Langsung ke konten utama

Keragaman seksual (sexual Diversity) : Antara Nilai, legalitas dan Praksisnya


Penyikapan Keragaman Seksualitas (Sexuality Diversity) :
Antara Nilai, Legalitas dan Praksisnya
Arin Setiyowati*

Keragaman
Keragaman dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perihal beragam-ragam, berjenis-jenis; perihal ragam; perihal jenis. Berbicara keragaman sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep ‘kemajemukan atau pluralisme”, dimana jikalau kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri merupakan suatu “kondisi masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem sosial dan politik)”. Secara terminologis, ”plural” adalah bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan secara etimologis, pluralisme memiliki banyak arti, tetapi pada dasarnya memiliki satu benang merah esensi kesemuanya. Salah satunya bahwa pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu komunitas, suku, warna kulit, dan agama saja. Jadi, menurut pengertian ini, pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Keragaman maupun pluralisme adalah sunnatullah yang tidak bisa kita elakkan. Contoh sederhana, dalam satu ruang kelas kuliah Ekonomi Islam, dari asal tempat tinggal maupun SMA individu-individu yang sudah beragam, belum lagi randomnya kepribadian, warna kulit, tipe rambut, merk bulpoin yang dipakai dan sebagainya.
Sehingga dalam sebuah masyarakat, fenomena keragaman adalah kenyataan. Keragaman ini dapat mewujud dalam wilayah gender, keyakinan politik, keyakinan adat, agama dan sejenisnya. Nilai-nilai demokrasi menganggap bahwa keragaman adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri yang tidak mungkin dihapuskan. Hal itu karena berkaitan dengan keberadaan manusia itu sendiri yang memang berbeda dari sisi bahasa, suku, agama, kepercayaan, keyakinan, latarbelakang, gender, sejarah dan adat. Dalam demokrasi, keragaman diakui sebagai kenyataan dan sunnatullah. Nilai keragaman ini dengan sendirinya menjadi kekayaan masyarakat. Hal ini bukan karena substansi manusia memang beragam dan memiliki perbedaan, tetapi secara praksis keragaman itu sendiri tidak dapat dihapuskan. Keragaman adalah kekayaan masyarakat.
Namun, dalam kesempatan ini, penulis akan menspesifikasikan pola keragaman dalam hal seksualitas. Terkadang kita menganggapnya hal remeh temeh, namun ketika kita mau menelisik dan saling terbuka satu sama lain maka akan sangat ngeri fenomena seksualitas hari ini. Seperti sudah menjadi rahasia umum, telah diciptakannya laki-laki sebagai pasangan perempuan. Layaknya adanya malam yang merupakan pasangan siang, hujan dengan panas, laut dan daratan dan sebagainya. Namun seiring berkembangnya pola peradaban manusia, semakin renik tipologi manusia dari segi seksualitasnya selain laki-laki dan perempuan tadi. Yakni dengan munculnya ragam polah individu maupun komunitas lesbian, gay, Biseksual dan trangender (LGBT). Mereka lahir di tengah masyarakat yang semakin kompleks pola hidup, konektifitas maupun aktifitasnya.

Beda Sex dan Gender
Diskursus terkait Sex dan Gender memang tema lawas namun tidak lekang oleh waktu bahkan seiring perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta pola hidup manusia menjadikan tema tersebut lentur mengikuti alur perkembangan peradaban. Kedua term tersebut sekilas nampak sama, namun sejatinya berbeda. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265).
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4). Secara gamblangnya dikemukakan oleh Mansour Fakih, menurutnya, konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (DR. Mansour Fakih, 2010 : 8). Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Pun dalam realitanya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut dan bahkan keibuan, begitu sebaliknya ada perempuuan yang kuat, rasional dan perkasa. Hematnya ciri dari pembedaan gender dapat dipertukarkan sedangkan sex paten, sehingga tidak bisa dipertukarkan.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional, berlangsung secara mapan dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender seperti peremmpuan itu lemah lembut sedangkan laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Namun dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.
Namun keduanya (sex dan gender) memang tidak dapat dipisahkan, dengan adanya perbedaan sex itulah yang menyebabkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, misal perempuan dianugrahi punya rahim sehingga bertugas melahirkan, menyusui masih pada level kodrat. Namun ketika pembagian peran seperti menyuci, mengepel, memasak, mengrus rumah, menyetrika maupun segala pekerjaan domestik dianggap sebagai ‘kodrat wanita’. Padahal kenyataannya rentetan pekerjaan itu dapat digantikan dikerjakan oleh laki-laki, sehingga dapat dipertukarkan. Karena campurtangan masyarakat yang dilegalkan dengan tafsir agama yang berpaham patriarkhi, budaya setempat pun menyebabkan perbedaan gender seolah menjadi kodrat sosial yang tidak bisa diubah maupun dipertukarkan. Sehingga diperlukan kejelian dan kearifan dalam memisahkan dua ‘sejoli sosial’ tersebut.
Mengapa pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender terkesan susah dan sering menghadapi perlawanan (resistance) baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sendiri? Pertama, karena mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya berarti menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. Kedua, banyak terjadi kesalahpahaman tentang mengapa masalah kaum perempuan harus dipertanyakan? Kesulitan lain, dengan mendiskusikan soal gender pada dasarnya berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing-masing serta menggugat previlege yang kita miliki dan sedang kita miliki selama ini. Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan, atau hubungan kemanusiaan kita. Sehingga, menurut DR Mansour Fakih, perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, dalam praktiknya, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni Marginalisasi atau proses pemisahan ekonomi, subordinasi atau anggaan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Dan beberapa menifestasi ketidakadilan gender tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, melainkan saling berhubungan, berkesinambungan dan saling mempengaruhi secara dialektis.
Menyoal LGBT (lesbian, gay, Biseksual dan transgender) tak dapat dilepaskan dari  pembahasan tentang seksualitas karena hal tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kalangan LBGT. Seksualitas yang dimaksud disini memiliki makna yang luas yaitu  sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual dan identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan. Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual (Definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).  Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu antara komunitas yang mendasarkan pemikiran tentang seksualitas pada aliran esensialism, dan komunitas yang lain pada social constructionism.
Komunitas esensialism meyakini  bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat given (terberi) dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Komunitas ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminin; laki-laki- maskulin) menyebabkan komunitas yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social constructionism, bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya heteroseksual namun juga homoseksual dan  biseksual. Perbedaan dua sudut pandang tentang seksualitas tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

Esensialisme
Social Constructionism
Seks
Laki-laki dan perempuan
Laki-laki, perempuan, interseks, transgender
Gender
Feminin, maskulin
Feminin, maskulin, androgynous, undifferentiated
Orientasi Seksual
Heteroseksual
Heteroseksual, homoseksual, biseksual
            Pandangan umum yang diterima di Indonesia adalah pandangan pertama, yang meyakini bahwa seksualitas bersifat terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut mendapatkan legitimasi dari ajaran agama maupun budaya sehingga komunitas orang yang seksualitasnya tidak sejalan dengan konsep tersebut (komunitas LGBT) dianggap sebagai abnormal, mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.
Lesbian dan Homoseksual (Gay)
Lesbianisme sendiri berasal dari kata Lesbos. Lesbos adalah sebutan bagi sebuah pulau di tengah Lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan, kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus mencintai teman seorang pria.
Di Negara kita Indonesia, Lesbianisme berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Awal kemunculannya, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Secara terang-terangan, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat ini menjadi gaya hidup? Bukankah lesbian merupakan abnormalitas atau penyimpangan seksual?
Berdasar hasil penelitian, Psikolog John Buss memperkirakan bahwa 2% dari wanita adalah seorang lesbian (Buss, 2004). Dalam perkembangan terakhir, survei terbaru dari gadis remaja dan wanita muda menemukan bahwa sekitar hampir 15% perempuan muda saat ini mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian, dibandingkan dengan sekitar 5% laki-laki muda yang mengidentifikasi sebagai gay (Ritch Savin-Williams and Geoffrey L. Ream, 2007). Para peneliti di Cornell University, mengumpulkan sampel yang representatif dari wanita muda yang mencakup lebih dari 20.000 orang di 80 komunitas di seluruh Amerika Serikat, menemukan bahwa 85,1% wanita muda diidentifikasi sebagai heteroseksual; 0,5% melaporkan tidak ada identitas seksual; dan 14,4% sisanya adalah lesbian atau biseksual. Di antara pria muda, 94,0% mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual, 0,4% pria melaporkan tidak ada identitas seksual; dan 5,6% sisanya diidentifikasi sebagai gay atau biseksual.
Lain halnya proporsi di Indonesia bisa jadi lebih sedikit atau malah lebih tinggi, karena tentu budaya (kebiasaan, lingkungan, agama, dll) sangat mempengaruhi penelitian yang melibatkan orientasi seksual. Seperti yang terlihat di Eropa, misalnya, di Norwegia, lebih dari 20% anak perempuan dan wanita muda diidentifikasi sebagai lesbian (L. Wichstrøm and K. Hegna, 2003)
Psikologi adalah salah satu disiplin pertama yang melakukan studi homoseksualitas sebagai sebuah fenomena. Sebelum dan selama sebagian besar abad ke-20, psikologi melihat homoseksualitas sebagai model perilaku yang patologis. Sebelum tahun 1970an, banyak penelitian psikologi menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan perilaku yang abnormal. Sebagian besar subyek penelitian adalah laki-laki gay dan lesbian; subyek penelitian mayoritas diambil dari penjara, rumah sakit jiwa dan konsultasi psikolog. Penelitian ini banyak dikritik karena sampel yang diambil adalah subyek yang ‘tertekan’, orang-orang miskin, gaya hidup minoritas, dsb, bukan mewakili sebuah populasi.
Diawali dengan protes para aktivis gay yang dibantu oleh banyak psikiatris menyelenggarakan konvensi di San Francisco yang membahas hak-hak kaum gay. Pada pertengahan 1970an, telah terjadi pergeseran penting dalam psikologi tentang homoseksual, yang beranggapan bahwa homoseksual dan lesbian berada dalam kisaran ‘normal’ perilaku manusia. Puncaknya adalah homoseksual dibuang dari American Psychiatric Association’s (APA) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), atau yang lebih dikenal dengan DSM-III.
Data dari peneliti seperti Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker, dan setelah pemungutan suara oleh para komite APA pada tahun 1973, yang dikonfirmasi oleh keanggotaan APA tahun 1974, menyimpulkan bahwa homoseksual bukan lagi termasuk gangguan mental, melainkan “gangguan orientasi seksual (sexual orientation disturbance) (Spitzer R.L., 1981).”
Pada tahun 1975, American Psychological Association (APA) merilis kebijakan resmi bahwa homoseksualitas bukan merupakan gangguan mental (mental disorders), dan mendesak profesional kesehatan mental untuk mengambil langkah untuk menghilangkan stigma ‘penyakit jiwa’ yang telah lama dikaitkan dengan seorang gay dan lesbian.
Anggapan umum bahwa dari fisik jika perempuan tomboy kebanyakan adalah seorang lesbian, Walaupun tidak sepenuhnya benar. Lebih dari 16% perempuan heteroseksual juga melaporkan tomboy menjadi sebagai anak perempuan. Hanya 3-4% dari laki-laki heteroseksual melaporkan ‘menjadi’ banci ketika muda. Mendefinisikan baik aktivitas seksual maupun identitas sosial seorang lesbian sampai saat ini memang terus diperdebatkan. Menurut penulis feminis, Naomi McCormick (1994), indikator orientasi seksual seorang lesbian adalah pengalaman seks dengan wanita lain. Namun, McCormick menyatakan menolak seks bebas antar wanita, dimana lebih mengedepankan hubungan emosional, dukungan, sensitivitas, dan kedekatan idealis antar perempuan adalah sebagai bagian terpenting daripada hubungan seksual. Pandangan para lesbian feminis (Anti-Pornography Feminism) ini sebetulnya pernah ditentang sebelumnya oleh lesbian yang lebih berorientasi seksual (‘Pro-Sex’ Feminism) pada 1980an, yang terkenal dengan “Sex Wars” (Duggan, Lisa and Nan D. Hunter. 2006).
Apa yang menyebabkan perempuan memilih lesbian? Tidak persis diketahui apa yang menyebabkan seseorang menjadi gay dan lesbian, tetapi penelitian menunjukkan bahwa hal ini didasarkan pada faktor biologis individu. Orientasi seksual biasanya terlihat mulai pubertas. Meskipun orientasi seksual mulai berkembang sebelum kelahiran, cenderung berubah selama hidup seseorang. Namun ada pula yang menganggap faktor lingkungan yang lebih dominan.
Pada tahun 1982 gay pertama hak komunitas kepentingan didirikan di Indonesia. The "Lambda Indonesia" dan organisasi serupa lainnya muncul di akhir 1980-an dan 1990-an [9] Hari ini,. Beberapa asosiasi LGBT utama dalam bangsa termasuk "Gaya Nusantara" dan "Arus Pelangi".
Gerakan gay dan lesbian di Indonesia merupakan salah satu yang tertua dan terbesar di Asia Tenggara. Lambda Indonesia termasuk kegiatan mengorganisir pertemuan sosial, kesadaran penggalangan dan menciptakan newsletter, tetapi komunitas dibubarkan pada 1990-an. Gaya Nusantara adalah sebuah komunitas hak asasi gay yang berfokus pada isu-isu homoseksual seperti AIDS. Komunitas lain adalah Yayasan Srikandi Sejati, yang didirikan pada tahun 1998. Fokus utama mereka adalah masalah kesehatan yang berkaitan dengan orang-orang transgender dan pekerjaan mereka termasuk menyediakan HIV / AIDS konseling dan kondom gratis kepada pekerja seks transgender di sebuah klinik kesehatan gratis. Sekarang ada lebih dari tiga puluh LGBT komunitas di Indonesia.
Pada masa awal perkembangan lesbian atau gay, untuk mengetahui orang tersebut lesbian atau gay digunakan alat ukur yang disebut Kinsey Scale. Alfred Kinsey (ahli psikologi yang turut memperjuangkan hak-hak gay) mengembangkan Kinsey Scale sebagai cara untuk menggambarkan orientasi seksual seseorang. Kinsey menemukan bahwa banyak orang tidak secara eksklusif gay atau lesbian, tetapi orientasi seksual mereka dapat di antara keduanya. Kategori-kategori Skala Kinsey antara lain :
O : exclusively heterosexual
1 : predominantly heterosexual, infrequently homosexual
2 : predominantly heterosexual, but more than infrequently homosexual
3 : equally heterosexual and homosexual (bisexual)
4 : predominantly homosexual, but more than infrequently heterosexual
5 : predominantly homosexual, infrequently heterosexual
6 : exclusively homosexual
Namun, dewasa ini banyak peneliti menganggap Skala Kinsey terlalu sederhana. Mereka berpendapat bahwa orientasi seksual setiap orang mungkin lebih kompleks dari label dasar yang diberikan Kinsey. Setiap orang berbeda dan orientasi seksual setiap orang adalah unik. Orang dapat memilih untuk label orientasi seksual mereka yang mereka inginkan (menjadi gay, lesbi atau biseksual) dan banyak orang memilih tidak untuk label sama sekali (AntiSeks). Seperti kebanyakan orang di budaya barat, yang diajarkan bahwa heteroseksualitas adalah kualitas bawaan dalam semua orang. Ketika seorang wanita menyadari daya tarik seksual dan romantis wanita lain, lantas mengadopsi identitas lesbian, menantang apa yang masyarakat tawarkan dalam stereotip tentang heteroseksual. Sehingga ketika akan memutuskan apakah lesbian atau gay menjadi suatu abnormalitas atau gaya hidup baru menjadi pertanyaan di diri kita masing-masing. Apalgi melihat sosio-culture Indonesia dengan segala reniknya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan terutama tentang orientasi dan perilaku seksual.
Beberapa latar belakang mengapa seseorang mempunyai orientasi seks pada sejenis, diantaranya: (Zastrow, 2004,487-489)
1)    Teori Biologi
Teori ini menerangkan bahwa seseorang mempunyai orientasi seks pada sejenis karena mereka mempunyai beberapa penyebab, diantaranya bisa dilihat dari genetika, anatomi (terutama bagian otak) serta hormonal.
Penyebab dari gentika melihat bahwa homoseksualitas telah diprogram melaui gen-gen. Lain halnya dengan anatomi, faktor ini melihat bahwa ukuran otak orang yang mempunyai orientasi seks pada sejenis lebih kecil dari orang yang mempunyai orientasi seks pada lawan jenis. Namun teori ini telah dibantah karena argumennya didukung oleh bukti yang tidak kuat untuk mendukung teori ini. Selain itu penyebab dilihat dari sisi hormonal melihat bahwa homoseksualitas terjadi karena tingkat perkembangan hormon tidak seimbang terutama yang terjadi pada masa remaja dan juga ada yang berpendapat perkembangan hormon yang abnormal pada masa anak dalam kandungan.
2)    Teori Psikososial
Teori ini menerangkan bahwa homoseksualitas dapat muncul karena manusia mempunyai hubungan dengan lingkungan sekitarnya sehingga ada proses saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Teori ini menerangkan bahwa setiap manusia selalu belajar dan melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Manusia dalam kehidupan selalu dihadapkan pada stimulus dan respon, dan ketika hal in berlangsung terus menerus individu mengalami penguatan (reinforcement) dan kepribadian seseorang terbentuk.
Penjelasan di atas dapat di lihat bahwa homoseksualitas dapat disebabkan oleh 2 hal yaitu dari biologis dan psikososial. Kebebasan memang tidak boleh melihat berdasarkan 2 penyebab ini, karena menurut deklarasi HAM semua orang mempunyai kedudukan yang sama, mereka dapat menentukan sendiri baik dalam memilih agama, pekerjaan, pendidikan bahkan dalam memilih orientasi seksnya.
Jika dilihat dari teori biologis seseorang pasti menjadi homoseks bukan kemauannya, atau dalam dunia kedokteran disebut sebagai patologi. Jika hal ini terjadi maka tidak boleh terjadi diskriminasi pada mereka. Karena mereka menjadi homoseks bukan atas keinginan mereka dan mereka menerima ”penyimpangan” ini apa adanya tanpa bisa melakukan perlawanan. Demikian halnya orang-orang yang mempunyai orientasi seks pada sejenis dikarenakan psikososial, mereka juga tidak boleh di diskriminasi karena mereka mengalami sosialisasi nilai yang berbeda, mereka mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Biseksual
Biseksualitas adalah orientasi seks yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Biseksualitas umumnya dikontraskan dengan homoseksualitas, heteroseksualitas, dan aseksualitas. Dalam KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia) adalah mempunyai sifat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan); atau tertarik kpd kedua jenis kelamin (baik kpd laki-laki maupun kpd perempuan). Jadi Biseksualitas ini mempunyai orientasi dan perilaku seksual rangkap, baik homoseksual maupun heteroseksual.
Di dalam skala 0-6 orientasi seksual yang dibuat oleh Alfred C. Kinsey, biseksual umumnya berada di skala 1-5 secara stabil. Artinya, biseksual tidak memiliki ketertarikan secara eksklusif kepada salah satu jenis kelamin saja.
Komunitas biseksual sangat beragam, setidaknya ada 13 jenis tipe biseksual. Beberapa orang yang biseksual berkomitmen dengan monogami tapi banyak juga yang sering berganti pasangan. Faktor penyebab terbesar untuk perilaku biseksual adalah lingkungan.
Untuk mengetahui apakah seseorang punya perilaku biseksual atau tidak, ada 4 tanda berikut seperti dikutip Health24, Jumat (2/10/2009).
1.      Bingung terhadap orientasi seksual
2.      Mencoba mencari tahu tentang perilaku biseksual yang menyimpang
3.      Menyadari perilaku seks diri sendiri yang menyimpang namun tetap mempertahankan perilaku tersebut
4.      Melakukan perubahan pada alat kelaminnya
Adapun ciri-ciri Biseksual :
Secara forensik (uji biologis) para pakar menyebutkan kalau dubur yang corong ke dalam adalah ciri penderita biseksual, karena secara logis dubur digunakan untuk berhubungan seksual. Dan bentuk corong tersebut tidaklah nampak jika hanya sekali atau dua kali melakukan hubungan, melainkan butuh waktu bertahun-tahun.
Perilaku biseksual bisa disebabkan karena gangguan kromosom, gangguan perkembangan masa kecil dan pengaruh lingkungan. Sementara penyakit bawaan atau kecelakaan tidak bisa menyebabkan bentuk dubur seperti itu.
Hingga kini belum ada obat yang bisa menyembuhkan penderita biseksual. Penderita biseksual akibat gangguan kromosom nggak bisa diobati, tapi kalau perilakunya itu karena pengaruh lingkungan mungkin masih bisa diobati dengan terapi, menurut pakar andrologi dan seksolog, Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS .  Serta perilaku biseksual bisa menimpa siapa saja, bahkan orang macho sekalipun. Seleksi lingkungan menjadi kunci aman kita.
Transgender
Transgender sebagai salah satu bentuk penyimpanyan seksual yang dipahami oleh khalayak umum, dengan kualifikasi jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas kelamin yang sedikit berbeda dari umumnya. Dalam bahasa kesehariannya, masyarakat menyebutnya ‘banci’ yakni setengah laki-laki dan setegah perempuan. Sedangkan definisi banci dalam Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan; atau laki-laki yg bertingkah laku dan berpakaian sbg perempuan; wadam; waria.
Secara eksklusif, mengupas tentang transgender ini terlalu renik, karena segala ragam kompleksitas seksual baik lesbian maupun homoseksual sebagian bermuaranya pada transgender. Transgender dipilih oleh sebagian mereka dengan alasan, ada laki-laki dengan penis mengecil atau sebaliknya klitoris yang membesar pada perempuan, belum lagi faktor lingkungan sekitar yang menstimulus dengan polah yang seharusnya tidak diperankannya.
Identitas gender ini menjadi keblunderan masyarakat dan pemerintah dalam penetapan statusnya dalam kependudukan negara. Dan beberapa bentuk toleransi masyarakat diberikan kepada beberapa orang transgender yang bekerja di salon kecantikan atau dalam industri hiburan, terutama bicara selebriti Dorce Gamalama. Namun, hukum tidak melindungi orang-orang transgender dari diskriminasi atau pelecehan dan juga tidak menyediakan untuk operasi ganti kelamin atau membiarkan orang transgender untuk mendapatkan dokumen hukum baru setelah mereka telah membuat transisi.
Diskriminasi, pelecehan, bahkan kekerasan tidak jarang diarahkan pada orang-orang transgender. Orang transgender yang tidak menyembunyikan identitas gender mereka sering merasa sulit untuk mempertahankan lapangan kerja yang sah dan dengan demikian sering dipaksa menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) dan kegiatan ilegal lainnya untuk bertahan hidup. Di sekitar kita, tidak jarang mereka yang memilih transgender hanya menjadi pengais recehan di sepanjang jalan dengan gaya kebanci-bancian mereka.
Status hukum
Dalam aturan hukum Indonesia khususnya hukum pidana nasional tidak melarang swasta, non-komersial hubungan homoseksual antara orang dewasa. Sebuah RUU nasional untuk mengkriminalkan homoseksualitas, bersama dengan kohabitasi, perzinahan dan praktek sihir, gagal diundangkan pada tahun 2003 dan tidak ada tanggapan berikutnya, sehingga isu ini  gencar diperkenalkan kembali.
Pada tahun 2002, Pemerintah Indonesia memberi hak provinsi DI Aceh untuk memperkenalkan syariah Islam, meskipun hanya untuk warga Muslim. Misalnya, kota Palembang penjara dan denda diperkenalkan, untuk seks homoseksual. Di bawah homoseksualitas hukum didefinisikan sebagai tindakan 'prostitusi yang melanggar norma kesusilaan umum, agama, dan norma-norma hukum yang berlaku pada aturan sosial'. Tindakan berikut ini didefinisikan sebagai tindakan seks homoseksual prostitusi, lesbian, sodomi, pelecehan seksual, dan tindakan pornografi lainnya. Lima puluh dua daerah sejak diberlakukan hukum syariah dari Quran yang mengkriminalkan homoseksualitas.
Di kota-kota besar, baik lesbian, gay, biseksual, transgender, dan transeksual secara hukum diberi label sebagai "Cacat" (cacat mental) dan karenanya tidak dilindungi oleh hukum. Meskipun Indonesia telah memungkinkan hubungan seksual swasta dan konsensual antara orang-orang dari jenis kelamin yang sama sejak 1993, ia memiliki usia yang lebih tinggi persetujuan untuk hubungan seks yang sama daripada hubungan heteroseksual (17 untuk heteroseksual dan homoseksual untuk 18).
Konstitusi Nasional tidak secara eksplisit membahas orientasi seksual atau identitas gender. Itu tidak menjamin semua warga negara hak hukum berbagi, termasuk kesetaraan di depan hukum, kesempatan yang sama, perlakuan yang manusiawi di tempat kerja, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, berkumpul secara damai, dan asosiasi. Hak-hak hukum seperti semua tegas dibatasi oleh undang-undang yang dirancang untuk melindungi ketertiban umum dan moralitas agama.
Islam Indonesia Majelis Ulama memutuskan bahwa orang-orang transgender harus hidup dalam gender yang mereka lahir. Dan Hukum tidak mengakui pernikahan gay, serikat sipil atau manfaat kemitraan domestik. Adopsi dan keluarga berencana (LGBT parenting) Pasangan sesama jenis tidak memenuhi syarat untuk mengadopsi anak di Indonesia. Hanya pasangan menikah yang terdiri dari suami dan istri dapat mengadopsi.
Perlindungan hak-hak sipil Seperti tahun 2007, tidak ada hukum ada untuk melindungi warga negara Indonesia dari diskriminasi atau pelecehan atas dasar orientasi seksual atau identitas gender mereka. LGBT di media Hukum Terhadap Pornografi dan pornoaksi (2006) melarang "... setiap tulisan atau audio-visual presentasi - termasuk lagu, puisi, film, lukisan, dan foto-foto yang menunjukkan atau menyarankan hubungan seksual antara orang-orang dari jenis kelamin yang sama."Mereka yang pelanggaran hukum bisa didenda atau dihukum penjara selama tujuh tahun. Namun, media sekarang memberikan homoseksualitas cakupan yang lebih media di Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia. Sehingga dengan jumlah yang hampir menempati dan mendominasi di setiap sudut Indonesia, menjadi kewajaran jika budaya, sistem maupun esensi hukum dan aturan-aturan lainnya menyerap dari agama mayoritas tersebut. Belum lagi jika Kedua kubu tradisionalis dan modernis Muslim yang umumnya menentang homoseksualitas. Banyak komunitas-komunitas fundamentalis Islam seperti FPI (Front Pendukung Islam) dan FBR (Forum Betawi Council) secara terbuka memusuhi orang LGBT dengan menyerang rumah atau pekerjaan yang mereka yakini merupakan ancaman bagi nilai-nilai Islam.
Sehingga dari segi status hukum, maka komunitas atau komunitas LGBT tersebut masih sangat terancam, ditambah lagi dengan sikap arogan dan minimnya sosialisai maupun pendidikan untuk masyarakat awam terkait pluralittas seksual, serta sikap kedewasaan masyarakat yang sering terlambat datang dalam menyelesaikan masalah ragam seksualitas di sekitarnya.
Diskriminasi jelas dan homophobia kekerasan dilakukan terutama oleh ekstrimis agama, sementara diskriminasi halus dan marjinalisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara teman-teman, keluarga, di tempat kerja atau sekolah. LGBT orang sering mengalami pelecehan oleh tangan polisi tapi sulit untuk mendokumentasikan karena korban menolak untuk memberikan pernyataan karena seksualitas mereka (LGBT), sering ditangkap atau dibebankan karena orientasi seksual mereka. Juga gay di penjara mengalami pelecehan seksual karena orientasi seksual mereka, dan sering tidak melaporkannya karena sedang trauma dan takut dikirim kembali ke penjara untuk menderita pelecehan lebih lanjut.
Namun, di satu sisi, Indonesia memang memiliki reputasi sebagai negara muslim yang relatif moderat dan toleran, yang memiliki beberapa aplikasi untuk orang LGBT. Ada beberapa orang LGBT di media dan pemerintah nasional telah memungkinkan komunitas LGBT diskrit untuk eksis, bahkan mengatur acara-acara publik. Namun, adat istiadat konservatif sosial Islam cenderung mendominasi dalam masyarakat yang lebih luas. Homoseksualitas dan cross-dressing tetap tabu dan berkala LGBT orang menjadi sasaran hukum agama lokal atau komunitas main hakim sendiri fanatik.
Keragaman merupakan fenomena sosial. Dan keragaman seakan menjadi karya besar Tuhan untuk menguji umat manusia mana diantara mereka yang mampu memanfaatkan karunia Tuhan dan mana diantara mereka yang mampu memenangkan perlombaan meraih kebaikan. Agaknya Tuhan dengan kasih sayang dan ke-Maha Bijaksanaan-Nya tidak menginginkan hamba-Nya berada dalam komonitas keberagamaan yang tunggal. Termasuk salah satunya keberagaman seksual yang berekses pada masalah gender dan terlebih orientasi seksualnya seperti penjelasan di atas.
Sebagai warga negara yang menganut paham demokrasi dengan keBhinekaannya, maka perlu solusi sikap dewasa dalam menghadapi fenomena seksualitas tersebut supaya tidak ada pihak yang dirugikan dan tentu saja sikap yang disesuaikan dengan norma yang berlaku di Indonesia. Barangkali dengan beberapa perspektif di bawah mampu dirumuskan solusi yang terbaik.
Ragam Perspektif Nilai-nilai dari Payung Demokrasi
Menyoal terkait LGBT ini tidak cukup hanya satu sisi dalam menyelesaikannya, melainkan butuh kacamata lebih dari satu supaya bisa ditemukan solusi yang adil untuk semua pihaknya.
Perspektif Kebebasan
Dalam masyarakat yang penuh keragaman dalam berbagai aspek, tentu masing-masing memiliki kepentingan, membutuhkan ekspresi, berkumpul, berkelompuk, berpendapat, berkepercayaan dan termasuk dalam hal sensasi seksual. Dalam kebudayaan kita, bebas ini kadang dikonotasikan kurang tepat, diasosiasikan dengan cara hidup yang terlalu bebas, seks bebas, dan segala hal yang buruk-buruk. Ringkasnya diidentikkan dengan liar. Jadi kebebasan disamakan dengan keliaran. Free/ bebas itu bermakna positif. Kebebasan mengandaikan makhluk secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itu kebebasan, jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengaturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunakan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu untuk memilih bagi dirinya sendiri.
Kadang memang ada kekhawatiran bahwa kalau orang dibiarkan bebas memilih, misalnya dalam konteks sebagai warga negara, maka orang akan memilih ke arah yang buruk. Tindakan memilih terkadang memang bisa keliru. Tetapi itu bagian dari proses pembelajaran untuk menjadi dewasa, untuk menjadi otonom. Seorang pemikir Jerman, Immanuel Kant, pernah menulis risalah tentang kebebasan dan emansipasi manusia. Kita, kata filosof abad ke-19 itu, harus percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh. Dalam proses itulah berlangsung proses pembelajaran.
Raymond aron (1993:94 dan seterusnya) mendefinisikan kebebasan dalam soal politik, misalnya adalah kebebasan formal yang menjamin hak warga negara untuk berperan serta dalam hal yang menyangkut kepentingan umum, kebebasan formal yang memberinya perasaan bahwa ia ikut menentukan nasib masyarakatnya melalui wakil yang dipilihnya, dan akhirnya memalui pandangan dan pikiran yang diungkapkannya. Dengan kata lain, nilai-nilai kebebasan disini memiliki dua arti : pertama, bebas untuk mengambil prakarsa, bersikap, berpendapat dalam pengertian positif. Dalam hal ini, semua orang dan warga negara berhak memiliki bagian yang sama dalam proses penentuan kebijakan negara, termasuk mengkritik, memberi masukan, dan lain-lain. Nilai-nilai demokrasi memberikan dan mengakui pentingnya kebebasan berserikat, berkumpul, beragama, berkepercayaan, dan berkeyakinan politik tertentu, tanpa pemaksaan, ketakutan, dan bebas dari ancaman dalam bentuk apapun.
Meski begitu, kedua, kebebasan juga berarti terbalik, yaitu bebas dari berbagai ancaman, penindasan, kekerasan, dan bebas dari adanya pemaksaan. Di sini, adanya kebebasan juga berarti adanya tindakan seseorang atau warga negara yang tidak tunduk ppada kehenda orang lain yang memiliki kekuasaan, melainkan berdasarkan kesadaran sendiri. Sementara esensi paksaan adalah ancaman menimpakan hukuman, kekerasan, dan teror apabila orang lain tidak tunduk pada kehendaknya. Harus dipahami pula bahwa kebebasan yang berarti prakarsa disini, tidak bermakna bebas untuk memukul orang, karena orang yang dipukul memiliki hak untuk bebas dari kekerasan dan dan ancaman orang lain. Konteks yang sama dapat diambilkan contoh dari banyak variasi yang lain. Dalam sektor ekonomi, kebebasan orang untuk mengakumulasi modal dan menguasai ekonomi hingga ekonomi bersifat oligarkis dibatasi oleh hak-hak orang lain untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan distributif. Dengan kata lain, negara atau otoritas yang diberi mandat dalam sebuah negara dapat saja membatasi kebebasan, sejauh bukan untuk membunuh kebebasan itu. Pembatasan dimaksudkan untuk menjamin adanya hak-hak masyarakat seperti keadilan dan kesetaraan. Pembatasan, dengan demikian adalah dilakukan terhadap komunitas atau orang tertentu yang menggunakan kebebasannya tanpa batas.
Nilai Non Kekerasan
Dalam kehidupan negara terdapat banyak orang dan komunitas yang masing-masing memiliki kepentingan. Ada orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda dalam banyak hal. Ada juga komunitas yang berbeda dalam soal politik, ekonomi, budaya dan agama termasuk dalam hal orientasi seksual. Komunitas dan berbagai jenis orang ini mememiliki kepentingan agar dapat diakomodir. Adakalanya dalam mendesakkan kepentingan ini, menurut Lewis Coser (1956 : 8), dapat terjadi kesepakatan antar komunitas. Akan tetapi adakalanya juga terjadi pertentangan dan konflik sosial. Termasuk perbedaan orientasi seksual, yang tidak sepatutnya kita menjauhi bahkan mengalienasi mereka dari networking social. Ketika terjadi perselisihan maupun perbedaan, nilai-nilai demokrasi mengajarkan bahwa penyelesaiannya dilakukan dengan nilai-nilai non-kekerasan. Untuk mengemukakan kepentingan setiap komunitas dapat dilakukan dengan cara pemilu dan referendum secara administratif. Akan tetapi, dapat juga dengan mekanisme musyawarah, pengakuan terhadap suara mayoritas, atau bahkan mendengarkan suara minoritas, tergantung bagaimana kedewasaan masyarakat untuk menyelesaikan dan menyalurkan aspirasinya dengan cara nir-kekerasan.
Nilai kesetaraan dan Persamaan
Selain nilai-nilai non-kekerasan, juga perlu nilai-nilai lain. Yang dalam demokrasi dinamakan nilai kesetaraan dan persamaan. Manusia pada dasarnya adalah setara dan negara harus mengakui hak-hak setiap warga negara secara sama sebagaimana yang dinoktahkan Duham (resolusi MU PBB No. 217A-III). Nilai-nilai demokrasi tidak membenarkan adanya pembedaan yang menyebabkan perlakuan tidak sama atau diskriminatif. Nilai-nilai demokrasi harus mampu menjamin dan membuat warga negara setara dan diperlakukan sama di depan birokrasi dan perangkat negara.
Dalam masalah perbedaan orientasi seksual ini, entah dari kacamata abnormalitas maupun gaya hidup baru dalam melihat kaum/komunitas LGBT, namun semua orang mempunyai kesamaan dalam hak, karena semua manusia mempunyai akal dan dilengkapi dengan hati nurani. Bukan berarti manusia yang selalu dikatakan ”menyimpang” tidak mempunyai akal dan hati nurani. Mereka tetap mempunyainya, bukan berarti mereka gay atau lesbian otomatis mereka tidak mempunyai hati nurani dan akal. Toh kalaupun LGBT dianggap sebagai gaya hidup, maka itu pilihan mereka, yang syudah semestinya mereka dialektikakan di dalam diri mereka pribadi tentang pilihannya tersebut, dan pasti sudah diperhitungkan pula segala konsekuensi logis dari yang paling sederhana sampai paling rumit sekalipun.
Sebagai manusia, mereka yang mempunyai orientasi seks pada sesama jenis harus juga diperhatikan sebagai manusia yang mempunyai hak asasi yang sama. Mereka tidak boleh dibedakan karena orientasi seks mereka berbeda dengan orang kebanyakan. Karena dalam deklarasi HAM pada pasal 2 dikatakan bahwa manusia semua sama tidak boleh dibedakan berdasarkan ras, warna kulit, agama dan sebagainya termasuk orientasi seksnya. Mereka harus tetap mempunyai kebasan dalam berekspresi, baik kebebasan positif yang menekankan pada kemampuan mereka untuk melakukan tindakan bebas yang berorientasi bagaimana mereka bisa membantu orang lain. Tentunya dengan berbagai cara seperti mengikuti organisasi pelayanan dan sebagainya. Atau kebebasan negatif yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, yaitu kebebasan untuk mengekspresikan mereka dan menunjukkan eksistensinya baik kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk mendiskriminasi bahkan melakukan kekerasan terhadap mereka.
 Perspektif Agama
Semua agama samawi (agama besar : Islam, Kristen,Budha) tidak membolehkan hubungan sesama jenis (homoseksual). Dalam pandangan Islam sangat diharamkan sesama jenis melakukan hubungan seksual terlebih tanpa hubungan resmi, dalam perjalanan historisnya sudah dicontohkan melalui kaumnya Nabi Luth, namun mereka menolak ajaran Nabi Luth, sehingga mereka dimusnahkan oleh Allah. Oleh karena itulah ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Di dalam perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum menikah di cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila) maka hukumannya sama saja (tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum menikah). Allah SWT berfirman:
tbqè?ù's?r& tb#tø.%!$# z`ÏB tûüÏJn=»yèø9$# ÇÊÏÎÈ tbrâxs?ur $tB t,n=y{ ö/ä3s9 Nä3š/u ô`ÏiB Nä3Å_ºurør& 4 ö@t/ öNçFRr& îPöqs% šcrߊ%tæ ÇÊÏÏÈ
Artinya:
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas” (QS. As-Syu’ra : 165-166)
Dalam agama Katolik Roma, aktivitas homoseksual adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam dan penuh dosa, sementara keinginan dan nafsu homoseksual adalah suatu kelainan.
Dalam agama Kristen, Homoseksualitas adalah hubungan yang salah, seperti dinyatakan dalam Kitab Suci, bertentangan dengan tujuan kreatif Tuhan atas seksualitas manusia. Dengan demikian kita bisa pastikan bahwa homoseksualitas bukan hasil dari penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan. Dikatakan bahwa “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya…laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka…TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’” (Kejadian 1:27, 2:18)
Agama Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau siapapun dan itu dapat dibuktikan bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi dalam perkembangan Agama Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama Buddha Tripitaka. Tidak ada alasan bagi pihak-pihak tertentu mengatakan bahwa Homoseksual tidak boleh menjadi umat Buddha. Agama Buddha juga tidak mendukung atau menggalakkan seseorang menjadi Gay atau Lesbian. Kata-kata yang lebih tepat adalah Agama Buddha menerima siapa saja dalam kondisi alami mereka untuk mengapai kebahagiaan, karena semua orang berhak untuk memperoleh kebahagiaan.
Secara garis besar, semua ajaran agama melarang hubungan sesama jenis. Terlepas permasalahan tafsir yang dipakai di masing-masing agama. Namun benang merah positif yang dapat dita simpulkan dari keseluruhan agama tersebut bahwa tidak dibenarkan sikap melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki kecenderungan orientasi seksualnya homoseksual.
Fakta-fakta Kondisi Komunitas LGBT di Indonesia
a)    Bentuk- bentuk  kekerasan yang dialami oleh komunitas LGBT (Sumber data dari Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan)
1.     Kekerasan seksual
Kekerasan seksual paling banyak dialami oleh komunitas LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LGBT  yang  diwawancarai  mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum.
2.     Kekerasan fisik
Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga pasangan. Yang secara garis besar merupakan orang terdekat korban (pelaku LGBT) dan sudah mengetahui tentang perilaku dan orientasi seksual dari si korban, baik setelah pengakuan langsung dari si korban maupun mendapati sendiri perilaku berbedanya.
3.     Kekerasan emosional
Biasanya orang LGBT mengalami penolakan dari keluarga setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT. Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan, ataupun pengusiran.
Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.
b)    Tindakan diskriminatif yang dialami komunitas LGBT
1.     Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan
Komunitas LGBT mengalami  penolakan untuk diterima bekerja sesuai bidangnya sehingga meskipun ada komunitas LGBT yang capable untuk bekerja sesuai bidang ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang menerima mereka, misalnya salon, rumah makan dan sejenisnya yang intinya bekerja di luar keahliannya.
2.     Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan
Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh komunitas LGBT seringkali diselesaikan di luar pengadilan karena dianggap aib, memalukan. Hal tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor. Hal ini menunjukkan betapa tidak diakuinya (tidak ada tempat) bagi komunitas LGBT, mereka dianggap kelas kedua (dalam hal feminisme, layaknya posisi perempuan yang subordinasi) dan subsistem di Indonesia yang seharusnya menganut paham persamaan dan kesetaraan dengan payung demokrasi. Namun dalam realitannya susah sekali ditemui.
3.     Diskriminasi dalam pemilihan pasangan
Komunitas LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan. Misalnya, banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa. Tentu saja hal ini tidak terepas dari kondisi sosio-kultural Indonesia, dengan sebagian besar umat Muslim, sehingga sepakat atau tidak sepakat aturan dan perilaku kesehariannya mengikuti paham ajaran agama mayoritas (Agama Islam). Selain legitimate agama, budaya ke-Timur-an yang dianggap ciri Indonesia dengan adanya toto kromo (tata krama, adat setempat) yang masih kuat dipegang dalam praktek kehidupan masyarakat. Dan menganggap ketika melihat kondisi komunitas LGBT ini dianggap suatu kehidupan yang jauh dari peradaban, menunjukkan pola hidup ke-biadaban.
     
c)     Upaya yang Dilakukan Komunitas LGBT dalam Memperjuangkan Hak-hak LGBT
1.    Internalisasi bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual Diversity) adalah HAM yang termasuk mendasar (dari sudut kebebasan) Terutama bagi mereka yang mengalami LGBT itu sejak lahir, karena itu menyuarakan hak-hak LGBT sama pentingnya dengan menyuarakan hak-hak perempuan.
2.    Melakukan dekonstruksi sosial (destabilised) atas konsep-konsep seksualitas yang dianggap baku dengan menggunakan kerangka dasar semua dokumen hak asasi manusia melalui :
·         Perubahan sistem hukum termasuk hukum agama (reintrepretasi tafsir kitab suci)
·         Counter discourse atau perebutan wacana dan makna atas issue-issue seksualitas yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan
·         Penghapusan praktek-praktek yang mendiskriminasikan komunitas-komunitas yang dianggap “abnormal” atau masuk dalam kategori non normative sexuality
·         Sosialisasi Yogyakarta principles. Yogyakarta Principles adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang  HAM  yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Gambaran singkat tentang isi prinsip Yogyakarta adalah sbb :
Prinsip 1         : Hak untuk Penikmatan HAM secara universal
Prinsip 2         : Hak atas Kesetaran dan Non Diskriminasi
Prinsip 3         : Hak atas Pengakuan di mata Hukum
Prinsip 4         : Hak untuk Hidup
Prinsip 5         : Hak atas Keamanan Seseorang
Prinsip 6         : Hak atas Privasi
Prinsip 7         : Hak atas Kebebasan dari Kesewenang-wenangan terhadap perampasan  
                          kebebasan
Prinsip 8         : Hak atas Pengadilan yang Adil
Prinsip 9         : Hak untuk Mendapatkan Perlakuan Manusiawi selama dalam Tahanan
Prinsip 10      : Hak atas Kebebasan dari Siksaan dan Kekejaman, Perlakuan atau Hukuman
                          yang tidak manusiawi atau merendahkan          
Prinsip 11      : Hak atas Perlindungan dari Semua Bentuk Eksploitasi, Penjualan dan  
                          Perdagangan manusia
Prinsip 12      : Hak untuk Bekerja
Prinsip 13      : Hak atas Keamanan Sosial dan Atas Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya
Prinsip 14      : Hak Untuk mendapatkan Standar Kehidupan yang Layak
Prinsip 15      : Hak atas Perumahan yang layak
Prinsip 16      : Hak Atas Pendidikan
Prinsip 17      : Hak atas Pencapaian Tertinggi Standar Pendidikan
Prinsip 18      : Perlindungan atas Kekerasan Medis
Prinsip 19      : Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Prinsip 20      : Hak atas Kebebasan Berkumpul dengan damai dan Berasosiasi
Prinsip 21      : Hak atas kebebasan Berpikir
Prinsip 22      : Hak atas Kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23      : Hak untuk mencari Perlindungan
Prinsip 24      : Hak untuk Menemukan Keluarga
Prinsip 25      : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Publik
Prinsip 26      : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Budaya
Prinsip 27      : Hak untuk Memajukan HAM
Prinsip 28      : Hak atas Pemulihan dan Ganti Rugi yang Efektif
Prinsip 29      : Akuntabilitas
d)    Perkembangan upaya penegakan hak-hak LGBT :
  1. Jika ditinjau dari segi jumlah organisasi yang melakukan upaya penegakan hak-hak LGBT, terjadi peningkatan terutama sejak Reformasi. Pada awalnya organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT hanya Gaya Nusantara yang tersebar di cukup banyak wilayah di Indonesia. Seiring dengan era reformasi, organisasi sejenis mulai banyak muncul, misalnya   Ardhanary Institute (bagian dari KPI), Perempuan Pelangi, Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley.
2.      Dari segi kegiatan, perkembangan dapat dilihat dengan semakin bervariasinya isu yang diangkat organisasi LGBT. Jika sebelumnya lebih banyak mengangkat isu yang identik dengan komunitas LGBT, misalnya isu HIV/AIDS atau kesehatan reproduksi LGBT, saat ini mulai beragam, misalnya isu-isu perempuan yang lain, bahkan ada yang menggunakan media olahraga sebagai pintu masuk penyadaran masyarakat tentang hak-hak LGBT. Untuk Ardhanary sendiri, jika awalnya lebih banyak bergerak di bidang penelitian dan pendidikan isu seksualitas, saat ini mulai melakukan pendampingan.
3.      Upaya untuk menggandeng kalangan agama sudah mendapatkan respon positif dari beberapa orang, misalnya Ibu Musdah Mulia. Ibu Musdah Mulia sudah melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dapat menjadi rujukan penetapan hukum terhadap komunitas LGBT. Ibu Musdah berpendapat perkawinan antar pasangan lesbian maupun gay halal untuk dilakukan (http://www.icrp-online.org/wmview.php). Namun demikian, dasar argumentasi Ibu Musdah yang menganggap bahwa orientasi seksual  LGBT adalah terberi sehingga harus diperlakukan sama dengan manusia dengan orientasi seksual yang lain berarti tidak mencakup LGBT yang merupakan pilihan individu dan bukan karena faktor biologis.  Selain itu Ibu Masruchah dari KPI juga menjadi tempat untuk bertanya tentang tinjauan agama Islam terhadap LGBT. Sebenarnya dukungan kalangan agama secara individual sudah cukup banyak, namun belum menjadi sikap institusi agama secara resmi.
4.      Dukungan  juga mulai diperoleh dari kalangan akademisi, misalnya dengan banyaknya kajian tentang seksualitas dan LGBT dengan mengundang komunitas LGBT untuk ikut berbicara dalam forum-forum ilmiah meskipun masih sebatas testimoni.
5.      Pada Komnas HAM, komunitas LGBT telah melakukan sosialisasi terhadap issue mereka meskipun sampai saat ini posisi Komnas HAM masih sebagai support system dan belum dapat memasukkan isu LGBT dalam program kegiatannya.
e)    Hambatan terhadap penegakan hak-hak LGBT
Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai contoh muncul di dalam FBI bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling berat. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan komunitas LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT.  Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada komunitas LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UU  Perkawinan  yang  tidak mengakui  perkawinan  sejenis.  Hal tersebut menyebabkan  advokasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara langsung oleh komunitas LGBT  karena  menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap komunitas LGBT secara frontal.
f)      Temuan menarik
Ketidaksetaraan gender juga terjadi pada pasangan lesbian sebagaimana ketidaksetaraan gender terjadi dalam pasangan heteroseksual. Misalnya dalam relasi ada yang berperan sebagai butchy (maskulin) dan berperan sebagai femme (feminin). Lesbian yang berperan sebagai laki-laki cenderung mengadopsi stereotype dan peran gender yang melekat pada laki-laki, misalnya dominan, menjadi pencari nafkah, sedangkan untuk femme sebaliknya. Sehingga semakin renik dan semakin kompleks permasalahannya, dibutuhkan kejelian dan kearifan dalam mengurai satu persatu dan menyelesaikannya secara adil.

Menyikapi Keberagaman Orientasi Seksual
Sudah sekitar 67 tahun Indonesia merdeka, dengan segala dialektika khazanah sejarah perjalanan Indonesia, dari Demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer hingga demokrasi kerakyatan harusnya menjadikan masyarakat Indonesia semakin dewasa dalam menanggapi segala gejala sosial hari ini yang rentan menimbulkan perselisihan. Termasuk dalam hal penyikapan keragaman seksualitas, yang ternyata ketika ditelisik tidak sesederhana yang kita anggap selama ini (berdasar data). Mengingat betapa rapi dan tersistemnya komunitas LGBt yang mungkin tidak nampak dan tidak terdeteksi oleh pemerintah, meminta kita untuk mulai peduli dengan kondisi mereka. Berbekal nilai-nilai bijak yang ditelorkan dari induknya demokrasi sebagai paham yang dilaksanakan di Indonesia, maka hal-hal yang berbau penyikapan kekerasan, nir-keadilan dan mendiskriminasikan mereka perlu dan harus dihindarkan. Dengan menjadi teman (tempat pengaduan) bagi mereka, sehingga kita mampu mengetahui kondisi mereka dan mengambil tindakan yang tepat dalam penyikapannya. Jika memang perilaku LGBT-nya tersebut memang given (terberi) maka tidak diperkenankan untuk memaksanya beralih menjadi heteroseksual, karena hal tersebut termasuk kategori kekerasan yang dialamatkan terhadap mereka. Sedangkan bagi mereka (komunitas LGBT) yang memang perilaku dan orientasi seksualnya karena pengaruh lingkungan (bukan given), dengan melakukan pendampingan dan melakukan terapi perlahan-lahan untuk mengarahkkannya beralih ke heretoseksual dengan metode pembiasaan. Saya meyakini langkah tersebut tidaklah mudah, namun jika mau mencoba untuk melakukannya, walau sejengkal langkal, saya pikir mampu menjadi sedikit jembatan dalam menyelesaikan masalah ini.
Bagi kaum terdidik, tidak diperkenankan asal men-justify komunitas LGBT sebagai ‘cacat’ atau stereotype abnormal. Duduk bersama dan mencari solusi bersama mereka mungkin sabagai awal terbukannya tangan kita untuk mereka, sebagai bentuk kepedulian kita pada komunitas LGBT yang sampai hari ini masih dianggap sebagai komunitas abnormal dan subsistem dalam kesehariannya. Berbekal segala teori dan wacana, diharap mampu menjadi kacamata bijak untuk sumbangsih penimbang nilai pengambilan sikap terbaik bagi mereka. Jangan sampai tidak ada beda bagi mereka yang tercerahkan lewat pendidikan dengan mereka yang belum memperoleh kesempatan tercerahkan, premanisme dan asal menghakimi bahkan acuh terhadap komunitas LGBT. Seyogyanya adanya kelas menengah dan kaum terdidik mampu menjadi media pendidikan (sosialisasi, penyadaran) terhadap wacana LGBT dan penyikapannya bagi mereka masyyarakat awam.
Jika Agama menjadi batu sandungan utama bagi mereka, maka hal tersebut menjadi tugas kita juga untuk mengkoreksi tafsir-tafsir teks kita terhadap penglihatan dan penyikapan masalah perilaku dan orientasi seksual ini. Tidak dibenarkan menjadi sesosok yang kukuh pendapat tanpa mau menelaah kembali pendapat yang disepakatinya. Tuhan mencintai makhluknya dengan memberikan pilihan-pilihan dan kebebasan untuk menentukannya, sehingga tuga kita adalah memperjuangkan kebebasan bukan sekedar untuk diri sendiri, dan melawan penjajah-kekuasaan yang mencuri pilihan-pilihan dari kita sebagai manusia (penguasaan tafsir agama yang diskriminasi) (Irshad Manji, Allah Liberty and Love). Seperti gaung perjuangan yang dilakukan oleh feminisme, termasuk feminisme muslim yang mencoba membongkar tafsi-tafsir ayat yang patriarkhi yang memang ketika ditelisik asbabun dan historisnya tafsir tersebut berbeda dari awal diturunkannya ayat tersebut yang disalahartikan bagi mereka yang berpaham patriarkhi, sehingga terkesan bahwa agama sebagai penjara paling kejam bagi perempuan. Hal serupa juga perlu dilakukan dalam mengurai masalah LGBT sebagai formulasi solusi praksis yang sarat value dan adil bagi semua pihak. Semoga kita mampu menjadi agen kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak yang punya landasan pijakan agama dan ke-Indonesiaan.
*Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Surabaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy

The Offering of Islamic Economic’s Solution for the Indonesian Economy with the Face of a People's Economy Arin Setiyowati [1] Introduction BPS data (March, 2019) shows that in 2019 the poor population in Indonesia reached 25.14 million people (9.41%). The poverty measurement carried out by BPS uses the concept of ability to meet basic needs (basic needs approach). A decrease in the number of poor people from 2018-2019 shows that in absolute terms the poverty rate in Indonesia is still very large and efforts to overcome it are proceeding slowly. So the government is expected to strengthen the people's economy fairly, through a policy approach that is not pro-people, must be changed into pro-people policies, or at least what needs to be developed is a policy that is not against or neutral towards the people's economy so that the distribution of justice is created. Some of the policies launched by the government in order to create fairness of distribution such as t...

Kita tidak butuh Kartini

Perempuan bicara : KITA TIDAK BUTUH KARTINI *Arin Setiyowati Kondisi riil hari ini, bulan April yang identik dengan bulan Kartini hanya sebagai momentus belaka,tanpa ada realisasi nyata tentang pendobrakan perempuan dari jeratan patriakhi baik dimensi mikro maupun dimensi makro (lazimnya disebut ranah domestik maupun publik). Berapa puluh ormas maupun lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusahakan pemberdayaan perempuan pun nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Malah beberapa hari terakhir marak kasus kekerasan, pemerkosaan bahkan sampai berujung pembunuhan dengan modus mutilasi sebagai tanda dekadensi moral yang lagi-lagi selalu perempuan yang dijadikan obyek. Dalam ranah politik pun sama, beberapa analisis mengatakan kalau kebijakan kuota calon legislatif perempuan 30% pada setiap partai politik nyatanya ‘belum’ sepenuhnya dilakukan perkaderan, pendidikan dan pengikutsertaan politik masif terhadap perempuan, yang ada hanya sekedar pemenuhan kuota dan lagi-lagi perempuan ...

Pengurangan Jam Kerja Perempuan : Upaya Disparitas Gender Dalam Kebijakan Ketenagakerjaan

Arin Setiyowati* Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemotongan jam pekerja perempuan untuk memaksimalkan perlindungan pada anak. Sekretaris Jenderal KPAI Erlinda mengatakan usulan tersebut muncul atas latar belakang meningkatnya perceraian yang berakibat hilangnya hak anak."Kami menyampaikan gagasan itu untuk memberikan kesempatan lebih bagi perempuan mengurus anak-anak mereka," kata Erlinda saat dihubungi CNN Indonesia , Rabu (26/11). Erlinda selanjutnya mengatakan tugas dan kewajiban seorang perempuan beragam mulai dari urusan anak, rumah hingga pekerjaan kantor. Menurutnya, panjangnya jam kerja bagi perempuan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendampingan dari orangtua mereka. [1] "Wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta itu porsinya dikurangi karena intinya wanita itu punya kewajiban untuk menyiapkan anak bangsa ke depan. Untuk waktu, beliau (Wapres) (ingin) mengurangi dua jam dalam sehari untuk berkantor,...