum, dengan kualifikasi jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas
kelamin yang sedikit berbeda dari
umumnya. Dalam bahasa kesehariannya, masyarakat menyebutnya ‘banci’ yakni setengah laki-laki dan
setegah perempuan. Sedangkan definisi banci dalam Kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) adalah tidak
berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan; atau laki-laki yg bertingkah laku dan berpakaian sbg
perempuan; wadam; waria.
Secara
eksklusif, mengupas tentang transgender ini terlalu renik, karena segala ragam
kompleksitas seksual baik lesbian maupun homoseksual sebagian bermuaranya pada
transgender. Transgender dipilih oleh sebagian mereka dengan alasan, ada
laki-laki dengan penis mengecil atau sebaliknya klitoris yang membesar pada
perempuan, belum lagi faktor lingkungan sekitar yang menstimulus dengan polah
yang seharusnya tidak diperankannya.
Identitas
gender ini menjadi keblunderan masyarakat dan pemerintah dalam penetapan
statusnya dalam kependudukan negara. Dan beberapa bentuk toleransi masyarakat
diberikan kepada beberapa orang transgender yang bekerja di salon kecantikan atau
dalam industri hiburan, terutama bicara selebriti Dorce Gamalama. Namun, hukum
tidak melindungi orang-orang transgender dari diskriminasi atau pelecehan dan
juga tidak menyediakan untuk operasi ganti kelamin atau membiarkan orang
transgender untuk mendapatkan dokumen hukum baru setelah mereka telah membuat
transisi.
Diskriminasi,
pelecehan, bahkan kekerasan tidak jarang diarahkan pada orang-orang
transgender. Orang transgender yang tidak menyembunyikan identitas gender
mereka sering merasa sulit untuk mempertahankan lapangan kerja yang sah dan
dengan demikian sering dipaksa menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) dan
kegiatan ilegal lainnya untuk bertahan hidup. Di sekitar kita, tidak jarang
mereka yang memilih transgender hanya menjadi pengais recehan di sepanjang
jalan dengan gaya kebanci-bancian mereka.
Status hukum
Dalam aturan
hukum Indonesia khususnya hukum pidana nasional tidak melarang swasta,
non-komersial hubungan homoseksual antara orang dewasa. Sebuah RUU nasional
untuk mengkriminalkan homoseksualitas, bersama dengan kohabitasi, perzinahan
dan praktek sihir, gagal diundangkan pada tahun 2003 dan tidak ada tanggapan
berikutnya, sehingga isu ini gencar
diperkenalkan kembali.
Pada tahun
2002, Pemerintah Indonesia memberi hak provinsi DI Aceh untuk memperkenalkan
syariah Islam, meskipun hanya untuk warga Muslim. Misalnya, kota Palembang
penjara dan denda diperkenalkan, untuk seks homoseksual. Di bawah
homoseksualitas hukum didefinisikan sebagai tindakan 'prostitusi yang melanggar
norma kesusilaan umum, agama, dan norma-norma hukum yang berlaku pada aturan
sosial'. Tindakan berikut ini didefinisikan sebagai tindakan seks homoseksual
prostitusi, lesbian, sodomi, pelecehan seksual, dan tindakan pornografi
lainnya. Lima puluh dua daerah sejak diberlakukan hukum syariah dari Quran yang
mengkriminalkan homoseksualitas.
Di kota-kota
besar, baik lesbian, gay, biseksual, transgender, dan transeksual secara hukum
diberi label sebagai "Cacat" (cacat mental) dan karenanya tidak
dilindungi oleh hukum. Meskipun Indonesia telah memungkinkan hubungan seksual
swasta dan konsensual antara orang-orang dari jenis kelamin yang sama sejak
1993, ia memiliki usia yang lebih tinggi persetujuan untuk hubungan seks yang
sama daripada hubungan heteroseksual (17 untuk heteroseksual dan homoseksual
untuk 18).
Konstitusi
Nasional tidak secara eksplisit membahas orientasi seksual atau identitas
gender. Itu tidak menjamin semua warga negara hak hukum berbagi, termasuk
kesetaraan di depan hukum, kesempatan yang sama, perlakuan yang manusiawi di
tempat kerja, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, berkumpul secara
damai, dan asosiasi. Hak-hak hukum seperti semua tegas dibatasi oleh
undang-undang yang dirancang untuk melindungi ketertiban umum dan moralitas
agama.
Islam
Indonesia Majelis Ulama memutuskan bahwa orang-orang transgender harus hidup
dalam gender yang mereka lahir. Dan Hukum tidak mengakui pernikahan gay,
serikat sipil atau manfaat kemitraan domestik. Adopsi dan
keluarga berencana (LGBT parenting) Pasangan sesama
jenis tidak memenuhi syarat untuk mengadopsi anak di Indonesia. Hanya pasangan
menikah yang terdiri dari suami dan istri dapat mengadopsi.
Perlindungan
hak-hak sipil Seperti tahun 2007, tidak ada hukum ada untuk melindungi warga
negara Indonesia dari diskriminasi atau pelecehan atas dasar orientasi seksual
atau identitas gender mereka. LGBT di media Hukum Terhadap Pornografi dan pornoaksi (2006) melarang
"... setiap tulisan atau audio-visual presentasi - termasuk lagu, puisi,
film, lukisan, dan foto-foto yang menunjukkan atau menyarankan hubungan seksual
antara orang-orang dari jenis kelamin yang sama."Mereka yang pelanggaran
hukum bisa didenda atau dihukum penjara selama tujuh tahun. Namun, media
sekarang memberikan homoseksualitas cakupan yang lebih media di Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia
sebagai negara demokrasi dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia. Sehingga
dengan jumlah yang hampir menempati dan mendominasi di setiap sudut Indonesia,
menjadi kewajaran jika budaya, sistem maupun esensi hukum dan aturan-aturan
lainnya menyerap dari agama mayoritas tersebut. Belum lagi jika Kedua kubu
tradisionalis dan modernis Muslim yang umumnya menentang homoseksualitas.
Banyak komunitas-komunitas fundamentalis Islam seperti FPI (Front Pendukung
Islam) dan FBR (Forum Betawi Council) secara terbuka memusuhi orang LGBT dengan
menyerang rumah atau pekerjaan yang mereka yakini merupakan ancaman bagi
nilai-nilai Islam.
Sehingga dari segi status hukum, maka komunitas
atau komunitas LGBT tersebut masih sangat terancam, ditambah lagi dengan sikap
arogan dan minimnya sosialisai maupun pendidikan untuk masyarakat awam terkait
pluralittas seksual, serta sikap kedewasaan masyarakat yang sering terlambat
datang dalam menyelesaikan masalah ragam seksualitas di sekitarnya.
Diskriminasi
jelas dan homophobia kekerasan dilakukan terutama oleh ekstrimis agama,
sementara diskriminasi halus dan marjinalisasi terjadi dalam kehidupan
sehari-hari antara teman-teman, keluarga, di tempat kerja atau sekolah. LGBT
orang sering mengalami pelecehan oleh tangan polisi tapi sulit untuk
mendokumentasikan karena korban menolak untuk memberikan pernyataan karena
seksualitas mereka (LGBT), sering ditangkap atau dibebankan karena orientasi
seksual mereka. Juga gay di penjara mengalami pelecehan seksual karena
orientasi seksual mereka, dan sering tidak melaporkannya karena sedang trauma
dan takut dikirim kembali ke penjara untuk menderita pelecehan lebih lanjut.
Namun, di
satu sisi, Indonesia memang memiliki reputasi sebagai negara muslim yang
relatif moderat dan toleran, yang memiliki beberapa aplikasi untuk orang LGBT.
Ada beberapa orang LGBT di media dan pemerintah nasional telah memungkinkan
komunitas LGBT diskrit untuk eksis, bahkan mengatur acara-acara publik. Namun,
adat istiadat konservatif sosial Islam cenderung mendominasi dalam masyarakat
yang lebih luas. Homoseksualitas dan cross-dressing tetap tabu dan berkala LGBT
orang menjadi sasaran hukum agama lokal atau komunitas main hakim sendiri
fanatik.
Keragaman
merupakan fenomena sosial. Dan keragaman seakan menjadi karya besar Tuhan untuk
menguji umat manusia mana diantara mereka yang mampu memanfaatkan karunia Tuhan
dan mana diantara mereka yang mampu memenangkan perlombaan meraih kebaikan.
Agaknya Tuhan dengan kasih sayang dan ke-Maha Bijaksanaan-Nya tidak
menginginkan hamba-Nya berada dalam komonitas keberagamaan yang tunggal. Termasuk
salah satunya keberagaman seksual yang berekses pada masalah gender dan
terlebih orientasi seksualnya seperti penjelasan di atas.
Sebagai warga negara yang menganut paham demokrasi
dengan keBhinekaannya, maka perlu solusi sikap dewasa dalam menghadapi fenomena
seksualitas tersebut supaya tidak ada pihak yang dirugikan dan tentu saja sikap
yang disesuaikan dengan norma yang berlaku di Indonesia. Barangkali dengan
beberapa perspektif di bawah mampu dirumuskan solusi yang terbaik.
Ragam Perspektif Nilai-nilai
dari Payung Demokrasi
Menyoal terkait LGBT ini tidak cukup hanya
satu sisi dalam menyelesaikannya, melainkan butuh kacamata lebih dari satu
supaya bisa ditemukan solusi yang adil untuk semua pihaknya.
Perspektif
Kebebasan
Dalam masyarakat yang penuh keragaman dalam
berbagai aspek, tentu masing-masing memiliki kepentingan, membutuhkan ekspresi,
berkumpul, berkelompuk, berpendapat, berkepercayaan dan termasuk dalam hal
sensasi seksual. Dalam
kebudayaan kita, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat, diasosiasikan
dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks bebas, dan segala hal yang
buruk-buruk. Ringkasnya diidentikkan dengan liar. Jadi kebebasan disamakan
dengan keliaran. Free/ bebas itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan
makhluk secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, untuk merasa, dan
untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu kebebasan, jika diterjemahkan
sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa
individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan
kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu untuk memilih bagi
dirinya sendiri.
Kadang memang ada kekhawatiran
bahwa kalau orang dibiarkan bebas memilih, misalnya dalam konteks sebagai warga
negara, maka orang akan memilih ke arah yang buruk. Tindakan memilih terkadang
memang bisa keliru. Tetapi itu bagian dari proses pembelajaran untuk menjadi
dewasa, untuk menjadi otonom. Seorang pemikir Jerman, Immanuel Kant, pernah
menulis risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia. Kita, kata filosof
abad ke-19 itu, harus percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh. Dalam
proses itulah berlangsung proses pembelajaran.
Raymond aron (1993:94 dan seterusnya)
mendefinisikan kebebasan dalam soal politik, misalnya adalah kebebasan formal
yang menjamin hak warga negara untuk berperan serta dalam hal yang menyangkut
kepentingan umum, kebebasan formal yang memberinya perasaan bahwa ia ikut
menentukan nasib masyarakatnya melalui wakil yang dipilihnya, dan akhirnya
memalui pandangan dan pikiran yang diungkapkannya. Dengan kata lain,
nilai-nilai kebebasan disini memiliki dua arti : pertama, bebas untuk mengambil prakarsa, bersikap, berpendapat
dalam pengertian positif. Dalam hal ini, semua orang dan warga negara berhak
memiliki bagian yang sama dalam proses penentuan kebijakan negara, termasuk
mengkritik, memberi masukan, dan lain-lain. Nilai-nilai demokrasi memberikan
dan mengakui pentingnya kebebasan berserikat, berkumpul, beragama,
berkepercayaan, dan berkeyakinan politik tertentu, tanpa pemaksaan, ketakutan,
dan bebas dari ancaman dalam bentuk apapun.
Meski begitu, kedua, kebebasan juga berarti terbalik, yaitu bebas dari berbagai
ancaman, penindasan, kekerasan, dan bebas dari adanya pemaksaan. Di sini,
adanya kebebasan juga berarti adanya tindakan seseorang atau warga negara yang
tidak tunduk ppada kehenda orang lain yang memiliki kekuasaan, melainkan
berdasarkan kesadaran sendiri. Sementara esensi paksaan adalah ancaman
menimpakan hukuman, kekerasan, dan teror apabila orang lain tidak tunduk pada
kehendaknya. Harus dipahami pula bahwa kebebasan yang berarti prakarsa disini,
tidak bermakna bebas untuk memukul orang, karena orang yang dipukul memiliki
hak untuk bebas dari kekerasan dan dan ancaman orang lain. Konteks yang sama
dapat diambilkan contoh dari banyak variasi yang lain. Dalam sektor ekonomi,
kebebasan orang untuk mengakumulasi modal dan menguasai ekonomi hingga ekonomi
bersifat oligarkis dibatasi oleh hak-hak orang lain untuk mendapatkan
kesejahteraan dan keadilan distributif. Dengan kata lain, negara atau otoritas
yang diberi mandat dalam sebuah negara dapat saja membatasi kebebasan, sejauh
bukan untuk membunuh kebebasan itu. Pembatasan dimaksudkan untuk menjamin
adanya hak-hak masyarakat seperti keadilan dan kesetaraan. Pembatasan, dengan
demikian adalah dilakukan terhadap komunitas atau orang tertentu yang
menggunakan kebebasannya tanpa batas.
Nilai Non
Kekerasan
Dalam kehidupan negara terdapat banyak orang
dan komunitas yang masing-masing memiliki kepentingan. Ada orang-orang yang
memiliki keyakinan yang berbeda dalam banyak hal. Ada juga komunitas yang
berbeda dalam soal politik, ekonomi, budaya dan agama termasuk dalam hal
orientasi seksual. Komunitas dan berbagai jenis orang ini mememiliki
kepentingan agar dapat diakomodir. Adakalanya dalam mendesakkan kepentingan
ini, menurut Lewis Coser (1956 : 8), dapat terjadi kesepakatan antar komunitas.
Akan tetapi adakalanya juga terjadi pertentangan dan konflik sosial. Termasuk
perbedaan orientasi seksual, yang tidak sepatutnya kita menjauhi bahkan
mengalienasi mereka dari networking
social. Ketika terjadi perselisihan maupun perbedaan, nilai-nilai demokrasi
mengajarkan bahwa penyelesaiannya dilakukan dengan nilai-nilai non-kekerasan.
Untuk mengemukakan kepentingan setiap komunitas dapat dilakukan dengan cara
pemilu dan referendum secara administratif. Akan tetapi, dapat juga dengan
mekanisme musyawarah, pengakuan terhadap suara mayoritas, atau bahkan
mendengarkan suara minoritas, tergantung bagaimana kedewasaan masyarakat untuk
menyelesaikan dan menyalurkan aspirasinya dengan cara nir-kekerasan.
Nilai kesetaraan
dan Persamaan
Selain nilai-nilai non-kekerasan, juga perlu nilai-nilai
lain. Yang dalam demokrasi dinamakan nilai kesetaraan dan persamaan. Manusia
pada dasarnya adalah setara dan negara harus mengakui hak-hak setiap warga
negara secara sama sebagaimana yang dinoktahkan Duham (resolusi MU PBB No.
217A-III). Nilai-nilai demokrasi tidak membenarkan adanya pembedaan yang
menyebabkan perlakuan tidak sama atau diskriminatif. Nilai-nilai demokrasi
harus mampu menjamin dan membuat warga negara setara dan diperlakukan sama di
depan birokrasi dan perangkat negara.
Dalam masalah perbedaan orientasi seksual ini,
entah dari kacamata abnormalitas maupun gaya hidup baru dalam melihat
kaum/komunitas LGBT, namun semua
orang mempunyai kesamaan dalam hak, karena semua manusia mempunyai akal dan
dilengkapi dengan hati nurani. Bukan berarti manusia yang selalu dikatakan
”menyimpang” tidak mempunyai akal dan hati nurani. Mereka tetap mempunyainya,
bukan berarti mereka gay atau lesbian otomatis mereka tidak mempunyai hati
nurani dan akal. Toh kalaupun LGBT
dianggap sebagai gaya hidup, maka itu pilihan mereka, yang syudah semestinya
mereka dialektikakan di dalam diri mereka pribadi tentang pilihannya tersebut,
dan pasti sudah diperhitungkan pula segala konsekuensi logis dari yang paling
sederhana sampai paling rumit sekalipun.
Sebagai manusia, mereka yang
mempunyai orientasi seks pada sesama jenis harus juga diperhatikan sebagai
manusia yang mempunyai hak asasi yang sama. Mereka tidak boleh dibedakan karena
orientasi seks mereka berbeda dengan orang kebanyakan. Karena dalam deklarasi
HAM pada pasal 2 dikatakan bahwa manusia semua sama tidak boleh dibedakan
berdasarkan ras, warna kulit, agama dan sebagainya termasuk orientasi seksnya. Mereka
harus tetap mempunyai kebasan dalam berekspresi, baik kebebasan positif yang
menekankan pada kemampuan mereka untuk melakukan tindakan bebas yang
berorientasi bagaimana mereka bisa membantu orang lain. Tentunya dengan
berbagai cara seperti mengikuti organisasi pelayanan dan sebagainya. Atau
kebebasan negatif yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, yaitu
kebebasan untuk mengekspresikan mereka dan menunjukkan eksistensinya baik
kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya. Jadi tidak ada
alasan bagi kita untuk mendiskriminasi bahkan melakukan kekerasan terhadap
mereka.
Perspektif Agama
Semua agama samawi (agama besar : Islam,
Kristen,Budha) tidak membolehkan hubungan sesama jenis (homoseksual). Dalam
pandangan Islam sangat diharamkan sesama jenis melakukan hubungan seksual
terlebih tanpa hubungan resmi, dalam perjalanan historisnya sudah dicontohkan
melalui kaumnya Nabi Luth, namun mereka menolak ajaran Nabi Luth, sehingga
mereka dimusnahkan oleh Allah. Oleh karena itulah ancaman hukuman terhadap pelaku
homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Di
dalam perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah
dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum menikah di cambuk 100 kali dan diasingkan
selama satu tahun. Adapun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian
tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila) maka hukumannya sama
saja (tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum
menikah). Allah SWT berfirman:
tbqè?ù's?r& tb#tø.%!$# z`ÏB tûüÏJn=»yèø9$# ÇÊÏÎÈ tbrâxs?ur $tB t,n=y{ ö/ä3s9 Nä3/u ô`ÏiB Nä3Å_ºurør& 4 ö@t/ öNçFRr& îPöqs% crß%tæ ÇÊÏÏÈ
Artinya:
Mengapa kamu mendatangi jenis
lelaki di antara manusia, Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh
Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas” (QS.
As-Syu’ra : 165-166)
Dalam
agama Katolik Roma, aktivitas homoseksual adalah sesuatu yang bertentangan
dengan hukum alam dan penuh dosa, sementara keinginan dan nafsu homoseksual
adalah suatu kelainan.
Dalam
agama Kristen, Homoseksualitas adalah hubungan yang salah, seperti dinyatakan
dalam Kitab Suci, bertentangan dengan tujuan kreatif Tuhan atas seksualitas
manusia. Dengan demikian kita bisa pastikan bahwa homoseksualitas bukan hasil
dari penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan. Dikatakan bahwa “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya…laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka…TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan
dia.’” (Kejadian 1:27, 2:18)
Agama
Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau siapapun dan itu dapat dibuktikan
bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi dalam perkembangan Agama
Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama Buddha Tripitaka.
Tidak ada alasan bagi pihak-pihak tertentu mengatakan bahwa Homoseksual tidak
boleh menjadi umat Buddha. Agama Buddha juga tidak mendukung atau menggalakkan
seseorang menjadi Gay atau Lesbian. Kata-kata yang lebih tepat adalah Agama
Buddha menerima siapa saja dalam kondisi alami mereka untuk mengapai
kebahagiaan, karena semua orang berhak untuk memperoleh kebahagiaan.
Secara
garis besar, semua ajaran agama melarang hubungan sesama jenis. Terlepas
permasalahan tafsir yang dipakai di masing-masing agama. Namun benang merah positif
yang dapat dita simpulkan dari keseluruhan agama tersebut bahwa tidak
dibenarkan sikap melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka yang
memiliki kecenderungan orientasi seksualnya homoseksual.
Fakta-fakta
Kondisi Komunitas LGBT di Indonesia
a)
Bentuk- bentuk
kekerasan yang dialami oleh komunitas LGBT (Sumber data dari Divisi Litbang dan Pendidikan
Komnas Perempuan)
1.
Kekerasan seksual
Kekerasan seksual paling banyak dialami oleh komunitas
LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode
wawancara menemukan 9 dari 10 orang LGBT yang diwawancarai
mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan
aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat
penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum.
2.
Kekerasan fisik
Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan,
meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga pasangan. Yang
secara garis besar merupakan orang terdekat korban (pelaku LGBT) dan sudah
mengetahui tentang perilaku dan orientasi seksual dari si korban, baik setelah
pengakuan langsung dari si korban maupun mendapati sendiri perilaku berbedanya.
3.
Kekerasan emosional
Biasanya orang LGBT mengalami penolakan dari keluarga
setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT. Kekerasan yang dilakukan
keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya,
membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan, ataupun pengusiran.
Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media
dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT, misalnya dalam
kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.
b)
Tindakan diskriminatif yang dialami komunitas LGBT
1.
Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan
Komunitas LGBT mengalami
penolakan untuk diterima bekerja sesuai bidangnya sehingga meskipun ada komunitas
LGBT yang capable
untuk bekerja sesuai bidang ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang
yang menerima mereka, misalnya salon, rumah makan dan sejenisnya yang
intinya bekerja di luar keahliannya.
2.
Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh komunitas LGBT
seringkali diselesaikan di luar pengadilan karena dianggap aib, memalukan. Hal
tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor. Hal ini
menunjukkan betapa tidak diakuinya (tidak ada tempat) bagi komunitas LGBT,
mereka dianggap kelas kedua (dalam hal feminisme, layaknya posisi perempuan
yang subordinasi) dan subsistem di Indonesia yang seharusnya menganut paham
persamaan dan kesetaraan dengan payung demokrasi. Namun dalam realitannya susah
sekali ditemui.
3.
Diskriminasi dalam pemilihan pasangan
Komunitas
LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih
pasangan. Misalnya, banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya
sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa.
Tentu saja hal ini tidak terepas dari kondisi sosio-kultural Indonesia, dengan
sebagian besar umat Muslim, sehingga sepakat atau tidak sepakat aturan dan
perilaku kesehariannya mengikuti paham ajaran agama mayoritas (Agama Islam).
Selain legitimate agama, budaya ke-Timur-an yang dianggap ciri Indonesia dengan
adanya toto kromo (tata krama, adat
setempat) yang masih kuat dipegang dalam praktek kehidupan masyarakat. Dan
menganggap ketika melihat kondisi komunitas LGBT ini dianggap suatu kehidupan
yang jauh dari peradaban, menunjukkan pola hidup ke-biadaban.
c)
Upaya yang Dilakukan Komunitas LGBT dalam Memperjuangkan
Hak-hak LGBT
1.
Internalisasi
bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual Diversity) adalah HAM yang
termasuk mendasar (dari sudut kebebasan) Terutama bagi mereka yang mengalami
LGBT itu sejak lahir, karena itu menyuarakan
hak-hak LGBT sama pentingnya dengan menyuarakan hak-hak perempuan.
2.
Melakukan
dekonstruksi sosial (destabilised) atas konsep-konsep seksualitas yang dianggap
baku dengan menggunakan kerangka dasar semua dokumen hak asasi manusia melalui
:
·
Perubahan sistem hukum termasuk hukum agama (reintrepretasi tafsir kitab
suci)
·
Counter discourse atau perebutan wacana dan makna atas issue-issue seksualitas
yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan
·
Penghapusan praktek-praktek yang mendiskriminasikan komunitas-komunitas
yang dianggap “abnormal” atau masuk dalam kategori non normative sexuality
·
Sosialisasi Yogyakarta principles. Yogyakarta Principles adalah suatu
tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang HAM
yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Gambaran singkat tentang isi prinsip Yogyakarta adalah
sbb :
Prinsip 1 : Hak untuk Penikmatan HAM secara universal
Prinsip 2 : Hak atas Kesetaran dan Non
Diskriminasi
Prinsip 3 : Hak atas Pengakuan di mata Hukum
Prinsip 4 : Hak untuk Hidup
Prinsip 5 : Hak atas Keamanan Seseorang
Prinsip 6 : Hak atas Privasi
Prinsip 7 : Hak atas Kebebasan dari
Kesewenang-wenangan terhadap perampasan
kebebasan
Prinsip 8 : Hak atas Pengadilan yang Adil
Prinsip 9 : Hak untuk Mendapatkan Perlakuan
Manusiawi selama dalam Tahanan
Prinsip 10 : Hak atas Kebebasan dari Siksaan dan
Kekejaman, Perlakuan atau Hukuman
yang
tidak manusiawi atau merendahkan
Prinsip 11 : Hak atas Perlindungan dari Semua Bentuk
Eksploitasi, Penjualan dan
Perdagangan manusia
Prinsip 12 : Hak untuk Bekerja
Prinsip 13 : Hak atas Keamanan Sosial dan Atas
Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya
Prinsip 14 : Hak Untuk mendapatkan Standar Kehidupan
yang Layak
Prinsip 15 : Hak atas Perumahan yang layak
Prinsip 16 : Hak Atas Pendidikan
Prinsip 17 : Hak atas Pencapaian Tertinggi Standar
Pendidikan
Prinsip 18 : Perlindungan atas Kekerasan Medis
Prinsip 19 : Hak atas Kebebasan Berpendapat dan
Berekspresi
Prinsip 20 : Hak atas Kebebasan Berkumpul dengan
damai dan Berasosiasi
Prinsip 21 : Hak atas kebebasan Berpikir
Prinsip 22 : Hak atas Kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23 : Hak untuk mencari Perlindungan
Prinsip 24 : Hak untuk Menemukan Keluarga
Prinsip 25 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan
Publik
Prinsip 26 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan
Budaya
Prinsip 27 : Hak untuk Memajukan HAM
Prinsip 28 : Hak atas Pemulihan dan Ganti Rugi yang
Efektif
Prinsip 29 : Akuntabilitas
d)
Perkembangan upaya penegakan hak-hak LGBT :
- Jika ditinjau dari segi jumlah organisasi yang melakukan upaya penegakan hak-hak LGBT, terjadi peningkatan terutama sejak Reformasi. Pada awalnya organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT hanya Gaya Nusantara yang tersebar di cukup banyak wilayah di Indonesia. Seiring dengan era reformasi, organisasi sejenis mulai banyak muncul, misalnya Ardhanary Institute (bagian dari KPI), Perempuan Pelangi, Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley.
2. Dari segi kegiatan, perkembangan dapat dilihat dengan
semakin bervariasinya isu yang diangkat organisasi LGBT. Jika sebelumnya lebih
banyak mengangkat isu yang identik dengan komunitas LGBT, misalnya isu HIV/AIDS
atau kesehatan reproduksi LGBT, saat ini mulai beragam, misalnya isu-isu
perempuan yang lain, bahkan ada yang menggunakan media olahraga sebagai pintu
masuk penyadaran masyarakat tentang hak-hak LGBT. Untuk Ardhanary sendiri, jika
awalnya lebih banyak bergerak di bidang penelitian dan pendidikan isu
seksualitas, saat ini mulai melakukan pendampingan.
3. Upaya untuk menggandeng kalangan agama sudah mendapatkan
respon positif dari beberapa orang, misalnya Ibu Musdah Mulia. Ibu Musdah Mulia
sudah melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dapat menjadi
rujukan penetapan hukum terhadap komunitas LGBT. Ibu Musdah berpendapat
perkawinan antar pasangan lesbian maupun gay halal untuk dilakukan
(http://www.icrp-online.org/wmview.php). Namun demikian, dasar argumentasi Ibu
Musdah yang menganggap bahwa orientasi seksual
LGBT adalah terberi sehingga harus diperlakukan sama dengan manusia
dengan orientasi seksual yang lain berarti tidak mencakup LGBT yang merupakan
pilihan individu dan bukan karena faktor biologis. Selain itu Ibu Masruchah dari KPI juga
menjadi tempat untuk bertanya tentang tinjauan agama Islam terhadap LGBT.
Sebenarnya dukungan kalangan agama secara individual sudah cukup banyak, namun
belum menjadi sikap institusi agama secara resmi.
4. Dukungan juga
mulai diperoleh dari kalangan akademisi, misalnya dengan banyaknya kajian
tentang seksualitas dan LGBT dengan mengundang komunitas LGBT untuk ikut
berbicara dalam forum-forum ilmiah meskipun masih sebatas testimoni.
5. Pada Komnas HAM, komunitas LGBT telah melakukan sosialisasi
terhadap issue mereka meskipun sampai saat ini posisi Komnas HAM masih sebagai
support system dan belum dapat memasukkan isu LGBT dalam program kegiatannya.
e)
Hambatan terhadap penegakan hak-hak LGBT
Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai
contoh muncul di dalam FBI bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang
paling berat. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan komunitas LGBT
sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap
LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama
belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak
LGBT. Lebih jauh lagi, tafsir agama yang
tidak berpihak pada komunitas LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara
melalui aturan hukum seperti pada UU
Perkawinan yang tidak mengakui perkawinan
sejenis. Hal tersebut
menyebabkan advokasi kebijakan tidak
dapat dilakukan secara langsung oleh komunitas LGBT karena
menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak
strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap komunitas LGBT secara frontal.
f)
Temuan menarik
Ketidaksetaraan gender juga terjadi pada pasangan
lesbian sebagaimana ketidaksetaraan gender terjadi dalam pasangan
heteroseksual. Misalnya dalam relasi ada yang berperan sebagai butchy
(maskulin) dan berperan sebagai femme (feminin). Lesbian yang berperan sebagai
laki-laki cenderung mengadopsi stereotype dan peran gender yang melekat pada
laki-laki, misalnya dominan, menjadi pencari nafkah, sedangkan untuk femme
sebaliknya. Sehingga semakin renik dan semakin kompleks permasalahannya, dibutuhkan
kejelian dan kearifan dalam mengurai satu persatu dan menyelesaikannya secara
adil.
Menyikapi
Keberagaman Orientasi Seksual
Sudah sekitar 67 tahun Indonesia merdeka,
dengan segala dialektika khazanah sejarah perjalanan Indonesia, dari Demokrasi
terpimpin, demokrasi parlementer hingga demokrasi kerakyatan harusnya
menjadikan masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam menanggapi segala gejala
sosial hari ini yang rentan menimbulkan perselisihan. Termasuk dalam hal
penyikapan keragaman seksualitas, yang ternyata ketika ditelisik tidak
sesederhana yang kita anggap selama ini (berdasar data). Mengingat betapa rapi
dan tersistemnya komunitas LGBt yang mungkin tidak nampak dan tidak terdeteksi
oleh pemerintah, meminta kita untuk mulai peduli dengan kondisi mereka.
Berbekal nilai-nilai bijak yang ditelorkan dari induknya demokrasi sebagai
paham yang dilaksanakan di Indonesia, maka hal-hal yang berbau penyikapan
kekerasan, nir-keadilan dan mendiskriminasikan mereka perlu dan harus
dihindarkan. Dengan menjadi teman (tempat pengaduan) bagi mereka, sehingga kita
mampu mengetahui kondisi mereka dan mengambil tindakan yang tepat dalam
penyikapannya. Jika memang perilaku LGBT-nya tersebut memang given (terberi) maka tidak diperkenankan
untuk memaksanya beralih menjadi heteroseksual, karena hal tersebut termasuk
kategori kekerasan yang dialamatkan terhadap mereka. Sedangkan bagi mereka
(komunitas LGBT) yang memang perilaku dan orientasi seksualnya karena pengaruh
lingkungan (bukan given), dengan
melakukan pendampingan dan melakukan terapi perlahan-lahan untuk
mengarahkkannya beralih ke heretoseksual dengan metode pembiasaan. Saya
meyakini langkah tersebut tidaklah mudah, namun jika mau mencoba untuk
melakukannya, walau sejengkal langkal, saya pikir mampu menjadi sedikit
jembatan dalam menyelesaikan masalah ini.
Bagi kaum terdidik, tidak diperkenankan asal
men-justify komunitas LGBT sebagai ‘cacat’
atau stereotype abnormal. Duduk bersama dan mencari solusi bersama mereka
mungkin sabagai awal terbukannya tangan kita untuk mereka, sebagai bentuk
kepedulian kita pada komunitas LGBT yang sampai hari ini masih dianggap sebagai
komunitas abnormal dan subsistem dalam kesehariannya. Berbekal segala teori dan
wacana, diharap mampu menjadi kacamata bijak untuk sumbangsih penimbang nilai
pengambilan sikap terbaik bagi mereka. Jangan sampai tidak ada beda bagi mereka
yang tercerahkan lewat pendidikan dengan mereka yang belum memperoleh
kesempatan tercerahkan, premanisme dan asal menghakimi bahkan acuh terhadap
komunitas LGBT. Seyogyanya adanya kelas menengah dan kaum terdidik mampu
menjadi media pendidikan (sosialisasi, penyadaran) terhadap wacana LGBT dan
penyikapannya bagi mereka masyyarakat awam.
Jika Agama menjadi batu sandungan utama bagi
mereka, maka hal tersebut menjadi tugas kita juga untuk mengkoreksi
tafsir-tafsir teks kita terhadap penglihatan dan penyikapan masalah perilaku
dan orientasi seksual ini. Tidak dibenarkan menjadi sesosok yang kukuh pendapat
tanpa mau menelaah kembali pendapat yang disepakatinya. Tuhan mencintai
makhluknya dengan memberikan pilihan-pilihan dan kebebasan untuk menentukannya,
sehingga tuga kita adalah memperjuangkan kebebasan bukan sekedar untuk diri
sendiri, dan melawan penjajah-kekuasaan yang mencuri pilihan-pilihan dari kita
sebagai manusia (penguasaan tafsir agama yang diskriminasi) (Irshad Manji,
Allah Liberty and Love). Seperti gaung perjuangan yang dilakukan oleh
feminisme, termasuk feminisme muslim yang mencoba membongkar tafsi-tafsir ayat
yang patriarkhi yang memang ketika ditelisik asbabun dan historisnya tafsir
tersebut berbeda dari awal diturunkannya ayat tersebut yang disalahartikan bagi
mereka yang berpaham patriarkhi, sehingga terkesan bahwa agama sebagai penjara
paling kejam bagi perempuan. Hal serupa juga perlu dilakukan dalam mengurai
masalah LGBT sebagai formulasi solusi praksis yang sarat value dan adil bagi semua pihak. Semoga kita mampu menjadi agen
kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak yang punya landasan pijakan agama dan
ke-Indonesiaan.
*Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Surabaya
Komentar
Posting Komentar