PEREMPUAN IMM : Antara Etik dan Epistemik
Arin Setiyowati*
Perempuan
Perempuan secara
biologis berarti dengan segala lekukan ciptaan Alla SWT sebagai anugrah yang
tidak sia-sia suatu hal pun. Dalam siklus perempuan, maka dimulai usia SD-SMP,
sesosok perempuan itu masih dalam kendali penuh orang tua, sedangkan memasuki
usia SMA mulai ada pembebanan kepercayaan dari orang tua kepada anak yang
rata-rata sudah dalam usia baligh, muncul daya kritis dan ingintahu atas semua
yang dia lihat dan alami, lebih luas pergaulan dan mulai merangkai
mimpi-mimpinya. Nah, ketika memasuki usia perkuliahan, berhadapan dengan dunia
baru (sebagian besar keluar kota kelahiran) dan jauh dari orang tua,
menambahnya rasa ingintahu dan mencoba-coba merasakan gemerlap kehidupan kota, belum lagi dengan
pergaulan teman baru, mungkin tipologi yang hedonis, sehingga lupa tujuan awal
untuk menuntut ilmu karena disibukkan dengan agenda foya-foya (satu contoh).
Maka Inti dari siklus tersebut adanya transformasi pemikiran dan
prilakuseseorang yang sejatinya pemegang kendali ada pada perempuan itu
sendiri. Sehingga sebelum melangkah lebih jauh ditata niat dan orieantasi ke
depannya supaya dapat diterjemahkan dalam bentuk klasifikasi kegiatan-kegiatan
mana saja yang perlu diikuti dan yang tidak perlu diikuti. Dan Organisasi
menjadi salah satu pilihan supaya mampu menjadi sarana eksistensi dan
pengembangan diri, meluapkan minat bakat bahkan menambah lingk pergaulan dan
networking. Dan tak lupa mahasiswa sudah memikul tanggungjawab sosial sehingga
tidak melulu berpikir untuk kepentingannya semata (peka sosial).
Agenda Kesetaraan
Perempuan sebagai
sosok yang kontroversial dalam setiap tingkatannya, baik secara denotatif
biologis maupun psikologis dan kiprahnya. secara biologis ada dua kutub oposisi
antara perempuan dan laki-laki yang sangat mudah dibedakan, jika perempuan
mempunyai payudara, rahim, alat kelamin vagina dsb, sedangkan laki-laki dengan
alat kelamin penis, punya jakung dan tidak berpayudara dsb. Dari pembedaan seks
tersebut maka diturunkan dalam pembagian
peran dengan perempuan melahirkan, menyusui, dimana hal tersebut kita
fahami kodrat (tidak bisa dipertukarkan). Namun kesalahan fatal hari ini adalah
ketika masih menganggap menyapu, mengepel, memasak itu kodrat perempuan,
sedangkan bekerja di luar rumah, mengangkat air, membangun rumah sebagai kodrat
laki-laki, maka disinilah letak pembagian peran yang sudah dikonstrukkan oleh
budaya masyarakat. Sebenarnya dari pembedaan peran tersebut tiadalah masalah
namun hal tersebut menjadi maslah ketika terjadi ketimpangan antara laki-laki
dan perempuan, misal dengan pembagian peran peremppuan berkutat di wilayah
domestik (dalam rumah) maka ketika ada perempuan yang bekerja di luar dan
kuliah sampai s3 misalnya dianggap menyalahi kodrat (gak ilok), atau jika ada laki-laki yang tidak bekerja (karena suatu
hal) maupun tidak bisa melakukan kerja berat-berat maka dianggap melanggar
kodrat, padahal merunut pemaparan di atas hal tersebut merupakan kodrat sosial
(konstruk budaya dan masyarakat semata) yang sejatinya dapat dipertukarkan dan
tidak menjadi masalah, maka hal itulah yang membebani masing-masing pribadi
dalam bersikap.
Dengan
Terbelenggu oleh etika yang diatur di luar dirinya maupun terbelenggu dengan
dirinya sendiri. Doktrin budaya dan konstruk masyarakat yang seolah-olah
mengklaim atas segala tindak prilaku yang dianggap wajar, baik dan tidak nyeleneh. Sebagai contoh, sebagian orang
masih menganggap bahwa perempuan tidak layak mendapatkan pendidikan tinggi
dengan dalih perempuan tugasnya hanya sumur,
dapur, kasur , belum lagi kalau seorang perempuan menjadi pemimpin,
beberapa golongan yang anti gerakan perempuan akan menentang tersebut dengan
dalil-dalil agama yang ketika ditelisik lagi tidak tepat dalil sanggahannya (mengatasnamakan agama),
dan banyak bentuk kasus lagi tentang penomorduaan, diskriminasi, kekerasan atas
perempuan yang dibenarkan karena alasan agama maupun budaya masyarakat.
Disinilah peran mahasiswa perempuan dirindukan, dengan pengkajian mendalam
supaya bisa memilah dan memilih untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat.
Sehingga tidak
salah sejak abad 19an mulai lahirlah tokoh-tokoh feminis yang berusaha
melakukan perlawanan dengan segala tipologi aliran, gerakan atas penolakan
tersebut. Aliran pemikiran dan gerakan feminisme barat yang menjadi spirit
utama dalam gelombang-gelombang perempuan di dunia-dunia ketiga di antaranya feminisme liberal yakni dengan spirit
utamanya dengan perempuan harus berdikari dan lepas dari struktur kapitalis, inti gerakan ini
adalah menuntuk kesempatan yang sama dan
hak yang sama (Mansour fakih, 1996,hal 81). Feminisme Radikal lebih pada menyalahkan
budaya patriarkhi (laki-laki lebih dominan), dan spirit positifnya ‘personal is political’ yang berbuah
pada Undang-undang yang pro-perempuan di Indonesia misal UU RI No 23 ttg
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hanya saja mode
perjuangannya ideology maskulinitas, yakni persaingan mengatasi kaum laki-laki.
(Mansour fakih, 1996,hal 86). Feminisme Marxis sudah jelas merupakan aliran turunan dari aliran
marxis, menganalogikan
bahwa relasi antara suami dan istri layaknya hubungan kaum borjuis dengan kaum
proletar. Dimana penuh dengan eksploitasi dan penindasan, dan bagi mereka
penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan
produksi. Sehingga bagi Feminis Marxis, penindasan terhadap kaum perempuan
merupakan kelanjutan dari system yang bersifat structural, bukan lagi
menyalahkan budaya patriarki maupun kaum laki-lakinya sebagai sebab
ketertinggalan maupun penindasan, tapi lebih pada system kapitalismenya, maka
solusinya perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan system
kapitalisme internasional, dengan jalan revolusi bagi mareka. Feminisme Sosialis lebih pada
penggabungan feminisme radikal dan marxis, dalam pergerakannya feminisme
sosialis menentang kaum laki-laki itunya sendiri dan struktur yang dijalankan
pada saat itu (anti patriarkhi dan kapitalisme). Dari keempat ragam aliran
feminisme inilah menjadi embrio pula semangat kesetaraan perempuan di Indonesia
yang diawali oleh pahlawan-pahlawan perempuan kita diantaranya Kartini, Dewi
sartika, Nyai Walidah serta tokoh-tokoh perempuan Islam lain baik di bidang
pendidikan maupun media yang jarang diungkap sejarah.
Dan sampai saat
inipun agenda feminisme (memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan) masih
hangat untuk dikupas dan diaplikasikan.
Mengingat begitu kuatnya dinding-dinding penghalang perjuangan perempuan
yang memang sudah jamak dalam masyarakat bahkan didukung melalui dogma-dogma
agama, sistem budaya suatu wilayah dan konstruk sosial (paradigma masyarakat
awam), sehingga memaksa kaum-kaum feminis lebih kreatif dalam menghadapi hal
itu. Sering terdengar semua-muanya berbasis gender, peka gender dsb menjadi
sinyal postif bagi pergerakan perempuan. Dan subur pula kajian-kajian maupun
pergerakan lini perempuan di setiap organisasi-organisasi masyarakat, LSM
maupun lembaga formal pendidikan dsb. Hal itu demi memelekkan mata masyarakat bahwa ada perbedaan besar antara seks
dan gender, dan misi besarnya adalah terpenuhinya hak-hak perempuan dan
terciptanya kesetaraan sehingga tercipta masyarakat yang adil dan harmonis.
Perempuan IMM (IMMawati)
IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah) yang merupakan salah satu partikel organisasi
kepemudaan, dan kemahasiswaan punya andil sebagai dinamisator atas perubahan
bangsa dan negara khususnya dalam internal persyarikatan Muhammadiyah. Dua
tugas besar yang harus diembannya menjadikan IMM harus selalu berbenah dan
bersigap atas segala tantangan baik dalam persyarikan, umat dan bangsa. Dengan
aparatur bidang-bidang yang ada di dalamnya diharapkan mampu mengoptimalkannya
dalam kancah internal dan eksternal ikatan. Dan salah satu bidang dalam IMM
yang tidak kalah penting dan kontroversi adalah bidang IMMawati (Bidang
keperempuanan IMM), bidang yang bertugas untuk mengoptimalkan karya dan peran
IMMawati (perempuan IMM) serta menjaga stabilitas kesetaraan gender, sehingga
tidak melulu mementingkan IMMawati tapi lebih pada misi feminisme yakni misi
kedamaian dalam menyetarakan laki-laki dan perempuan, sehingga harusnya tidak
paten yang menjadi kabid IMMawati itu perempuan namun bisa jadi IMMawan. Dan
tipologi aliran feminisme IMMawati adalah mengambil semua nilai positif dari
aliran feminisme (feminisme radikal, liberal, sosialis dsb) yang nilai etik dan
epistemiknya sesuai Islam dan nilai transendentalnya berupa kesetaraan dan
keadilan untuk laki-laki dan perempuan. Sebagai suntikan semangat pergerakannya
adalah Spirit gerakan Nyi Walidah yang lebih menekankan pada proses
pemberdayaan dan peran perempuan untuk persyarikatan, umat dan bangsa. Dengan
kata lain perempuan harus pinter dan punya peran seimbang dalam ranah domestik
dan publik.
Dengan segala
fenomena makro perempuan di atas, maka bidang IMMawati dalam menyikapi realitas
(yang terdapat dalam tabir kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan
masyarakat) menjadi agen pengayaan dan penerapan atas paham gender dalam
ikatan. Sehingga secara etik, IMMawati mampu memposisikan diri menjadi sosok
perempuan yang berkualitas baik secara intelektual dan sikap diri serta mampu
mengkomunikasikan kepada masyarakat. Satu hal lagi dalam ranah keilmuan (dalam
hal ini pendidikan tinggi), IMMawati (perempuan IMM) pada khususnya mempunyai
tanggungjawab keilmuan baik secara kultural kepada ikatan dan persyarikatan
maupun bangsa agar mampu mengambil peran manjadi salah satu Akademisi Islam
yang bernafaskan kesetaraan dan keadilan.
Billahi fii
sabililhaq Fastabiqul Khairaat
Semangat IMM !!
Semangat Perempuan IMM!!
*Kabid IMMawati PC IMM Sby
Komentar
Posting Komentar